Thursday, October 27, 2011

Korupsi, Ancam Ketahanan Ekonomi Indonesia Menghadapi Krisis Ekonomi Dunia

Ditengah suasana krisis ekonomi dunia yang saat ini meliputi Amerika dan sebagian besar eropa, Indonesia menjadi negara yang dianggap cukup beruntung karena tidak terkena imbas langsung dari krisis ekonomi yang terjadi. Keberuntungan ini hadir bagi Indonesia sebab jumlah perdagangan luar negeri negara kita sebagian besar tidak bergantung kepada amerika serikat dan eropa dengan prosentasenya yang hanya 5 % dari total perdagangan luar negeri Indonesia. Selain itu faktor pendukung lainnya yang menyebabkan perekonomian Indonesia tidak terkena imbas besar krisis itu ialah kuatnya permintaan pasar domestik Indonesia yang menjadi fundamental yang cukup kokoh menahan dampak krisis global dan stabilitas sistem keuangan Indonesia yang saat ini cukup likuid dengan rate yang cukup rendah.
Ketahanan ekonomi Indonesia saat ini bagi sebagian pengamat ekonomi dan juga lembaga international dianggap sudah cukup kompeten dalam menghadapi hantaman badai krisis global yang diperkirakan masih akan berlanjut hingga 5-7 tahun ke depan. Tetapi bekal yang dirasa cukup ini masih mungkin terancam untuk tergerus dan hilang karena tindak korupsi yang masih tetap marak terjadi di Indonesia. Korupsi ini memberikan dampak yang sangat berbahaya karena efek negatifnya akan menimbulkan sebuah multiplier efek bagi perekonomian secara luas. Untuk menjelaskan beberapa dampak itu maka implikasi-implikasi ini idealnya akan lebih mudah dicerna jika dijabarkan dalam beberapa bagian.
Tingkat Investasi
Mencoba untuk menganalisa dampak korupsi mulai dari permukaan, maka hal dasar yang bisa terlihat ialah turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Turunnya kepercayaan publik akan berimplikasi pada turunnya kepercayaan pelaku ekonomi terhadap kebijakan ekonomi yang dikeluarkan untuk memberikan regulasi pada pasar. Kemudian turunnya tingkat kepercayaan ini memunculkan stigma negatif dan kekhawatiran bahwa Indonesia tidak lagi memiliki iklim ekonomi yang cukup kondusif bagi pelaku ekonomi untuk bisa menginvestasikan dan mengaktivitaskan modalnya di Indonesia. Berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan pelaku ekonomi terhadap perekonomian Indonesia sangat rawan menyebabkan terjadinya capital flight, yakni larinya modal-modal baik luar negeri dan dalam negeri yang selama ini menyokong aktivitas pembangunan ekonomi Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi
Efek berikutnya yang muncul sebagai akibat korupsi ialah menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang sedang berada dalam trend yang cukup positif. Penurunan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dasarnya akan alami terjadi sebab adanya siklus dalam perekonomian, akan tetapi korupsi pada dasarnya mempercepat siklus itu dari waktu yang seharusnya. Hal ini terjadi sebab aktivitas korupsi menyebabkan dana-dana yang selama ini berada di Indonesia yang selama ini digunakan dalam pembangunan ekonomi menjadi miss-allocation sebab dana-dana ini yang pada awalnya alih-alih ditujukan untuk memutar roda kegiatan ekonomi dengan kemampuannya dalam menciptakan produktifitas negara justru masuk ke kantong-kantong para koruptor sehingga kebijakan-kebijakan ekonomi yang sudah diputuskan menjadi tidak berjalan dengan baik dan efektif atau bahkan tidak berjalan sama sekali akibat korupsi yang terjadi.
Kesejahteraan Masyarakat
Dengan terhambatnya pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari korupsi yang terjadi maka imbas yang sangat terlihat di permukaan ialah menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Maka benar saja jika selama ini kita sering mendengar bahwa korupsi memiskinkan bangsa, korupsi memfakirkan masyarakat, sebab terhambatnya pertumbuhan ekonomi akibat korupsi membuat sistem ekonomi Indonesia tidak lagi beraktifitas dalam kondisi normal. Ketidak normalan kondisi ini terjadi akibat resources yang dibutuhkan oleh perekonomian Indonesia menjadi tidak terpenuhi lagi karena korupsi telah mengambil resources yang seharusnya digunakan untuk kepentingan produksi tersebut menjadi untuk penggunaan bagi kepentingan pribadi-pribadi yang tamak dan egois dengan korupsi bagi uang rakyat. Berkurangnya resources dalam sistem produksi perekonomian Indonesia pada akhirnya akan membuat jumlah kapasitas produksi yang dihasilkan menjadi menurun, dan apabila supply barang lebih rendah dari demand maka yang terjadi ialah kelangkaan dan pemerintah pada akhirnya akan melakukan impor sebagai jalan keluar. Tetapi langkah yang dilakukan ini pada dasarnya tetap mengakibatkan harga dari barang-barang mengalami kenaikan. Sehingga wajar saja jika rakyat Indonesia saat ini sudah tak lagi bisa hidup dengan layak bahkan bisa sepenuhnya hidup dengan pendapatan yang tak lebih dari Rp 500.000 perbulan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh World Bank.

Utang Negara
Maraknya korupsi yang terjadi yang membuat situasi hidup masyarakat Indonesia mengalami kesulitan hidup, mau tidak mau membuat negara dalam hal ini yang memang bertugas untuk menjadi pengayom dan pelindung bagi seluruh warganya untuk bisa hidup layak dan berkecukupan memiliki tanggung jawab yang amat besar. tanggung jawab yang amat besar ini mengharuskan negara melakukan hampir segala cara untuk bisa tetap menjalan seluruh kehidupan bernegara baik dari hal besar hingga hal kecil, semuanya perlu dilakukan. Korupsi sesungguhnya telah membuat negara harus berpikir keras untuk menemukan cara agar masyarakatnya bisa tetap sejahtera dan mampu bertahan hidup, hingga banyak cara dilakukan yang antara lain salah satunya dengan berhutang. Negara Indonesia berhutang selama ini sesungguhnya hampir mayoritas keseluruhan hutang itu digunakan untuk bisa menjalankan kehidupan bernegara ini agar bisa terus eksis. Hutang ini dialokasikan untuk menutupi deficit anggaran dari anggaran belanja negara, sebab negara tidak memiliki banyak pilihan untuk bisa tetap menjalankan pembangunannya walaupun modal yang dimiliki negara ini jauh dari batas yang dianggap cukup. Kurang berdayanya kemampuan financial ini pada akhirnya membuat negara terus menambah hutang sehingga hutang Indonesia tidak lagi dalam batas kemampuan membayar negara ini, ditambah lagi tindak korupsi bukannya semakin berkurang justru makin bertambah saja. Mungkin sudah saatnya agar bangsa ini untuk kembali bercermin tentang apa saja pencapaian yang selama ini telah dicapai terutama dalam hal pemberantasan korupsi yang sudah sangat akut dan berbahaya.

Kementerian Kajian Ekonomi
BEM Kema FE Unpad

Korupsi : Penyumbang Angka Kemiskinan

Semakin hari rasanya telinga kita semakin akrab dengan kata korupsi. Semua media massa ramai dihiasi berita mengenai korupsi. Dari perbincangan yang membubuhkan teori dan analisa tajam sampai obrolan warung kopi yang meluncur alami dari hati, semua sama antusiasnya membahas perbuatan keji bernama korupsi.
Mengapa korupsi begitu sering menjadi topik pembicaraan saat ini? Ada teori yang menyebutkan bahwa suatu peristiwa bisa menjadi topik suatu berita karena peristiwa tersebut baru terjadi. Karena ke-baru-an suatu peristiwa tersebut akan membuat berita menjadi aktual. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk kasus korupsi di Indonesia. Kasus korupsi di Indonesia bukan merupakan peristiwa yang baru. Korupsi di Indonesia sudah marak muncul sejak rezim orde baru, bedanya, rezim orde baru tidak mengenal kebebasan pers dan kontrol sosial dari masyarakat sengaja ditebas. Akhirnya yang terjadi adalah semua orang bungkam mengungkap kebenaran, kemudian berita mengenai korupsi di zaman orde baru- baru terdengar setelah rezim tersebut berakhir dan barulah muncul orang-orang yang memberanikan diri mengungkap fakta.
Runtuhnya orde baru dan munculnya era reformasi sesungguhnya adalah harapan besar bagi rakyat, sebuah harapan besar untuk berkurangnya praktik korupsi. Sayangnya harapan itu terpaksa pupus karena fakta menunjukkan bahwa praktik korupsi bukan semakin surut, malah terang-terangan terekspos. Itulah “Sial” nya pemerintahan era reformasi, mereka berkuasa dalam suasana yang begitu demokratis dan terbuka. Sedikit saja membuat kesalahan, bersiaplah menjadi headline di berbagai media massa.
Sayangnya, terbongkarnya praktik korupsi ini tidak membuat para pelaku merasa malu atau bersalah. Jika sudah terbukti bersalah, kebanyakan dari mereka menyanggah atau menyeret nama lain untuk dijadikan kawan menginap di hotel prodeo. Tak kalah mencengangkan, dalam proses penyanggahan tersebut, beberapa orang malah sempat plesir bersama keluarga.
Miris? Memang, tapi itulah kenyataannya. Sikap para koruptor yang seperti ini tentu menyebabkan dampak besar, sebab objek korupsi adalah harta negara, maka yang paling terkena imbasnya adalah sektor ekonomi. Pada tahun 2011, KPK mengklaim telah berhasil menyelamatkan uang negara sebilai 7,9 triliun. Dari data tersebut kita bisa menyimpulkan betapa dahsyatnya nyali pemimpin-pemimpin kita untuk merampas hak rakyatnya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa ada rakyatnya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh, hanya mendapat upah Rp10.000,00 per hari, maka dalam sebulan hanya mendapat upah Rp300.000,00 ini berarti dalam setahun hanya mendapat upah sebesar Rp3.600.000,00 yang artinya butuh waktu 277,77 tahun untuk menggenggam uang sebanyak 1 miliar saja. Jelas kontra dengan transaksi miliaran bahkan triliunan rupiah yang lihai diperagakan pejabat-pejabat jahat hanya dalam beberapa menit.
Dampak yang ditimbulkan korupsi bukanlah dampak yang kecil. Menurut Mauro (Corruption and Growth, 1995), korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Inilah yang sedang terjadi di Indonesia. Bisa kita lihat dari alokasi dana APBN, misalkan saja APBN Indonesia tahun 2010 sebesar Rp 1.047,7 triliun, didalamnya terdapat anggaran untuk pendidikan, menyokong kegiatan UKM, anggaran kesehatan dan kepentingan publik lainnya. Maka di tahun yang itu ternyata kerugian negara akibat korupsi adalah Rp 3,6 triliun.

