Thursday, March 3, 2011

KENAIKAN BI RATE : ANALISA SEDERHANA

Setelah kurang lebih 18 bulan pada level 6.5 %, Jum’at 4 Februari 2011 akhirnya Bank Indonesia memutuskan untuk menaikan BI rate 25 basis poin menjadi 6.75 %. Kebijakan ini diambil sebagai langkah antisipatif terhadap ekpektasi inflasi yang meningkat. Ekspektasi inflasi yang naik di dorong oleh volatilitas komoditas pangan membuat BI sebagai otoritas kebijakan moneter melakukan tindakan antisipati dengan menaikkan suku bunga acuan.

Tekanan terhadap nilai tukar karena derasnya arus modal keluar juga menjadi pertimbangan dari Bank Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan suku bunga acuan. Seperti kita tahu kebijakan Quantitative Easing yang dikeluarkan oleh The Fed dengan mengucurkan USD 600 M ke pasar terbukti dapat membuat keadaan ekonomi membaik. Tercatat pertumbuhan ekonomi Amerika pada 2010 berada di level sekitar 3%. Negara-negara zona eropa juga mulai menunjukkan proses recovery. Selain itu arus modal keluar juga terjadi karena tekanan inflasi yang tinggi. Di 2010 inflasi tercatat meleset dari ekspektasi karena tekanan dari harga komoditas.

Namun kebijakan ini bukan tanpa masalah. Kebijakan ini berpotensi untuk meningkatkan biaya modal. Jika menilik semakin tingginya biaya yang harus ditanggung para pengusaha karena cuaca buruk dan kondisi infrastruktur maka kenaikan suku bunga acuan yang nanti akan menaikan suku bunga pinjaman berpotensi menaikkan biaya modal yang harus di tanggung oleh pengusaha. Meskipun beberapa bank besar sudah mengkonfirmasi bahwa tidak akan menaikkan suku bunga pinjaman tetapi pengusaha tetap tidak bisa lepas dari biaya-biaya yang mulai tinggi. Penyebab utama kenaikan biaya ini adalah buruknya infrastruktur sehingga menghambat proses distribusi. Tekanan terhadap produk impor juga disinyalir akan semakin menyulitkan pengusaha karena produk impor tidak menemui banyak hambatan dalam biaya.

Undisbursed loan tahun 2010 yang mencapai IDR 554,7 trilyun, jumlah ini meningkat sebesar IDR 230.9 trilyun dari tahun sebelumnya. Melihat jumlahnya yang begitu besar tentu menjadi pertanyaan apa kendala yang dihadapi pengusaha sehingga jumlah kredit yang tidak di cairkan sampai begitu besar. Dalam sebuah acara di sebuah televisi swasta Sofyan Wanandi sebagai ketua APPINDO berpendapat tingginya undisbursed loan disebabkan oleh buruknya infrastruktur serta hambatan-hambatan birokrasi yang dihadapi oleh pengusaha. Transparansi terhadap spread yang dinikmati juga mulai menjadi wacana ditengah tingginya biaya modal. Hal ini bisa membuat pengusaha memilih secara lebih jeli kepada bank mana mereka akan mengajukan kredit.

Kebijakan kenaikan suku bunga tentu tidak selamanya efektif. Kebijakan suku bunga sebagai kebijakan tunggal yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk mencapai ekspektasi inflasi bisa saja meleset seperti tahun lalu. Hal ini terjadi karena banyaknya variabel di luar kekuasaan BI yang berpengaruh besar terhadap inflasi. Karena itu koordinasi antar lembaga yang berwenang menjadi kunci dari tercapainya target inflasi. Setiap lembaga dengan tugas dan wewenangnya sendiri harus bisa mengambil perannya masing-masing dalam mengendalikan inflasi. Porsi yang diambil BI dengan menaikkan suku bunga acuan merupakan langkah antisipatif yang cukup tepat tetapi perlu menjadi catatan pengendalian suku bunga kredit dan perbankan juga harus diperketat agar tidak ada distorsi biaya modal.

