Wednesday, July 27, 2011

Ciptakan Budaya Tandingan: Berantas Korupsi !

Sudah jelas korupsi adalah salah satu penyakit paling parah yang diderita bangsa ini. Global Corruption Report 2009 menuliskan sebuah angka fantastis untuk negeri ini: urutan 126 dari 180 negara dengan no.1 (Denmark) adalah negara yang paling bersih di dunia dan no.180 (Somalia) adalah yang paling korup. Indonesia bahkan sama korupnya dengan negara miskin seperti Eritrea dan Ethiopia. Negeri ini tertinggal jauh dari Singapura (4), Malaysia (47), Thailand (80) dan Srilangka (92).
Secara sederhana, fakta itu dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari, salah satunya di dalam birokrasi Indonesia. Uang sebesar miliyaran harus lenyap begitu saja lantaran “digondol” segelincir orang saja, seperti belum lama ini kasus “Gayus Tambunan” yang berada di Depkeu. Kemudian disusul kasus “Nazaruddin” di dalam APBN Indonesia. Belum lagi dengan praktik-praktik korupsi yang terjadi di birokrat-birokrat setiap daerah. Banyak praktik korupsi yang tanpa kita sadari telah menggerogoti integritas bangsa ini.

Sebuah penyakit harus dilenyapkan demi kesehatan tubuh, bagaimanapun caranya. Akan tetapi, untuk melenyapkan penyakit, harus dilakukan diagnosis dahulu. Oleh karena itu, secara singkat dan sederhana, penulis akan menuliskan sebab terjadinya korupsi.
Pertama, penegakan hukum tidak konsisten, hanya bersifat politis. Kedua, takut dianggap bodoh. Ketiga, langkanya lingkungan anti korupsi, pedoman antikorupsi hanya wacana. Keempat, rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Gaji yang kecil tentu saja membuat penyelenggara negara untuk korupsi. Kelima, kemiskinan dan keserakahan. Karena keadaan tersebut (miskin) seseorang/lembaga terpaksa melakukan korupsi. Keenam, budaya memberi upeti di masyarakat. Tampaknya, budaya ini sudah ada dari zaman feodalisme. Ketujuh, konsekuensi bila ditangkap lebih kecil dibanding keuntungan korupsi. Kedelapan, budaya permisif atau serba membolehkan, menganggap biasa korupsi, tidak peduli keadaan, yang penting tidak terlibat. Kesembilan, gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat ini adalah pendapat Franz Magnis Suseno (seorang tokoh agama). Padahal, jika pendidikan agama tidak hanya di mulut saja, dia dapat memainkan peranan lebih besar dalam penghancuran korupsi.
Kita Dapat Melenyapkan Korupsi: Sebuah Dasar Pemikiran.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam diri bangsa ini. Sesuatu yang sudah menjadi darah daging memang sulit dilenyapkan, tetapi “DAPAT”. Penulis akan mencoba menjabarkan caranya dengan sesederhana mungkin supaya dapat dimengerti. Dalam artikel ini, penulis hanya memfokuskan upaya pemberantasan korupsi dari segi budaya atau “moral”. Kita harus menolak korupsi karena secara moral salah (Klitgaard, 2001) dan memberantasnya dengan cara memberdayakan kembali moral bangsa.

Perlu diketahui kebudayaan terdiri dari 3 bentuk. Pertama, kebudayaan sebagai ide/gagasan. Kedua, kebudayaan sebagai perilaku manusia yang berpola. Dan ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jika korupsi adalah bentuk kebudayaan kedua, yakni “perilaku manusia yang berpola”, maka pantaslah kita bertanya-tanya: Dapatkah kita mengubah “pola” itu? Penulis jawab dengan yakin: “DAPAT!”

Kebudayaan bersifat dinamis dan komunikasi dapat memengaruhi perubahan kebudayaan, baik secara internal maupun eksternal. Kebudayaan baru dapat muncul karena kita belajar. Sedangkan secara teoritis, menurut Koentjaraningrat, proses perubahan kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara mikro dan makro. Dalam ruang lingkup mikro, perubahan kebudayaan terjadi dalam tiga proses, yaitu internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat terjadi secara difusi.

Internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Sederhananya adalah “penanaman nilai”. Jadi, di tahap ini kita harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi sedini mungkin dengan berbagai cara seperti seminar, diskusi, lomba-lomba, dan lain-lain. Kita harus menciptakan suatu keadaan dimana penanaman nilai anti korupsi menjadi sangat kokoh dalam diri seseorang sehingga tak terpengaruh apapun.
Yang kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya untuk belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, kebudayaan berubah karena pengaruh lingkungan. Seperti contoh diri kita sendiri, boleh jadi kita sekarang “gila” online bukan karena kita memang menggunakan media internet untuk bekerja, akan tetapi lebih kepada teman-teman dekat kita banyak yang senang bermain sosial media seperti Facebook. Di sini, ada perubahan budaya kita yang tadinya tidak gemar dunia maya menjadi pecandu sosial media dan itu terjadi karena pengaruh teman-teman (baca: proses sosialisasi).

Tahapan ketiga adalah proses enkulturasi. Enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Setelah proses internalisasi dan sosialisasi yang terus menerus dihidangkan di depan kita, akhirnya, muncul proses yang ketiga, yaitu proses menyesuaikan diri. Kita jadi rajin online, dan kita senang dengan persepsi dari masyarakat bahwa kita adalah anak gaul. Perubahan pola pikir kita (kebudayaan bentuk pertama adalah gagasan/ide) dipengaruhi oleh proses internalisasi dan sosialisasi yang selanjutnya membuat kita melakukan enkulturasi.

Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat dilakukan dengan difusi, yakni penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan ke lingkup kebudayaan yang lain. Ini dapat dilakukan dengan cara damai dan ekstrem. Memberantas korupsi dengan difusi damai seperti “memanfaatkan” kekuasaan untuk membentuk KPK, membuat UU, dan lain-lain. Jadi ada unsur “pemaksaan” yang baik.

Hubungan dengan Upaya Pemberantasan Korupsi
Dengan memahami paradigma bahwa sebuah kebudayaan dapat kita ubah dengan cara internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan cara difusi, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa korupsi dapat dilenyapkan. Yakni dengan memunculkan budaya tandingan korupsi seperti budaya jujur, budaya takut berbuat dosa, dan budaya-budaya “tandingan” lainnya. Namun, muncul satu pertanyaan lagi: langkah konkret apa yang dapat mahasiswa lakukan?

Think Globally, Act Locally
Untuk melenyapkan korupsi, mari kita mulai dari kampus, mari kita mulai dari fakultas masing-masing, mari kita mulai dari jurusan masing-masing dan mari kita mulai dari diri sendiri. Coba berhenti sesaat membicarakan korupsi dalam level “Indonesia” cobalah mulai membicarakan korupsi dalam level “diri sendiri”. Kita harus melakukan proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan difusi di lingkungan kampus.

Bangsa Indonesia adalah bangsa komunal yang butuh contoh dan panutan, karena itu mulai sekarang ciptakanlah lingkungan yang bersih korupsi dan angkatlah pemimpin yang bersih. Maka, pemberantasan korupsi semestinya dimulai dari diri kita. Setelah terlaksana, kita dapat memulai bicara lebih dalam tentang penanggulangan korupsi di sekitar kita. Lalu, meningkat di jurusan kita, di fakultas, kampus dan terakhir adalah di negeri kita yang tercinta; Indonesia.