UKM merupakan salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, sebab UKM banyak menyerap tenaga kerja. Karena dana yang dialokasikan untuk UKM tersebut dicuri, maka yang terjadi adalah banyaknya para tenaga kerja yang dirumahkan, PHK menambah jumlah pengangguran, dan akhirnya pengangguran menyebabkan kemiskinan. Masih ada beberapa anggaran yang tujuannya mengentaskan kemiskinan, tetapi karena terambil alihkan para koruptor, kemiskinan tidak terentaskan, malah semakin parah. Jelaslah sudah bahwa korupsi merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang merupakan buntut dari macetnya UKM
Akhirnya semua permasalahan mengenai korupsi tidak bisa diberantas oleh sebagian kalangan saja. Semua kalangan wajib memiliki kesadaran bahwa dampak yang ditimbulkan korupsi sangat merugikan kepentingan bangsa dan berjuang untuk memberantas korupsi adalah harga mati. Ketegasan pemerintah dalam menindak para koruptor serta memegang teguh janji membangun bangsa dikombinasikan dukungan, kritik membangun, kontrol sosial dan kepercayaan penuh dari masyarakat akan membuat cita-cita mewujudkan bangsa yang sejahtera menjadi suatu keniscayaan.

Kementerian Kajian Ekonomi
BEM FE Unpad

Korupsi, Penghambat Target Indonesia di Tahun 2014

Indonesia perlu bekerja keras untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 7 persen pada 2014. Direktur Economist Corporate Network Ross O'Brien menyatakan, target ini bisa dicapai apabila Pemerintah Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi di bidang perbaikan institusi dan lingkungan hukum guna menggalakkan investasi di sektor infrastruktur publik.
Korupsi berkaitan erat dengan investasi publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat-pejabat strategis di Indonesia sering korupsi dengan jalan penggelembungan dana proyek-proyek yang menyangkut masyarakat luas. Bisa saja, sekilas kelihatannya alokasi dana untuk pendidikan meningkat tajam, tetapi kualitas dari dana itu justru menurun tajam. Anggaran pendidikan keseluruhan dalam anggaran pendapatan belanja negara 2010 mengalami lonjakan signifikan sebesar Rp11,9 triliun menjadi Rp221,4 triliun, dari sebelumnya Rp209,5 triliun di tahun 2009. Hal yang menarik adalah justru pada tahun ini anggaran pendidikan di RAPBN 2011 mengalami penurunan secara nominal rupiah dibandingkan APBN 2010 lalu. Alasannya adalah ada perubahan mekanisme penyaluran dana yang asalnya menggunakan sistem sentralisasi di kemendiknas menjadi langsung ke daerah-daerah. Menurut saya informasi ini secara tidak langsung mengatakan bahwa sistem yang dulu dipakai tidak efisien atau mungkin sarat akan korupsi. Ini menunjukkan bahwa besarnya kenaikan dana investasi dari pemerintah tidak berbanding lurus dengan kenaikan dampak positif dari dana tersebut, dikarenakan korupsi.
Kasus lainnya, selama 2008 lalu, persekongkolan pemenangan tender pemerintah menjadi satu-satunya kasus terbesar yang masuk dalam laporan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Perwakilan Surabaya. Dari 17 kasus yang masuk dalam laporan, 80% diantaranya adalah persekongkolan tender pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa serta pembangunan proyek infrastruktur. Sisanya, 10% tentang monopali pasar dan 10% lainnya tentang diskriminasi konsumen. Hal ini kembali menegaskan jika korupsi sudah sangat mengakar di birokrasi pemerintahan kita.
Hal berikutnya yang akan muncul setelah “macetnya investasi pemerintah” adalah rendahnya penerimaan negara. Karena macetnya investasi-investasi tersebut mengakibatnya hal-hal yang memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terhambat. Seperti dalam kasus pendidikan tadi, sumber daya manusia yang harusnya menjadi berkualitas tinggi akan tidak sesuai ekspetasi awal. Bisa saja kualitasnya lambat naiknya atau bahkan turun. Dalam kasus tender infrastruktur jalan, distribusi bahan baku ke pabrik lalu selanjutnya ke konsumen pun akan terhambat karena hal yang terkesan sepele, jalanan rusak. Permasalahan-permasalahan kecil (mikro) ini akhirnya akan menjadi permasalah negara juga (makro).

Efek ketiga yang akan muncul adalah rendahnya daya beli pemerintah dalam membeli barang-barang produksi. Tidak ada uang, tidak ada barang. Akhirnya BUMN-BUMN akan kesulitan dalam memproduksi barang-barang. Belum lagi memikirkan bagaimana bersaing dengan kompetitor-kompetitor swasta di bidang yang sama. Dampak kedua adalah untuk menutupi itu, pemerintah pun pasti berpikir untuk mengajukan utang, dengan harapan kondisi darurat ini teratasi dan selanjutnya keuntungan dari BUMN akan dipakai membayar utang kelak. Tetapi kenyataannya, korupsi kembali berbicara, sehingga bukannya untung tetapi BUMN akhirnya mengemis subsidi pemerintah.

Bagaimana dengan penerimaan pajak? Bukankah jumlahnya sangat fantastis sebesar Rp 649,042 triliun pada tahun 2010? Justru di pajak inilah ladang empuk bagi mafia pajak. Belum lepas dari ingatan kita bagaimana kasus Gayus Tambunan sempat berlarut-larut. Sulit sekali melacak siapa saja mafia pajak ini dan berapa dana yang telah dicuri. Hal ini dikarenakan mafia berbeda dengan koruptor biasa. Koruptor biasa mungkin bekerja sendiri-sendiri tanpa melibatkan pihak lain dalam sebuah permainan korupsi. Sehingga jika dilacak pun orang-orang yang berhubungan dengan kasus korupsi tersebut akan mudah diketahui. Informan pun cukup mudah didapat. Hal ini dikarenakan idealisme orang tersebut atau orang itu tidak mendapat bagian sama sekali dari hasil korupsi tersebut. Sehingga tidak ada rugi bagi dia untuk kooperatif dengan pihak berwenang. Beda kasusnya dengan mafia. Mafia adalah sekelompok koruptor yang punya posisi-posisi strategis di dalam sebuah kasus korupsi. Mereka sama-sama dapat bagian dalam menjalankan aksinya. Saat akan dilacak pihak berwenang pun, mereka akan saling melindungi satu sama lain. Kasus seperti ini yang sangat sulit didobrak pihak berwenang.

Dampak yang tak kalah mengerikan dari penggelapan pajak secara keseluruhan adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengalokasian pajak. Bahkan dua tahun belakangan (2009 dan 2010) penerimaan pajak Indonesia belum pernah mencapai target yang ditetapkan. Pajak memang diwajibkan, tetapi saat masyarakat membayar pajak rutin dengan pikiran pajak itu pasti akan dikorupsi juga, hal itu akan mempengaruhi psikologis masyarat secara luas. Masyarakat akan merasa justru pajak itu cara oknum-oknum pejabat mencuri uang mereka secara legal dan sah menurut hukum.

Sekencang apapun kita berlari dalam menggenjot roda perekonomian agar target pertumbuhan ekonomi 2014 terpenuhi, jika korupsi masih merajalela, maka pada akhirnya kita akan terlihat seperti merangkak saja, bukan berlari. Harus ada reformasi hukum yang diterapkan di Indonesia, sehingga ada hukum yang sangat mengintimidasi para koruptor dan calon koruptor dalam aksinya. Agar mereka berpikir ulang jika ingin korupsi. Penerapan hirarki pemerintah yang ramping, efisien, dan efektif juga wajib diperhatikan. Dalam teori di dalam ilmu manajemen, jika suatu korporasi terlalu panjang rantai komandonya, maka instruksi pimpinan tertinggi akan semakin sulit disampaikan sampai jenjang hirarki paling bawah. Ini masih berbicara korporasi dengan rantai komando, yang kita hadapi lebih kompleks lagi, negara dengan pengawasan korupsi di tiap-tiap rantai komando. Ketiga, selain memperbaiki dari atas, harus ada perbaikan dari bawah. Contoh, penerimaan PNS harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang sangat ketat, meskipun hanya menyeleksi pekerja-pekerja di tingkat hirarki yang rendah. Kemudian saat para PNS melakukan kesalahan, kurang produktif, atau bahkan korupsi, beri hukuman yang sangat berat. Sehingga sumber daya pekerja yang dihasilkan oleh “seleksi alam” ini adalah pribadi-pribadi jujur dan berkualitas. Jika sudah demikian, maka para PNS ini akan lebih peka dan sensitif jika atasan mereka ada yang korupsi. Mereka tidak akan segan-segan melaporkan kepada pihak berwajib. Cara ini akan memperbaiki secara perlahan tetapi pasti dan memberikan fondasi yang kuat. Masalah PNS yang sering dikeluhkan sebagai pengangguran terselubung pun teratasi. Cara-cara korporasi memang tidak semua bisa diterapkan dalam pemerintahan, tetapi bukan berarti seluruh metode berkualitas yang ada di korporasi kita tolak bukan?