Departemen Kajian Strategis

Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Gadjah Mada

Wednesday, March 2, 2011

Kecanggihan BI Rate Menggoreng Inflasi

BI Rate, hewan langka jenis apakah itu?

Mari kita bahas lebih lanjut mengenai si kebijakan ajaib dari Bank Indonesia ini!

BI rate atau suku bunga Bank Indonesia, merupakan tingkat suku bunga untuk satu tahun yang ditetapkan oleh BI sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan di seluruh Indonesia. Penetapan respons (stance) kebijakan moneter dilakukan setiap bulan melalui mekanisme RDG (Rapat Dewan Gubernur) bulanan dengan cakupan materi bulanan. Respon kebijakan moneter (BI Rate) ditetapkan berlaku sampai dengan RDG berikutnya.

Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.

BI Rate pada 4 Feb 2011 sebesar 6.75% dan pada 5 Jan 2011 sebesar 6.50% berdasarkan data dari website resmi Bank Indonesia, artinya jika BI rate naik dari 6.50% menjadi 6.75% maka bunga pinjaman ataupun simpanan di bank dan lembaga keuangan yang lain pun bisa juga ikut naik. Rate yang dikeluarkan oleh BI bukan merupakan peraturan melainkan hanya sebuah rujukan sehingga tidak mengikat maupun memaksa.

Sementara bagi BI sendiri, BI rate adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang disalurkan ke bank-bank. Ketika BI rate naik ke 6.75%, maka para bank bisa menaruh dana mereka di BI dalam bentuk SBI, dan akan menerima bunga 6.75% per tahun. Misalnya, jika Bank Mandiri menaruh uang tabungan nasabahnya sebesar 10 trilyun di BI, maka mereka akan menerima 675 milyar dalam setahun, tanpa perlu ‘berkeringat’ sama sekali.

Analisis sederhananya adalah seperti ini, jika BI Rate dinaikkan, Bank akan cenderung lebih memilih menyimpan dana tabungan nasabahnya di BI daripada disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit karena meskipun tingkat suku bunga BI lebih rendah dari suku bunga kredit, tetapi penjamin dana adalah pemerintah sehingga resiko kredit macet sangat kecil dan bahkan mendekati nol.

Jika dana milik masyarakat yang dipegang para bank ‘diendapkan’ di BI, maka jumlah uang cash yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan pada akhirnya menurunkan tingkat inflasi. Itulah sebabnya BI rate merupakan instrumen yang dianggap cukup ampuh untuk menurunkan tingkat inflasi. Jadi merupakan hal yang tepat ketika tingkat inflasi ternyata melebihi ekspektasi, BI menaikkan suku bunga acuannya disertai alasan strategis untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar di masyarakat agar tingkat inflasi tidak kian merajalela.

Kementerian Jaringan Lembaga

BEM Kema FE Unpad

Cabai, Primadona Inflasi di Penghujung 2010

Harga komoditi cabai belakangan ini sangat tinggi dan semakin menggila, sampai-sampai harga per kilogram cabai lebih mahal dari harga per kilogram daging sapi. Cabai keriting yang biasanya hanya di kisaran Rp 18.000-Rp 20.000, kini dijual dengan harga Rp 35.000-Rp 40.000. Apa penyebabnya?

Kenaikan harga cabai di penghujung akhir tahun 2010 yang lalu kemungkinan hanya disebabkan oleh satu hal, yakni pergesaran titik keseimbangan harga yang diakibatkan oleh pergeseran supply dan demand cabai di pasar yang lebih cenderung diakibatkan berkurangnya pasokan (supply) cabai ke pasar sehingga mendorong kenaikan harga cabai di pasar. Pergeseran pasokan cabai (berkurangnya dan cenderung langka) di pasar salah satunya diakibatkan oleh terganggunya produksi yang dialami oleh para petani yang diakibatkan oleh bergesernya perubahan cuaca yang mengganggu pola dan kuantitas produksi cabai.