Anggel D. Satria
Kepala Jaringan dan Lembaga
BEM FE UNS

Sunday, July 17, 2011

Transparansi Keuangan Pendidikan Tinggi Bermasalah

Dibalik euforia penerimaan mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi negeri, ternyata terdapat polemik keuangan pada sejumlah perguruan tinggi negeri yang menimbulkan tanda tanya besar atas akuntabilitas institusi pendidikan tinggi negeri di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat banyak masalah ditemukan dalam hal pengelolaan keuangan perguruan tinggi negeri sepanjang tahun 2010 yang mendorong BPK mengeluarkan disclaimer atau tidak memberikan pendapat atas audit yang dilakukan terhadap perguruan tinggi negeri.
BPK melaporkan bahwa terdapat temuan berupa kas sebesar Rp 763,12 miliar yang antara lain berupa sisa dana bantuan sosial yang tidak tersalurkan sebesar Rp 69,33 miliar yang belum dikembalikan kepada kas negara. Selain itu terdapat pula dana yang merupakan pungutan perguruan tinggi negeri sebesar Rp 25,83 miliar yang tidak dilaporkan ke kas negara dan digunakan langsung tanpa melalui mekanisme APBN seperti yang seharusnya. Terdapat pula dana sebesar Rp 13,4 miliar di dua universitas negeri di daerah Jawa Barat dan Sumatera Barat yang merupakan uang panjar kepada pihak internal dan dana bank yang tidak dilapor. Padahal menurut BPK, tidaklah dikenal sistem dana panjar oleh pihak mereka dan pengelolaan dana tersebut pun tidak jelas.
Kemudian, menurut Rizal Djalil, anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang menangani masalah pendidikan, dari nilai keseluruhan biaya pungutan pendidikan dari masyarakat sebesar Rp 7,9 triliun terdapat sampel kasus yang menunjukan dana tidak dikelola dengan baik. Terdapat pula sejumlah rekening liar di Kementrian Pendidikan Nasional dengan saldo dana tersisa sebesar RP 26,44 miliar yang keberadaannya tidak dilaporkan kepada Kementrian Keuangan sehingga penggunaan dananya tidak diketahui dengan jelas. Bahkan menurut Indonesia Corruption Watch, dari 6 perguruan tinggi yang mereka pinta laporan keuangannya hanya satu universitas negeri yang merespon dengan memberikan laporan keuangan yang cukup detil, sisanya ada yang melaporkan dengan tidak transparan maupun menolak permohonan ICW tersebut.
Sungguh sebuah ironi apabila kita membandingkan jumlah dan deskripsi dana bermasalah tersebut dengan realita biaya pendidikan tinggi yang semakin sulit dijangkau kalangan masyarakat dengan kondisi finansial yang pas-pasan. Dikemukakan oleh BPK bahwa terdapat dana bantuan sosial yang tidak digunakan sebesar Rp 69,33 miliar, sedangkan disisi lain biaya masuk perguruan tinggi dari tahun ke tahun kian meningkat. Dapatkah kita mempertanyakan, apa maksud dari biaya masuk yang tinggi tersebut jika masih tersisa dana bantuan yang lebih itu? Mengapa pihak perguruan tinggi negeri harus bersusah payah untuk membuka jalur ujian mandiri dengan tarif nyeleneh yang memusingkan calon mahasiswa dan membebankan orangtua dengan alasan tidak cukupnya dana pendidikan yang diberikan pemerintah ketika kenyataannya justru terdapat dana bantuan sosial yang bisa dimanfaatkan namun tidak tersalurkan dengan optimal?
Sejumlah perguruan tinggi negeri yang membuka jalur ujian mandiri dengan tarif yang lebih mahal daripada jalur SNMPTN berdalih bahwa dengan demikian maka akan tercapai keadilan dalam pembebanan biaya masuk universitas. Mereka yang kemampuan finansialnya lebih akan dibebankan biaya masuk yang lebih tinggi, sementara mereka yang kemampuan finansialnya biasa-biasa saja akan dibebankan biaya masuk yang sewajarnya. Nyatanya saat ini biaya masuk jalur reguler atau SNMPTN pada sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka pun telah berkisar diatas 50 jutaan.
Hal ini mengindikasikan perguruan tinggi negeri telah bertransformasi dari sebuah institusi formal yang menempa manusia-manusia muda Indonesia untuk mencapai tingkatan intelektual yang lebih tinggi menjadi sebuah ajang komersialisasi sains yang hanya menerima mereka yang berduit dan memarjinalkan mereka dari golongan menengah kebawah, selain bahwa akuntabilitas perguruan tinggi negeri di Indonesia kian diragukan. Tidaklah heran jika ternyata sebuah institut negeri terkemuka mengganti kata sambutan bagi mahasiswa barunya menjadi “Selamat Datang Putra-Putri Terkaya Bangsa” walaupun melalu sebuah insiden yang tidak terencana. Karena memang itulah potret pendidikan yang kini disuguhkan. Pendidikan kini telah menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan dan di dalamnya telah berlaku mekanisme pasar. Mereka yang bersedia membayar lebih, merekalah yang mendapatkannya.


Kajian Ekonomi
BEM KEMA FE Unpad

Sunday, July 3, 2011

ASEAN INTEGRATION AND OPPRTUNITY FOR INDONESIA

Economic Integration among ASEAN countries is necessary to facing global competition. Develop ASEAN as a fully integrated and highly competitive region must envolving all element of ASEAN. It cannot be done by one country. We must realized about the importance of Integration in South East Asia and what its necessary to do to be fully integrated region. Integration with no zero sum game, integration to make a win-win sollution for the member countries.