Jika setiap elemen masyarakat dan pemerintah mau berbenah diri, mau berpikir terbuka dengan inovasi-inovasi yang ada, tidaklah mustahil kita akan terbebas dari korupsi. Memang korupsi adalah penyakit bervirus yang ditularkan Belanda sejak kita dijajah dulu. Hirarki pemerintahan kita pun warisan Belanda. Hukum pun warisan Belanda. Kita serasa dikepung oleh penyakit bervirus dari setiap lini yang dibawa Belanda sejak dulu. Tetapi bukanlah hal mustahil memperbaiki itu semua. Belum terlambat. Bahkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2014 yang sebesar 7 persen bukan hal yang mustahil untuk diraih.

Kementerian Kajian Ekonomi
BEM FE Unpad

Daftar pustaka:
www.kabarbisnis.com
www.okezone.com
www.kompas.com

Tuesday, August 2, 2011

SINKRONISASI KEBIJAKAN ENERGI

Masih banyak pro kontra mengenai bbm bersubsidi. Isu terakhir yang terdengar adalah pemerintah iingin menghentikan subsidi terhadap bbm karena pemakaian dan penggunaan dilapangan tidak tepat sasaran. Bahwa dimana bbm bersubsidi lebih ditujukan pada mereka yang tidak mampu. Namun hingga saat ini, isu tersebut nyatanya masih belum ada titik jelas penyelesainnya. Kalau ingin berbicara mengenai efisiensi penggunaan bbm sesuai harapan, yaitu penggunaanya diharapkan memang hanya untuk kalangan tak mampu, dalam kenyataan dilapangan, hal tersebut jauh dari kata tepat sasaran.bahkan bisa dikatakan mustahil. Banyak masyarakat dari kalangan menengah ke atas masih menggunaan bbm bersubsidi. Menurut analisis saya, hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah sendiri tidak memberikan cukup sosialisasi yg baik pada masyarakat, lalu kurang adanya pengawasan dalam prakteknya, dan solusi untuk hal tersebut juga efisien, yaitu harga bbm non subsidi masih bisa dikatakan mahal. Padahal kalau ingin tepat sasaran, bbm nonsubsidi harganya jangan sampai mahal seperti itu. Hal itu pula yang mendorong masyarakat luas lebih memilih bbm bersubsidi yang murah karena memang dijangkau. Misalnya, harga terakhir pertamax yang digolongkan bbm non subsidi perliternya adalah Rp 8.300, harga ini jauh lebih mahal (hampir 2x lipat harga bbm bersubsidi, premium), bukan hal aneh bila masyarakat lebih memilih premium yang harganya lebih murah.kalua sudah begini, apa bisa kebijakan tersebut berjalan dengan efisien? Dalam kenyataanya penggunaan kendaraan bermotor yang dalam kalangan bukan tidak mampu namun juga bukan kalangan atas (kalangan menengah) jumlahnya tidak sedikit.terutama pengguna sepeda motor. Seharusnya bbm non subsidi harus bisa dijangkau oleh para penggunanya yang bukan kalangan tak mampu. Mungkin bagi orang berada, harga per liter senominal tsb bukan hal yang besar dan jadi perkara yang harus diributkan, namun bagaimana pengguna yang berada dikalangan menengah?apa semuanya mampu untuk menjangkau harga tersebut? Seharusnya pemerintah menyesuaikan harga sesuai dengan sasaran konsumen yang ingin mereka tuju, sehingga kebijakan yang ingin diambil bisa berjalan baik dan keputusan yang satu bisa mendukung keputusan yang lain. Akan lebih efisien lagi bila kalangan tak mampu memiliki tanda pengenal khusus ketika mereka harus membeli bbm di spbu, sehingga pengelola spbu pun bisa ikut mengawasi bahwa pembelian dan pemakaian bbm tersebut bisa tepat sasaran. Saya rasa, kedua komponen ini, efisiensi, bbm bersubsidi dan penjangkaun harga untuk bbm nonsubsidi harus lebih dipikirkan lagi. Tidak akan bisa berjalan kebijakan yang menginginkan bbm bersubsidi hanya untuk kalangan menengah kebawah bila kebijakan lain untuk harga bbm nonsubsidi tidak disesuaikan juga.

Jogja, 8 July 2011
Tiwi Nuzlia Damayanti
Staff Departement Kastrat
BEM FEB UGM

Wednesday, July 27, 2011

Ciptakan Budaya Tandingan: Berantas Korupsi !

Sudah jelas korupsi adalah salah satu penyakit paling parah yang diderita bangsa ini. Global Corruption Report 2009 menuliskan sebuah angka fantastis untuk negeri ini: urutan 126 dari 180 negara dengan no.1 (Denmark) adalah negara yang paling bersih di dunia dan no.180 (Somalia) adalah yang paling korup. Indonesia bahkan sama korupnya dengan negara miskin seperti Eritrea dan Ethiopia. Negeri ini tertinggal jauh dari Singapura (4), Malaysia (47), Thailand (80) dan Srilangka (92).
Secara sederhana, fakta itu dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari, salah satunya di dalam birokrasi Indonesia. Uang sebesar miliyaran harus lenyap begitu saja lantaran “digondol” segelincir orang saja, seperti belum lama ini kasus “Gayus Tambunan” yang berada di Depkeu. Kemudian disusul kasus “Nazaruddin” di dalam APBN Indonesia. Belum lagi dengan praktik-praktik korupsi yang terjadi di birokrat-birokrat setiap daerah. Banyak praktik korupsi yang tanpa kita sadari telah menggerogoti integritas bangsa ini.

Sebuah penyakit harus dilenyapkan demi kesehatan tubuh, bagaimanapun caranya. Akan tetapi, untuk melenyapkan penyakit, harus dilakukan diagnosis dahulu. Oleh karena itu, secara singkat dan sederhana, penulis akan menuliskan sebab terjadinya korupsi.
Pertama, penegakan hukum tidak konsisten, hanya bersifat politis. Kedua, takut dianggap bodoh. Ketiga, langkanya lingkungan anti korupsi, pedoman antikorupsi hanya wacana. Keempat, rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Gaji yang kecil tentu saja membuat penyelenggara negara untuk korupsi. Kelima, kemiskinan dan keserakahan. Karena keadaan tersebut (miskin) seseorang/lembaga terpaksa melakukan korupsi. Keenam, budaya memberi upeti di masyarakat. Tampaknya, budaya ini sudah ada dari zaman feodalisme. Ketujuh, konsekuensi bila ditangkap lebih kecil dibanding keuntungan korupsi. Kedelapan, budaya permisif atau serba membolehkan, menganggap biasa korupsi, tidak peduli keadaan, yang penting tidak terlibat. Kesembilan, gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat ini adalah pendapat Franz Magnis Suseno (seorang tokoh agama). Padahal, jika pendidikan agama tidak hanya di mulut saja, dia dapat memainkan peranan lebih besar dalam penghancuran korupsi.
Kita Dapat Melenyapkan Korupsi: Sebuah Dasar Pemikiran.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam diri bangsa ini. Sesuatu yang sudah menjadi darah daging memang sulit dilenyapkan, tetapi “DAPAT”. Penulis akan mencoba menjabarkan caranya dengan sesederhana mungkin supaya dapat dimengerti. Dalam artikel ini, penulis hanya memfokuskan upaya pemberantasan korupsi dari segi budaya atau “moral”. Kita harus menolak korupsi karena secara moral salah (Klitgaard, 2001) dan memberantasnya dengan cara memberdayakan kembali moral bangsa.

Perlu diketahui kebudayaan terdiri dari 3 bentuk. Pertama, kebudayaan sebagai ide/gagasan. Kedua, kebudayaan sebagai perilaku manusia yang berpola. Dan ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jika korupsi adalah bentuk kebudayaan kedua, yakni “perilaku manusia yang berpola”, maka pantaslah kita bertanya-tanya: Dapatkah kita mengubah “pola” itu? Penulis jawab dengan yakin: “DAPAT!”

Kebudayaan bersifat dinamis dan komunikasi dapat memengaruhi perubahan kebudayaan, baik secara internal maupun eksternal. Kebudayaan baru dapat muncul karena kita belajar. Sedangkan secara teoritis, menurut Koentjaraningrat, proses perubahan kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara mikro dan makro. Dalam ruang lingkup mikro, perubahan kebudayaan terjadi dalam tiga proses, yaitu internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat terjadi secara difusi.

Internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Sederhananya adalah “penanaman nilai”. Jadi, di tahap ini kita harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi sedini mungkin dengan berbagai cara seperti seminar, diskusi, lomba-lomba, dan lain-lain. Kita harus menciptakan suatu keadaan dimana penanaman nilai anti korupsi menjadi sangat kokoh dalam diri seseorang sehingga tak terpengaruh apapun.
Yang kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya untuk belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, kebudayaan berubah karena pengaruh lingkungan. Seperti contoh diri kita sendiri, boleh jadi kita sekarang “gila” online bukan karena kita memang menggunakan media internet untuk bekerja, akan tetapi lebih kepada teman-teman dekat kita banyak yang senang bermain sosial media seperti Facebook. Di sini, ada perubahan budaya kita yang tadinya tidak gemar dunia maya menjadi pecandu sosial media dan itu terjadi karena pengaruh teman-teman (baca: proses sosialisasi).

Tahapan ketiga adalah proses enkulturasi. Enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Setelah proses internalisasi dan sosialisasi yang terus menerus dihidangkan di depan kita, akhirnya, muncul proses yang ketiga, yaitu proses menyesuaikan diri. Kita jadi rajin online, dan kita senang dengan persepsi dari masyarakat bahwa kita adalah anak gaul. Perubahan pola pikir kita (kebudayaan bentuk pertama adalah gagasan/ide) dipengaruhi oleh proses internalisasi dan sosialisasi yang selanjutnya membuat kita melakukan enkulturasi.

Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat dilakukan dengan difusi, yakni penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan ke lingkup kebudayaan yang lain. Ini dapat dilakukan dengan cara damai dan ekstrem. Memberantas korupsi dengan difusi damai seperti “memanfaatkan” kekuasaan untuk membentuk KPK, membuat UU, dan lain-lain. Jadi ada unsur “pemaksaan” yang baik.

Hubungan dengan Upaya Pemberantasan Korupsi
Dengan memahami paradigma bahwa sebuah kebudayaan dapat kita ubah dengan cara internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan cara difusi, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa korupsi dapat dilenyapkan. Yakni dengan memunculkan budaya tandingan korupsi seperti budaya jujur, budaya takut berbuat dosa, dan budaya-budaya “tandingan” lainnya. Namun, muncul satu pertanyaan lagi: langkah konkret apa yang dapat mahasiswa lakukan?

Think Globally, Act Locally
Untuk melenyapkan korupsi, mari kita mulai dari kampus, mari kita mulai dari fakultas masing-masing, mari kita mulai dari jurusan masing-masing dan mari kita mulai dari diri sendiri. Coba berhenti sesaat membicarakan korupsi dalam level “Indonesia” cobalah mulai membicarakan korupsi dalam level “diri sendiri”. Kita harus melakukan proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan difusi di lingkungan kampus.

Bangsa Indonesia adalah bangsa komunal yang butuh contoh dan panutan, karena itu mulai sekarang ciptakanlah lingkungan yang bersih korupsi dan angkatlah pemimpin yang bersih. Maka, pemberantasan korupsi semestinya dimulai dari diri kita. Setelah terlaksana, kita dapat memulai bicara lebih dalam tentang penanggulangan korupsi di sekitar kita. Lalu, meningkat di jurusan kita, di fakultas, kampus dan terakhir adalah di negeri kita yang tercinta; Indonesia.

Anggel D. Satria
Kepala Jaringan dan Lembaga
BEM FE UNS

Sunday, July 17, 2011

Transparansi Keuangan Pendidikan Tinggi Bermasalah

Dibalik euforia penerimaan mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi negeri, ternyata terdapat polemik keuangan pada sejumlah perguruan tinggi negeri yang menimbulkan tanda tanya besar atas akuntabilitas institusi pendidikan tinggi negeri di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat banyak masalah ditemukan dalam hal pengelolaan keuangan perguruan tinggi negeri sepanjang tahun 2010 yang mendorong BPK mengeluarkan disclaimer atau tidak memberikan pendapat atas audit yang dilakukan terhadap perguruan tinggi negeri.
BPK melaporkan bahwa terdapat temuan berupa kas sebesar Rp 763,12 miliar yang antara lain berupa sisa dana bantuan sosial yang tidak tersalurkan sebesar Rp 69,33 miliar yang belum dikembalikan kepada kas negara. Selain itu terdapat pula dana yang merupakan pungutan perguruan tinggi negeri sebesar Rp 25,83 miliar yang tidak dilaporkan ke kas negara dan digunakan langsung tanpa melalui mekanisme APBN seperti yang seharusnya. Terdapat pula dana sebesar Rp 13,4 miliar di dua universitas negeri di daerah Jawa Barat dan Sumatera Barat yang merupakan uang panjar kepada pihak internal dan dana bank yang tidak dilapor. Padahal menurut BPK, tidaklah dikenal sistem dana panjar oleh pihak mereka dan pengelolaan dana tersebut pun tidak jelas.
Kemudian, menurut Rizal Djalil, anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang menangani masalah pendidikan, dari nilai keseluruhan biaya pungutan pendidikan dari masyarakat sebesar Rp 7,9 triliun terdapat sampel kasus yang menunjukan dana tidak dikelola dengan baik. Terdapat pula sejumlah rekening liar di Kementrian Pendidikan Nasional dengan saldo dana tersisa sebesar RP 26,44 miliar yang keberadaannya tidak dilaporkan kepada Kementrian Keuangan sehingga penggunaan dananya tidak diketahui dengan jelas. Bahkan menurut Indonesia Corruption Watch, dari 6 perguruan tinggi yang mereka pinta laporan keuangannya hanya satu universitas negeri yang merespon dengan memberikan laporan keuangan yang cukup detil, sisanya ada yang melaporkan dengan tidak transparan maupun menolak permohonan ICW tersebut.
Sungguh sebuah ironi apabila kita membandingkan jumlah dan deskripsi dana bermasalah tersebut dengan realita biaya pendidikan tinggi yang semakin sulit dijangkau kalangan masyarakat dengan kondisi finansial yang pas-pasan. Dikemukakan oleh BPK bahwa terdapat dana bantuan sosial yang tidak digunakan sebesar Rp 69,33 miliar, sedangkan disisi lain biaya masuk perguruan tinggi dari tahun ke tahun kian meningkat. Dapatkah kita mempertanyakan, apa maksud dari biaya masuk yang tinggi tersebut jika masih tersisa dana bantuan yang lebih itu? Mengapa pihak perguruan tinggi negeri harus bersusah payah untuk membuka jalur ujian mandiri dengan tarif nyeleneh yang memusingkan calon mahasiswa dan membebankan orangtua dengan alasan tidak cukupnya dana pendidikan yang diberikan pemerintah ketika kenyataannya justru terdapat dana bantuan sosial yang bisa dimanfaatkan namun tidak tersalurkan dengan optimal?
Sejumlah perguruan tinggi negeri yang membuka jalur ujian mandiri dengan tarif yang lebih mahal daripada jalur SNMPTN berdalih bahwa dengan demikian maka akan tercapai keadilan dalam pembebanan biaya masuk universitas. Mereka yang kemampuan finansialnya lebih akan dibebankan biaya masuk yang lebih tinggi, sementara mereka yang kemampuan finansialnya biasa-biasa saja akan dibebankan biaya masuk yang sewajarnya. Nyatanya saat ini biaya masuk jalur reguler atau SNMPTN pada sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka pun telah berkisar diatas 50 jutaan.
Hal ini mengindikasikan perguruan tinggi negeri telah bertransformasi dari sebuah institusi formal yang menempa manusia-manusia muda Indonesia untuk mencapai tingkatan intelektual yang lebih tinggi menjadi sebuah ajang komersialisasi sains yang hanya menerima mereka yang berduit dan memarjinalkan mereka dari golongan menengah kebawah, selain bahwa akuntabilitas perguruan tinggi negeri di Indonesia kian diragukan. Tidaklah heran jika ternyata sebuah institut negeri terkemuka mengganti kata sambutan bagi mahasiswa barunya menjadi “Selamat Datang Putra-Putri Terkaya Bangsa” walaupun melalu sebuah insiden yang tidak terencana. Karena memang itulah potret pendidikan yang kini disuguhkan. Pendidikan kini telah menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan dan di dalamnya telah berlaku mekanisme pasar. Mereka yang bersedia membayar lebih, merekalah yang mendapatkannya.


Kajian Ekonomi
BEM KEMA FE Unpad

Sunday, July 3, 2011

ASEAN INTEGRATION AND OPPRTUNITY FOR INDONESIA

Economic Integration among ASEAN countries is necessary to facing global competition. Develop ASEAN as a fully integrated and highly competitive region must envolving all element of ASEAN. It cannot be done by one country. We must realized about the importance of Integration in South East Asia and what its necessary to do to be fully integrated region. Integration with no zero sum game, integration to make a win-win sollution for the member countries.

The global economic crisis that began in the United States and then spread to Europe and some Asian countries makes the world again turned its attention to countries emerging asia. At the moment the United States who suffered the twin deficits (balance of trade deficit and budget) and some countries in Europe which should be in the bail out because the budget deficit, not a few countries of Asia who actually enjoys a good surplus in trade balance and balance the budget. China for example is still posted the largest reserves in the world with 2.5 trillion U.S. dollars while its economic growth had faltered down to single digit , China remains a world economic giant today. Indonesia itself as part of ASEAN also continued to maintain foreign reserves at the level approximately of 115 billion U.S. dollars. Singapore which had recorded minus growth also began to recover and record positive growth. At the moment there is no sign of recovery towards the U.S. and European economies, as well as the threat of impending double dip recession because the balance a huge budget deficit, asia to be excellent for the entry of new investments.

When capital flows comes to Asia as well as to countries in Southeast Asia are still many problems that become obstacles in the absorption of incoming investment. Capital flows that have not yet all can be absorbed into the real sector. This is not out of lack of integration among countries in East Asia including Southeast Asia. AEC (ASEAN Economic Community) that was launched in 2015 indicates that the awareness of stakeholders on the importance of an ASEAN economic integration. Economic integration becomes an absolute necessity for a state because in the middle of limited ability, the State should be able to compete in world economic competition and still get gains from international trade.

Flying geese
Akamatsu (1930) suggests that as time advances developed countries will shift production to developing countries. To produce an item is no longer necessary to do so in a country. But it can harness the advantages of the other countries. This concept was then called with flying geese whereby developed countries would be a leader in the economy followed by developing countries that are behind it to support the production process. For example the time you buy a macbook then you will no longer get it from U.S. products. Macbook designed in the U.S. and then the software installation will be done in India, and ansembled in china. The chip used is produced in Japan or Korea as well as with its LCD screen, will you get it from japan. The phenomena there are no products that are produced by one country show that every state can get added value from their participation in producing a consumption product.

Infrastructure Integration
Economic integration is not only focusing on corporate and governmental policies or tariffs but also paying attention to the connectedness between countries are integrated. This proved important and can contribute to spur economic growth in particular and the integration of the region in general. Bhattacharyay (2010) put forward on infrastructure connectivity among ASEAN countries to support the integration process in ASEAN. Infrastructure plays a very important role for the process of integration and connectivity among ASEAN countries. With the infrastructure of each country can be connected to each other. Infrastructure can also support the economic process because the flow of goods and factors of production will become more fluent when infrastructure.

Monetary integration
Another things that discussed many circles is about the integration of monetary or in other, more popular form of currency unification. Talking about a currency union is not new. Many economists who argue that currency union becomes absolutely necessary when a region wants built. This is based on the number of conveniences that occur in today's society can be unified currency. After seeing the success of the Euro in European economists began to speculate about the occurrence of the same thing in Asia.