The global economic crisis that began in the United States and then spread to Europe and some Asian countries makes the world again turned its attention to countries emerging asia. At the moment the United States who suffered the twin deficits (balance of trade deficit and budget) and some countries in Europe which should be in the bail out because the budget deficit, not a few countries of Asia who actually enjoys a good surplus in trade balance and balance the budget. China for example is still posted the largest reserves in the world with 2.5 trillion U.S. dollars while its economic growth had faltered down to single digit , China remains a world economic giant today. Indonesia itself as part of ASEAN also continued to maintain foreign reserves at the level approximately of 115 billion U.S. dollars. Singapore which had recorded minus growth also began to recover and record positive growth. At the moment there is no sign of recovery towards the U.S. and European economies, as well as the threat of impending double dip recession because the balance a huge budget deficit, asia to be excellent for the entry of new investments.

When capital flows comes to Asia as well as to countries in Southeast Asia are still many problems that become obstacles in the absorption of incoming investment. Capital flows that have not yet all can be absorbed into the real sector. This is not out of lack of integration among countries in East Asia including Southeast Asia. AEC (ASEAN Economic Community) that was launched in 2015 indicates that the awareness of stakeholders on the importance of an ASEAN economic integration. Economic integration becomes an absolute necessity for a state because in the middle of limited ability, the State should be able to compete in world economic competition and still get gains from international trade.

Flying geese
Akamatsu (1930) suggests that as time advances developed countries will shift production to developing countries. To produce an item is no longer necessary to do so in a country. But it can harness the advantages of the other countries. This concept was then called with flying geese whereby developed countries would be a leader in the economy followed by developing countries that are behind it to support the production process. For example the time you buy a macbook then you will no longer get it from U.S. products. Macbook designed in the U.S. and then the software installation will be done in India, and ansembled in china. The chip used is produced in Japan or Korea as well as with its LCD screen, will you get it from japan. The phenomena there are no products that are produced by one country show that every state can get added value from their participation in producing a consumption product.

Infrastructure Integration
Economic integration is not only focusing on corporate and governmental policies or tariffs but also paying attention to the connectedness between countries are integrated. This proved important and can contribute to spur economic growth in particular and the integration of the region in general. Bhattacharyay (2010) put forward on infrastructure connectivity among ASEAN countries to support the integration process in ASEAN. Infrastructure plays a very important role for the process of integration and connectivity among ASEAN countries. With the infrastructure of each country can be connected to each other. Infrastructure can also support the economic process because the flow of goods and factors of production will become more fluent when infrastructure.

Monetary integration
Another things that discussed many circles is about the integration of monetary or in other, more popular form of currency unification. Talking about a currency union is not new. Many economists who argue that currency union becomes absolutely necessary when a region wants built. This is based on the number of conveniences that occur in today's society can be unified currency. After seeing the success of the Euro in European economists began to speculate about the occurrence of the same thing in Asia.

ASEAN countries which are developing countries still face some problems which can hamper economic integration such as poverty, corruption, and political uncertainty. This must be addressed by each country. Welfare of the people do not get overlooked simply because of political selfishness. Each stakeholder should be aware of the importance of unity among ASEAN countries. That unity is happening would be good for people's welfare. Because if integration is only driven by a single country then this may lead to neo-colonialism in which a state will control the other countries. A strong economic foundation in each country must be achieved. The provision of public goods like education, health, and infrastructure must have been completed in each ASEAN member country before embarking on the process of further integration. Integration must be driven by economic not by the political decision. Unify inequality will only lead to conflict and chaos. The purpose of the AEC 2015 to realize the ASEAN region to become an integrated and competitive will not be reached without the participation of all stakeholders, both public and private.

Haris Darmawan
Chief of Strategic Research Department
BEMFEBUGM

References
Quarterly Report of Indonesian Economy The World Bank. Desember 2010
Bhattacharyay,Biswa Nath. Infrastructure for ASEAN Connectivity and Integration. ASEAN Economic Bulletin, Vol 27 pp 200-220. 2010
Eichengreen, Barry. The Parallel-Currency Approach to Asian Monetary Integration. The American Economics Review. 2006

Prasetiantono, A.Toni. Perang Kurs dan Prospek Rupiah. Kompas 22 November 2010

Prasetiantono, A. Toni. Hot Money dan Infrastruktur. Media Indonesia 18 Oktober 2010

Schwab, Klaus. Global Competitiveness Report. World Economic Forum. 2010