ASEAN countries which are developing countries still face some problems which can hamper economic integration such as poverty, corruption, and political uncertainty. This must be addressed by each country. Welfare of the people do not get overlooked simply because of political selfishness. Each stakeholder should be aware of the importance of unity among ASEAN countries. That unity is happening would be good for people's welfare. Because if integration is only driven by a single country then this may lead to neo-colonialism in which a state will control the other countries. A strong economic foundation in each country must be achieved. The provision of public goods like education, health, and infrastructure must have been completed in each ASEAN member country before embarking on the process of further integration. Integration must be driven by economic not by the political decision. Unify inequality will only lead to conflict and chaos. The purpose of the AEC 2015 to realize the ASEAN region to become an integrated and competitive will not be reached without the participation of all stakeholders, both public and private.

Haris Darmawan
Chief of Strategic Research Department
BEMFEBUGM

References
Quarterly Report of Indonesian Economy The World Bank. Desember 2010
Bhattacharyay,Biswa Nath. Infrastructure for ASEAN Connectivity and Integration. ASEAN Economic Bulletin, Vol 27 pp 200-220. 2010
Eichengreen, Barry. The Parallel-Currency Approach to Asian Monetary Integration. The American Economics Review. 2006

Prasetiantono, A.Toni. Perang Kurs dan Prospek Rupiah. Kompas 22 November 2010

Prasetiantono, A. Toni. Hot Money dan Infrastruktur. Media Indonesia 18 Oktober 2010

Schwab, Klaus. Global Competitiveness Report. World Economic Forum. 2010

Saturday, June 4, 2011

UMKM, Ujung Tombak Indonesia Taklukkan ASEAN

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang diselenggarakan di Indonesia beberapa waktu lalu, sesungguhnya memberikan peluang yang cukup besar bagi pengembangan pembangunan ekonomi Indonesia. Karena kerja sama strategis yang disepakati antar Negara ASEAN, dan dengan posisi Indonesia yang terpilih sebagai ketua, serta Indonesia juga merupakan satu-satunya Negara ASEAN yang menjadi anggota gerakan G20 memungkinkan adanya pengaruh yang cukup besar dalam berjalannya kerja sama ASEAN. Kerja sama strategis itu diwujudkan dalam sepuluh kesepakatan penting yakni :
1. Konektifitas ASEAN
2. Ketahanan pangan dan energi
3. Manajemen dan resolusi konflik
4. Regional architecture
5. Partisipasi organisasi masyarakat
6. Penanganan bencana alam
7. Kerjasama subkawasan ASEAN
8. Penyelenggaraan The 1st East Asia Summit
9. Keanggotaan Timor Leste
10. Pertukaran Myanmar dan Laos sebagai Ketua ASEAN
Dari kesepuluh kesepakatan diatas, salah satu bidang kerja sama strategis yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh Indonesia ialah kerjasama subkawasan ASEAN, terutama bidang ekonomi dalam hal perdagangan. Kerja sama strategis yang dibangun dalam ASEAN memang bertujuan untuk membentuk satu kawasan ekonomi regional yang stabil sehingga dapat menunjang percepatan pertumbuhan Negara berkembang dengan adanya keterhubungan dan integrasi ekonomi. Selain itu dengan terkoneksinya Indonesia dalam komunitas ekonomi ASEAN akan meningkatkan arus permintaan dan penawaran antardaerah, yang akan mempersempit kesenjangan pembangunan dalam kawasan.
Namun potensi dan peluang yang muncul sebagai hasil kerja sama regional ASEAN itu tidak akan berarti banyak jika pemerintah tidak segera merestrukturisasi pola kebijakan ekspor Indonesia yang hingga saat ini hanya berfokus pada komoditas sektor primer seperti pertambangan batu bara dan minyak mentah. Sementara peluang dan ruang bagi UMKM yang dapat dikelola oleh pengusaha kecil tidak dapat terakomodasi dengan baik. Hal inilah yang membuat Indonesia kalah dengan Negara lain seperti China dan Thailand dalam jumlah komoditi ekspor.
Secara umum jika dianalisa ada Sembilan hambatan yang kini dihadapi oleh UMKM yang ada di Indonesia untuk bisa menembus pasar ekspor yakni :
1. Sulitnya akses pembiayaan
2. Keterbatasan ikatan perdagangan dengan Negara lain
3. Kesulitan memahami ketentuan, peraturan dan kebutuhan teknis yang dipersyaratkan
4. Kurangnya keterbukaan dan transparansi lingkungan bisnis
5. Ketidakcukupan kebijakan dan kerangka aturan yang mendukung perdagangan antar negara melalui e-commerce
6. Ketidakmampuan melakukan perlindungan hak atas kekayaan intelektual
7. Mahalnya biaya transportasi
8. Adanya penundaan kepabeanan termasuk kesulitan memahami persyaratan dan dokumen kepabeanan yang kompleks
9. Kesulitan dalam memanfaatkan kemudahan tarif dan berbagai kesepakatan di bidang perdagangan
Oleh karena itu seharusnya pemerintah fokus terhadap pengembangan UMKM semisal pada produk pertanian, peternakan, hasil tambak karena sektor pertambangan suatu saat akan habis. Maka apabila pemerintah tidak segera mengantisipasi habisnya hasil tambang maka bersiaplah ketika Indonesia tidak dapat lagi mengekspor barang apapun sehingga berakibat neraca perdagangan Indonesia akan defisit besar-besaran. Hal ini tentu sangat tidak kita harapkan terjadi dalam perekonomian Indonesia, karena pasti hal ini akan semakin memperburuk keadaan ekonomi serta menambah beban rakyat kecil.
Pemerintah perlu melakukan pembenahan dengan segera terhadap pengembangan UMKM agar dapat lebih produktif serta menghasilkan barang-barang yang mampu bersaing dipasar dunia. Mengutip pernyataan Ketua Dewan Pengurus MRU Foundation, Sandiaga S. Uno, “pengembangan pengembangan lembaga keuangan mikro merupakan langkah tepat untuk memberdayakan sektor usaha mikro karena pada dasarnya keberadaan bank komersil tidak didesain untuk bisa turun memberikan solusi pada usaha level bawah dan hal ini perlu diperkuat dengan adanya UU agar pengembangannya lebih terarah. Karena mutlak tanpa sistem permodalan yang baik suatu industri tidak akan bisa beroperasi secara baik untuk menghasilkan produk yang berkualitas.”
Hal lain yang tentu perlu dilakukan oleh pemerintah ialah mempromosikan sistem Business Development Service untuk meningkatkan akses pada input, produk, pasar, informasi, teknologi, pelatihan serta memperbaiki infrastruktur yang menunjang keseluruhan aktifitas perekonomian. Sehingga perbaikan itu dapat meningkatkan kualitas produk serta daya saing UMKM dan mampu meminimalisir biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman barang. Jadi tidak hanya berkualitas, harga yang ditawarkan oleh produk UMKM pun dapat bersaing di pasar Internasional dan pada akhirnya akan berimbas pada membaiknya neraca perdagangan internasional Indonesia.


Nofialdi
Menteri Kajian Ekonomi
BEM Kema FE Unpad

Friday, May 27, 2011

House of Representative (DPR) Building Construction

On the last quarter of 2010, residents of Indonesia were bemused of the news upon the planning of House of Representative (DPR) building construction. It appeared to be one of the very first lists on government budget for this period. Controversial between some parties happened in order to support or even oppose it. Society rejection also happened while DPR still believe that this planning will be implemented on this period.
According to Marzuki, the chairman of DPR RI, the new DPR building construction is one of two institutional reinforcement program which has been prepared in the DPR strategic plan 2010-2014. In order to strengthen these institutions, there are two ways of program conducted. First, support management program and enforcement of other technical duties. Second, facilities and infrastructure improvement program.
“DPR Construction building supposedly began in 2010 and completed in 2014, but considering social and political aspect, the plan have to be delayed and is planned to be implemented in 2011,” he said.
The general secretary of the Parliament, Nining Indra Saleh, explained that the 32 meters square working area is filled with members of the House of Representative and one assistent and experts. Hence, lots of complaints about the need for new building. She also said that preparation and building plans have been made since the period of 2004 – 2009. This plan and policy is final and has been determined through the consultation meeting, the council and Domestic Affair Agency (BURT) DPR on October 19, 2010. The decision also has been established at Plenary Meeting of the Law on Ratification Budget (UU APBN) 2011 on October 26, 2010. Inside UU APBN, it contains the allocation of new building construction.
Based on state revenue and expenditure budget (APBN), DPR building construction cost on 2010 spent IDR 383.231.827.000. This year allocation for DPR building construction increases become IDR 8 billion while the cost for DPR building construction that has been planned is about IDR 1,1 trillion and revised to IDR 770 billion.
Consideration toward budget and government spending in Indonesia that created lots of debts in the past make this construction building controversial either from society or even the parties that involved as the members of House of Representative itself. Not to mention the social gap in Indonesia that is really big makes this building construction not feasible to be accepted by society. This also happen to majority faction in DPR which was originally approved the plan of building construction turn into against it. As the criticism from society increases, some fraction of DPR decided to reject the plan. Fraction that rejected this plan are Gerindra, PAN, PKS, PDIP, PPP, and PKB. Demokrat, Golkar, and Hanura are still consistent in supporting the plan of building construction.
Another point of view comes from vice coordinator of Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho. He said that Marzuki’s action in the case of building construction is out of the official policy of Demokrat party which state to support government’s performance and make the 2011 – 2013 period as the years for working for citizens, not political.
“In the case of DPR building construction, a question arises. Does Marzuki Ali work for people, himself, the political elite, or contractor?” Emerson added.
In order to face various kinds of problems related to this building construction, Marzuki hopes, members of DPR should have commitment and consistency in attitude. “This is very important to build state and nation. How is it possible to build the state and nation if the character of the nation is far away to sportive, and how we can be trusted if there is no commitment and consistency,” he added.
Controversial happens between the budget that assessed too high seeing the economic and social condition of Indonesia’s society right now and the need of members of DPR upon the new building since the last time DPR building constructed was in 1965. The general secretary of DPR believes that this is needed to increase the performances of members of DPR since the current building is seen to be less appropriate. Construction of building based on the needs that has been indicated by the condition of existing space work currently.
Seeing those controversial from two sides of the house, society doesn’t see any urgency in order to build the new building. The urgency comes when it significantly harm people if it doesn’t conducted. Poverty, education, inflation, debt, starvation here and there are several kinds of urgency problems that should be solved immediately. The stance of society in opposing the plan is stronger than the stance of chairman of DPR has. Society has so many reasons to oppose it, while there are lots of people out there suffering from starve, small people living conditions are mostly difficult. Those problems coupled with the luxury houses of members of parliament, luxury facilities, power they have, and now will be completed with luxury building work. It shows how the urgency comes up for those of society who needs to get help with the fund rather than to build some building that still appropriate for working. But however, Marzuki believes that in order to build DPR building, we should not only imagine the next 5 years, but also 50 years because the next period, the number of parliament members can be increased.
The later effect of this building construction is that society will probably lose their credibility to government. The transparency of the budget is not exists. Nominal fund that has been told to public is only for the physical structure, 1,138 trillion. While the cost of furniture, IT, and security systems are not described. Potential loss of the government financial would be enormous if this building keep continues. It also convinced by General Secretary of Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHRCSJ), Gunawan, that the action of Marzuki ignored the signal from President toward budget savings. President has instructed the delay and cancellation upon new building construction within either the governmental or non-governmental institutions if it is not necessary. That will resulted into less credibility that society has for government.
The urgency and the feasibility of this mechanism to build new parliament building are not supported by some reasons behind it. It will be resulted into disappointment from the society. This society rejection should be one of the biggest influences in deciding the using of government budget to conduct the new parliament building.


Della Karina
Economics Studies of BEM
Faculty of Economics
Padjadjaran University

Saturday, May 14, 2011

Agenda Mendesak dan Penting: Pembangunan Gedung Baru DPR? Ironis!

Sungguh ironis negara Indonesia ini, dibalik kekayaan alamnya yang sangat melimpah ruah dari sabang sampai merauke, Indonesia justru dilanda kemiskinan yang tak kunjung usai. Indonesia yang dihiasi dengan berbagai macam suku, bangsa, adat, agama dan lain sebagainya, di wilayah Indonesia bagian timur justru terjadi banyak konflik dan peperangan. Indonesia yang dianugerahkan kekayaan hasil pangannya, namun Indonesia justru masih dilanda kelaparan dan banyak anak-anak kekurangan gizi. Lagi-lagi Indonesia yang dianugerahkan banyak sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah, namun justru sebanding pula dengan rakyat Indonesia yang tidak bisa mengenyam bangku sekolah. Ada apa ini Indonesia? Terlalu banyakkah dosa-dosamu? Mari kita menelisik ke Bapak-Bapak terhormat di Gedung DPR RI yang sebenarnya mengagendakan apa untuk seluruh rakyat Indonesia?

Baru-baru ini kita disodorkan berita terkait dengan agenda terdekat anggota DPR RI yang jika tidak ada aral melintang yaitu pembangunan gedung baru DPR yang akan diawali dengan peletakan batu pertaman pada Oktober mendatang. Bangunan yang super mewah berlantaikan 36 itu berbentuk gerbang, atau bingkai yang mencerminkan anggota DPR dari beragam latar belakang dan daerah. Selain itu berlandaskan filosofi air mengalir. Unsur air di samping sebagai elemen estetis, juga sebagai penghubung antara bangunan eksisting dengan gedung baru. Dalam agenda DPR RI 2010-2014, memang pembangunan gedung baru menjadi salah satu hal yang diprioritaskan. Terlihat dari renstra DPR RI 2010-2014 dimana didalamnya disebutkan bahwa “perencanaan pembangunan kawasan parlemen dan gedung DPR RI menjadi kepentingan yang mendesak untuk dilaksanakan…”[1]. Dari pernyataan tersebut, jelas kiranya bahwa pembangunan gedung baru ternyata bukanlah sebuah isu yang tiba-tiba muncul, tetapi memang sudah direncanakan sejak awal. Target yang ditetapkan oleh DPR, pembangunan gedung baru akan selesai pada pada tahun 2012. Bukan menjadi sebuah hal yang haram sebetulnya ketika para wakil rakyat menginginkan pembangunan gedung baru. Namun, akan menjadi haram ketika kinerja para wakil tidak memuaskan rakyat, komunikasi antara wakil dan terwakil tidak berjalan dengan baik, dan anggaran yang dihabiskan tidak masuk akal.

Walaupun telah masuk kedalam renstra DPR RI 2010-2014, tentu bukan menjadi alasan kuat mengapa pembangunan gedung harus terealisasi. Berdasarkan beberapa data yang penulis temukan, penulis menganggap bahwa belum saatnya DPR membutuhkan gedung baru, mengingat gedung yang sekarang sedang ditempati masih layak untuk digunakan, dan fasilitasnya pun memadai. Jika dianalisa, grand design pembangunan gedung baru nampaknya hanya berfokus pada penambahan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh para anggota Dewan. Namun yang menjadi masalah, fasilitas baru ini bukanlah fasilitas yang secara langsung mendukung peningkatan kualitas kerja para anggota Dewan. Dengan kenyataan ini, maka argumen anggota Dewan yang menginginkan gedung baru untuk peningkatan kualitas kerja, dengan sendirinya akan terbantahkan.

Tidak tanggung-tanggung, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun gedung baru DPR RI berada pada angka triliunan. Dana sebesar kurang lebih 1,2 triliun siap digelontorkan untuk menjalankan proyek tersebut. Dana APBNP 2010 sebesar Rp 250 miliar juga akan segera di gunakan setelah peletakan batu pertama. Sungguh dana yang sangat besar dan tidak masuk akal, sehingga memancing nalar kita untuk bertanya-tanya, untuk apa dana sebesar itu? Secara umum, BURT DPR secara normatif ingin membangun sebuah gedung yang bisa diapakai untuk beratus-ratus tahun ke depan. Penambahan fasilitas pun menurut mereka dibutuhkan untuk mendukung kinerja para wakil rakyat. Namun satu hal yang harus digaris bawahi adalah tidak ada jaminan bahwa peningkatan fasilitas berarti peningkatan kinerja. Kinerja ditentukan oleh kapabilitas dan kualitas para wakil, bukan ditentukan oleh seberapa banyak fasilitas yang ada di sekelilingnya. Satu catatan penting yang masih harus dikritisi dan dikaji ulang terkait dengan pembangunan gedung baru DPR RI.

Jelas sekali kiranya ada unsur pragmatisme yang begitu kental dalam hal ini. Para anggota dewan lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang rakyatnya, dan seolah acuh terhadap kondisi rakyatnya. Betapa banyak rakyat yang masih kelaparan dan membutuhkan bantuan. Betapa banyak rakyat yang masih belum bisa mengenyam bangku sekolah. Apakah para anggota Dewan tahu akan hal ini, atau hanya pura-pura tidak tahu? Alih-alih membangun gedung baru untuk meningkatkan kinerja, namun yang terjadi justru meningkatkan “kenyamanan” para wakil rakyat sebagai pejabat negara, dan semakin “menyengsarakan” rakyat sebagai entitas yang diwakilinya. Dikatakan “menyengsarakan” karena uang triliunan tadi diambil dari APBN dalam beberapa tahun terakhir ini, dan bisa dikatakan bahwa penerimaan yang didapat dari APBN adalh uang rakyat. Jadi bisa dibilang bahwa rakyatlah yang membiayai pembangunan gedung baru DPR seharga 1,3 triliun. Ironis rasanya.

Jika kita melihat struktur lembaga perwakilan di Indonesia, maka bisa dikatakan bahwa ada dua unsur keterwakilan yang coba diakomodir dalam lembaga perwakilan kita, yaitu perwakilan demografis (DPR), dan perwakilan geografis (DPD). Dari kedua unsur tersebut, agaknya yang harus mendapat sorotan tajam adalah unsur perwakilan demografis, karena sejatinya para wakil dari unsur keterwakilan ini harus merepresentasikan kepentingan rakyat, Karena itu, pola hubungan yang seharusnya dipakai adalah delegate atau politico karena wakil tidak bisa terlepas dan otonom terhadap terwakil, yang dalam hal ini adalah rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya, wakil bertindak sangat otonom terhadap terwakilnya. (hasil kajian Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia)

Berikut kronologi rencana pembangunan gedung yang di dalamnya terdapat fasilitas rekreatif seperti spa dan kolam renang, sebagaimana dilansir di website DPR.

  1. Didasarkan atas perubahan jumlah anggota dewan yang tiap periode bertambah, serta tidak mencukupinya Gedung Nusantara I untuk dapat menampung aktivitas anggota DPR RI.
  2. Saat ini tiap anggota DPR RI di Gedung Nusantara I menempati ruang seluas ± 32 m2, diisi 1 anggota, 1 sekretaris, dan 2 staf ahli. Kondisi ini dianggap tidak optimal untuk kinerja dewan.
  3. Dalam rangka penataan Kompleks DPR, maka BURT menyusun TOR Grand Design Kawasan DPR RI. Pada Tahun 2008, Setjen DPR RI melakukan Lelang untuk Konsutan Review Masterplan, AMDAL, dan Audit Struktur Gedung Nusantara, yang menghasilkan Blok Plan Kawasan DPR/MPR RI (Oktober 2008).
  4. Pada 2 Februari 2009, PT. Virama Karya (Konsultan Masterplan, AMDAL, dan Audit Struktur) memaparkan Blok Plan Kawasan MPR/DPR RI pada Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi serta Pimpinan BURT. Rapat meminta Konsep Blok Plan disempurnakan.
  5. Pada 18 Mei 2009, diadakan Rapat Dengar Pendapat antara Steering Committee Penataan Ulang dengan IAI, INKINDO dan PT. Yodya Karya memutuskan untuk mengadakan lokakarya dalam rangka mendapatkan masukan-masukan mengenai Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI.
  6. Pada 24-25 Juni 2009 diadakan Lokakarya Penataan Ulang Komplek MPR/DPR/DPD RI dan hasil Penyempurnaan Master Plan telah disampaikan ke BURT.
  7. Dalam rangka penataan Kompleks Kantor DPR RI, maka pada tahun 2008 dilakukan lelang untuk Konsultan Perencana (PT. Yodya Karya) dan Manajemen Konstruksi (PT. Ciria Jasa), dengan hasil pekerjaan adalah konsep disain Gedung Baru dengan dasar perhitungan berdasar kebutuhan dari 540 orang anggota dewan.
  8. Ruang untuk tiap anggota dewan seluas 64 m2, meliputi 1 anggota dewan, 2 staf ahli, dan 1 asisten pribadi.
  9. Hasil konsep perencanaan adalah Konsep Rancangan Gedung Baru 27 lantai termasuk P dan S dan DED untuk pekerjaan pondasi.
  10. Pada tahun 2009, dilakukan penyusunan DED Gedung Baru 27 lantai berupa Desain Upper Structure, plat, kolom, balok, dan Core untuk Lt. 1,2 dan 3.
  11. Luas total bangunan tersebut (27 Lt) ± 120.000 m2.
  12. Pada masa bakti Anggota Dewan periode 2009 -2014, ada keinginan penambahan jumlah staf ahli yang semula 2 menjadi 5, serta penambahan fasilitas berupa ruang rapat kecil, kamar istirahat, KM/WC, dan ruang tamu.
  13. Berdasarkan kebutuhan baru tersebut, perhitungan untuk ruang masing-masing anggota menjadi 7 orang, meliputi 1 anggota dewan, 5 staf ahli, dan 1 asisten pribadi seluas ± 120 m2.
  14. Perhitungan luas total bangunan berubah dari ±120.000 m2 (27 Lt) menjadi ±161.000 m2 (36 lt). Perhitungan ini tidak bertentangan dengan Master Plan yang telah disusun oleh PT. Virama Karya (KDB dan KLB masih memenuhi peraturan DKI)

Sebagai penutup, izinkan penulis kembali menegaskan mengenai standing point penulis diawal bahwa pembangunan gedung baru DPR masih belum layak untuk dilaksanakan. Pertama, karena memang gedung DPR yang ada sekarang masih layak untuk digunakan, dan biaya untuk membangun gedung baru sangat besar dan boros anggaran. Pun tidak ada jaminan bahwa dengan dibangunnya gedung baru akan meningkatkan kualitas kerja para anggota Dewan, malah yang kemungkinan terjadi adalah sebaliknya karena pembangunan gedung lebih diarahkan untuk menambah fasilitas-fasilitas yang tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kinerja.

Kemudian, penulis juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh terperangkap menjadi insan-insan yang reaktif yang hanya akan beraksi jika ada masalah. Kita perlu secara tajam melihat dan menganalisa bahwa sebetulnya dibalik semua isu yang diberitakan di media, ada masalah lain yang agaknya terlupakan, namun sebetulnya lebih substantif. Dalam hal lembaga perwakilan, masalahnya bukanlah sekadar pembangunan gedung baru yang memakan biaya triliunan, namun lebih besar daripada itu yaitu masalah mengenai siapa yang diwakili oleh para wakil kita di DPR, dan bagaimana kedudukan wakil terhadap terwakilnya, yaitu rakyat Indonesia. Disini kita harus lebih jeli dan lebih tajam untuk melihat sebuah fenomena. Jangan lihat “kulitnya” namun lihatlah “isinya”.

Penulis:

Anggel Dwi Satria

Kepala Divisi Jaringan dan Lembaga

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi

Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Wednesday, May 11, 2011

PEMBANGUNAN GEDUNG BARU DPR : SEBUAH IRONI DI TENGAH KRISIS

Pembangunan gedung baru DPR kali ini mengandung kontroversi dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat mengatakan bahwa pembangunan ini merupakan lagi-lagi adalah program pemborosan uang rakyat, di mana pembangunan ini membutuhkan dana mencapai Rp 1, 162 T. Dana ini dianggap tidak relevan untuk direalisasikan, mengingat pembangunan gedung baru ini dibangun dengan fasilitas kolam renang, kamar tidur, spa, dan masing-masing anggota DPR memiliki ruang pribadi yang dilengkapi dengan ruang tamu, kamar mandi, ruang istirahat, dan ruang rapat kecil.
Latar belakang pembangunan gedung DPR itu ada di Rencana Strategis DPR 2009-2014 pada halaman 55 pada point Indikator Kerja. Hal ini mengacu pada penambahan jumlah anggota DPR, sesuai dengan Undang-Undang Pemilu no 10 tahun 2008. Jumlah anggota DPR yang semakin banyak ini menyebabkan kebutuhan akan jumlah karyawan, staf ahli, atau cleaning service yang semakin banyak, sehingga gedung DPR kini terlihat ‘crowded’. Bentuk bangunan gedung DPR yang miring juga merupakan salah satu alasan mengapa pembangunan Gedung DPR tahap II. Masalahnya sekarang adalah apakah jumlah dana yang direncanakan itu tepat sasaran dan tepat guna? Apakah adanya gedung DPR yang baru dapat meningkatkan kinerja anggota parlemen secara maksimal? Sedangkan anggota parlemen masih mendapat citra buruk di mata masyarakat karena belum memaksimalkan kesejahteraan rakyat.
Prosedur pengajuan pembangunan gedung DPR ini dilaksanakan oleh Komisi I DPR, yakni Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), yang kemudian dibahas di rapat paripurna. Jika disetujui di rapat paripurna, maka dana ini bisa disetujui. Anggaran dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung DPR adalah Rp 1,162 T. Anggaran ini bersumber dari APBN dan sah secara konstitusi. Anggaran ini belum termasuk anggaran untuk pengelolaan IT, pemeliharaan gedung, penyediaan peralatan, dan lain sebagainya. Untuk keseluruhan diprediksi mencapai Rp 1,168 T. Dana ini diestimasikan bisa membangun 12.000 gedung sekolah di Indonesia. Akan tetapi, mengapa dana untuk pembangunan yang mengundang kontroversi itu disetujui sangat cepat, sedangkan untuk dana pendidikan dan lain-lain terkesan agak lambat?
Penuhnya gedung DPR secara langsung dipengaruhi oleh keleluasaan masuk siapa pun yang tidak berhubungan dengan parlemen ke dalam gedung. Salah seorang mantan anggota DPR mengatakan bahwa banyaknya anggota DPR yang telat antara lain disebabkan penuhnya lift oleh broker asuransi, tukang kredit, dan lain-lain yang tidak berhubungan dengan parlemen yang memenuhi gedung. Penuhnya gedung sehingga menyebabkan cleaning service harus membersihkan gedung setiap saat. Keleluasaan ini antara lain karena sistem penjagaan yang kurang ketat.
Terkait dalam pembangunan, anggota DPR saat ini dipastikan belum tentu menikmati gedung baru yang mereka rencanakan saat ini. Oleh karena itu, mengapa mereka bersikukuh dalam pembangunan? Dikhawatirkan adanya insentif dalam proses pembangunan yang masuk ke kantong-kantong yang tidak bertanggung jawab jika pembangunan ini diteruskan. Ketua DPR Marzuki Alie secara langsung menyatakan bahwa ia tidak setuju secara pribadi, namun kalau dari kelembagaan, pembangunan ini penting, karena dananya sudah tersedia, dan khawatir diselewengkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan sejak 2005-2008 dihasilkan produk legislasi yang dihasilkan DPR 41 persennya undang-undang tentang otonomi daerah yang menyiratkan adanya pembagian kekuasaan di tingkat regional antar elite politik.
Pembangunan gedung DPR ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan ‘distrust’ dari masyarakat. Lagi-lagi anggota DPR dianggap masyarakat tidak memikirkan kesejahteraan rakyat, mereka hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan pribadi. Bahkan dengan kondisi gedung yang sekarang, kinerja anggota DPR masih belum mendapat nilai bagus di mata masyarakat. Alangkah baiknya, pembangunan DPR itu hanya pembangunan fasilitas seperlunya, sehingga tidak menghabiskan dana rakyat yang terlalu banyak, dan diperlukan peningkatan kinerja DPR dalam tugasnya sebagai wakil rakyat yang mewakili aspirasi dan suara rakyat.

Polkastrad BEM FEM IPB

Tuesday, May 10, 2011

ANGGOTA DEWAN DAN GEDUNG BARU

Lingkungan tempat kita bekerja pasti akan mempengaruhi hasil pekerjaan kita. Lingkungan yang baik pasti akan membuat kita lebih bersemangat dalam bekerja, sehingga hasilnya bisa lebih baik. Tetapi tentu hal itu bukan harga mutlak karena banyak juga dari kita yang berada dalam kondisi yang kurang baik atau bahkan kurang tetapi tetap bisa menghasilkan banyak karya yang baik atau bahkan bisa dibilang sangat baik. Begitu juga yang dialami oleh anggota dewan kita, mereka sebagai pejabat tinggi Negara yang di sejajarkan dengan menteri tentu membutuhkan suasana kerja yang mendukung. Mulai dari sarana pokok sampai fasilitas penunjang lainnya. Maka wajar kiranya jika para anggota dewan membutuhkan gedung baru untuk keperluan tugas kedewanan yang konon katanya sangat banyak serta menyita banyak waktu dan tenaga. Gedung ini menjadi urgent karena selain agar menunjang kenyamanan serta keamanan dari anggota dewan, dimana sekarang kurang terakomodir di gedung yang lama, juga untuk mengakomodir kebutuhan akan tambahan staff ahli yang akan diwajibkan bagi setiap anggota dewan di periode mendatang.

Hal yang kemudian mengusik benak kita pasti adalah anggaran yang nantinya akan dipergunakan untuk proses pembangunan ini. Menurut beberapa sumber angkanya mencapai 1.16 Trilyun rupiah dengan perincian yang kurang begitu jelas. Apakah semua itu sudah termasuk biaya keamanan, biaya pengadaan furniture, pengadaan IT, dan pengadaan system kelistrikan yang tentu semua ini juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Angka yang tercantum sudah termasuk segala pengadaannya maka jumlah yang dikeluarkan menjadi cukup rasional. Pertanyaan selanjutnya tentang pembangunan gedung ini adalah prosesnya yang cenderung tertutup dan kurang diketahui public. Proses tendernya pun tidak terbuka. Bahkan desainer serta master plannya juga tidak beredar di masyarakat. Proses ini juga sudah menelan dana hampir 14 M hanya untuk biaya konsultasi. Sebagai lembaga public tentu saja Dewan harus lebih terbuka dalam masalah gedung ini. Transparansi dan akuntabilitas dari proses pembangunan gedung ini banyak ditunggu oleh masyarakat.

Polemik yang terjadi sekarang lebih didasarkan pada argument-argumen politik bukan argument substansial tentang pembangunan gedung. Hal ini terjadi karena dewan sebagai pengambil kebijakan ini tidak dapat membantah dengan data yang relevan dan hanya terkesan mencari-cari alasan demi tercapainya proyek ini. Tentu sangat tidak pas saat mendukung pembangunan pembangunan gedung ini karena alasan ruangan menteri dan direktur kementrian yang lebih besar dari anggota dewan yang sekarang. Apalagi jika alasan bahwa anggota DPD memiliki ruangan yang lebih besar dan mahal. Anggota dewan menjadi hanya terkesan iri, jaga gengsi, dan malas dalam bekerja. Mereka ingin memiliki fasilitas nomor satu tetapi kulitas SDMnya bahkan jauh dari kata baik. Ketua DPR yang diharapkan bisa menjawab semua rasa penasaran masyarakat tentang hal ini malah tak kalah mengecewakannya dengan yang lain. JIka hal ini memang wewenang kesekjenan apa salahnya untuk meminta data tentang pembangunan gedung ini secara merinci dan menyeluruh kepada kesekjenan kemudian merilisnya ke masyarakat. Dengan angka dan pertimbangan yang jelas tentu masyarakat dapat menginterpertasikan sendiri apakah pembangunan gedung menjadi wajar dilakukan. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas tentang pembangunan gedung ini selain menjawab semua pertanyaan miring masyarakat juga akan memperbaiki citra dewan yang sudah sangat buruk. Jika Dewan sebagai lembaga tinggi Negara telah terbukti melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik karena ada akuntabilitas dan transparansi dalam setiap kegiatannya maka hal ini bisa menjadi contoh bagi lembaga Negara lain. Dewan harus mulai memberi contoh terlebih dahulu dalam menjalankan kegiatannya, jika untuk mengawasi diri sendiri saja susah bagaimana bisa Dewan mendapat kepercayaan sebagai lembaga pengawas dan legislasi?

Perbaikan system
Untuk menghindari hal yang sama terulang kembali maka agaknya dewan harus cepat memperbaiki system internal kedewanan. System yang ada dalam internal kedewanan harus berjalan efektif dan efisien sehingga menghindari isu-isu diluar tugas kedewanan seperti sekarang yang menjadi kontra produktif dengan tugas dari dewan sebagai lembaga legislasi. Perbaikan yang harus dilakukan antara lain adalah :

Sistem anggaran
Sistem dan mekanisme anggaran harus mengacu pada prinsip transparansi dan akuntabilitas untuk menghindari adanya korupsi dan penyelewengan dana. Maka dari itu hal ini harus di pisahkan dari wewenang anggota dewan. Kesekjenan dewan yang mengurusi hal ini harus bebas dari kepentingan dari para anggota dewan. Dengan kata lain mereka tidak masuk dalam proses politik dewan tetapi menjadi professional yang memang dipekerjakan untuk mengurusi anggaran kedewanan. Anggota dewan hanya berkonsentrasi dengan tugas kedewanan yaitu legislasi dan pengawasan. Walaupun pada akhirnya akan diawasi oleh dewan tetapi jangan sampai hal ini diawasi secara langsung oleh dewan karena akan berpotensi untuk adanya korupsi dan abuse of power.

Sistem control internal
Hal yang tak kalah pentingnya adalah pengawasan internal untuk para anggota dewan. Sistem ini mencakup control terhadap angota dewan sendiri, staff, tenaga ahli, dan tenaga penunjang lain. Mulai dari absensi hingga remunerasi harus dikendalikan dan diterapkan dengan baik. Anggota dewan tidak boleh seenaknya dalam menjalankan tugas ada SOP dan job desk yang harus ditaati dan juga tentunya sanksi yang tegas. Staff dan tenaga ahli yang digunakan harus mengacu pada prinsip efisiensi dan efektifitas.
Untuk mencapai hal ini maka diperlukan kesekjenan dengan sistem yang baik. Selain independen sekjen juga harus memiliki wewenang yang cukup kuat. Anggota dewan harus dibatasi wewenangnya hanya pada tugas kedewanan seperti legislasi, pengawasan, dan budgeting APBN. Hal-hal diluar itu harus diserahkan wewenangnya kepada lembaga lain. Selain untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang hal ini juga diperlukan untuk menguatkan kelembagaan dari setiap lembaga Negara. Jangan sampai ada lembaga Negara yang menjadi lemah wewenang dan tugasnya karena ada lembaga dewan yang memiliki wewenang sangat besar.

MPR/DPR merupakan lembaga tinggi Negara yang harusnya bisa menjadi kebanggaan dari segenap masyarakat Indonesia karena kepada mereka lah kita mewakilkan kepentingan kita sebagai rakyat. Tetapi menjadi ironi saat para pihak yang seharusnya mewakili dan melindungi kepentingan kita malah sibuk dengan kepentingan mereka sendiri. Dan kemudian semua kembali kepada nurani, norma dan etika, kembali kepada bagaimana bersikap dan menyikapi.

Haris Darmawan
Kepala Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM

Wednesday, April 20, 2011

Dilema Opsi Kebijakan Pemerintah Terhadap BBM

Sejak setahun terakhir harga minyak dunia naik dua kali lipat dari sekitar $60 dollar per barrel menjadi sekitar $111 per barrel pada bulan Maret 2011. Sedangkan harga BBM dalam cenderung negeri tidak berubah sejak Oktober 2005.

Tim pengkaji yang terdiri dari peneliti yang dibentuk oleh pemerintah sudah telah mengajukan tiga opsi terkait dengan kebijkan pemerintah atas BBM.

Opsi yang pertama adalah dengan menaikan harga premium menjadi Rp. 500. Dengan menaikan harga BBM pemerintah bisa menghemat anggaran negara. Namun hal ini dalam jangka pendek akan menyebabkan inflasi termasuk dalam meningkatnya harga komoditi pertanian yang berimbas pada meningkatnya harga pangan. Selain itu kebijakan ini dapat memicu protes dari rakyat sehingga kebijakan cenderung tidak menjadi pilihan utama dikalangan pemerintah.

Opsi kedua adalah perpindahan konsumsi dari premium ke pertamax bagi kendaraan pribadi. Secara rasional orang akan lebih memilih lebih menggunakan premium, mengingat harga pertamax dua kali dari harga premium. Mekanisme dalam kebijakan ini akan sangat sulit karena diperlukan suatu mekanisme atau sistem dalam mendukung kebijakan ini. Selain itu masyarakat belum terbiasa untuk mengkonsumsi pertamax yang tanpa subsidi.

Sedangkan opsi ketiga, adalah melakukan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali. Penjatahan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan umum tapi juga untuk kendaraan bermotor. Arah dari kebijakan lebih mengarah kepada pengefektifan pemberian subsidi bbm. Selama ini subsidi 70% subsidi BBM dinikmati oleh keluarga menengah keatas (40% rumah tangga terkaya), sementara rakyat yang kurang mampu hanya menikmati subsidi secara tidak langsung dengan cara menggunakan transportasi umum. Namun untuk menjalankan kebijakan ini tentunya diperlukan suatu mekanisme dan pembangunan infrastruktur untuk memastikan penjatahan dengan sistem kendali. Selain menambah biaya lagi kebijakan ini harus mempunyai kejelasan dalam menjalankan dan membagi penjatahan.

Ketiga bijakan yang menjadi opsi untuk masalah BBM dalam menjalankannya lebih baik untuk disosialisasikan secara baik terlebih dahulu kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami maksud dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Opsi pertama lebih merupakan yang paling mudah dijalankan dalam jangka pendek dengan merubah harga BBM itu sendiri. Sementara itu untuk opsi kedua dan ketiga lebih mengarah kepada efektifitas penggunaan subsidi BBM. Pada opsi kedua pengefektifan arah subsidi BBM dilakukan dengan cara memindahkan konsumen menengah keatas dari menggunakan premium menjadi pertamax. Pada opsi ketiga dilakukan aturan yang lebih rigid dengan menggunakan sistem kendali agar subsidi yang tersalurkan lebih tepat sasaran. Namun dalam menentukan arahan kebijakan pemerintah seharusnya lebih melihat jangka panjang dan melihat potensi kearfian lokal yang ada. Seperti pengembangan energy alternatif dari sumber daya alam fosil selain minyak atau memanfaatkan energy alternatif dengan memanfaatkan komoditi pertanian yang melimpah di Indonesia. Namun dalam kenyataanya kebijakan seperti ini baru bisa dinikmati dalam waktu jangka panjang.

Pada akhirnya dalam menentukan kebijakannya pemerintah haruslah melibatkan rakyat dan arah kebijakannya pun harus lebih komperhensif. Alokasi subsidi pun harus lebih diefktifkan lagi untuk kesejahteraan rakyat menengah kebawah.

Departemen Polkastrad
BEM FEM IPB