Karakteristik tanaman cabe yang bergantung kepada kelembaban udara dan kuantitas kandungan air dalam tanah serta perubahan iklim atau cuaca tahun belakangan ini, sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan prediksi bahwa kondisi ini akan menganggu produksi tanaman cabe. Prediksi dini inilah yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintah melalui instansi yang terkait (Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan). Kelemahan prediksi ini berujung kepada ketidaksiapaan pemerintah menghadapi kondisi saat ini sehingga berujung kepada kenaikan harga komoditas cabe yang mencapai lebih dari 127 persen. Ketidaksiapan pemerintah ini merupakan wujud ketidakmampuan pemerintah menjalankan fungsi dan kewajibannya, padahal jika pemerintah mampu memprediksi dan mendesign tindakan antisipatif (merujuk kepada perubahan iklim) seharusnya masyarakat tidak perlu merasakan begitu “pedasnya” komoditas cabe.

Selain faktor produksi, pergeseran supply juga dikarenakan oleh distribusi yang terganggu dan ketidaksiapaan pemerintah melakukan antisipasi. Gangguan distribusi ini lebih cenderung diakibatkan oleh ulah tengkulak yang sengaja mengambil kesempatan atau untung ditengah kenaikan komoditas cabai. Akan tetapi faktor ini tidak terlalu signifikan memengaruhi kenaikan harga cabai dibandingkan dengan produksi yang terganggu, ini dikarenakan cabai bukanlah komoditas yang sifatnya tahan lama sehingga para tengkulak (spekulan) tidak akan berani menahan pasokan cabai dalam kuantitas banyak dan waktu yang lama. Selain itu menjelang Idul Adha dan Idul Fitri tingkat demand masyarakat cenderung naik, masyarakat mengkonsunsi cabai dalam jumlah yang jauh lebih banyak sekitar 20-30% , sementara produsen tidak dapat meningkatkan produksi sebanyak jumlah demand masyarakat.


Badan Pusat Statistik (BPS) mempunyai risalah ilmiah tersendiri soal kenaikan harga cabai ini, yang mencatat kenaikan harga cabai dan beras selama Juni 2010 telah mendorong kenaikan inflasi bulan itu hingga mendekati satu persen. Harga cabai merah naik 45,7% selama Juni 2010 dibandingkan Mei 2010 dengan bobot 0,69% dalam inflasi total, jadi menyumbang 0,26% atau tertinggi sumbangannya dalam inflasi Juni 2010 yang 0,97%.

Sinergisitas antara berbagai stakeholder harus lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi. Sistem kluster yang telah dilaksanakan di Tegal, dimana didalamnya terdapat pengusaha, pemerintah, institusi, dan petani, dapat menjadi contoh yang bagus. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan bargaining position petani, agar tidak selalu menjadi pihak yang menikmati keuntungan paling kecil, jika tidak boleh dikatakan bahwa mereka sebenarnya dirugikan. Salah satu peserta kajian mengungkapkan bahwa untuk komoditas pertanian seperti cabai, yang merupakan bahan baku yang dapat diolah menjadi produk jadi lainnya, memiliki present value dan future value yang berbeda. Jika harga cabai segar sifatnya fluktuatif, dan saat ini sedang mengalami kenaikan, tidak begitu halnya dengan harga sambal kemasan yang notabene berbahan dasar cabai, harganya cenderung tidak mengalami perubahan.

Diharapkan Andil Pemerintah

Melihat fenomena ini, pemerintah sebaiknya perlu membuat kebijakan terkait harga maksimum cabai di pasaran. Pemerintah seharusnya membuat intervention boundary, dimana jika harga telah melewati batas-batas tertentu maka sudah selayaknya pemerintah untuk turun tangan. Karena jika tidak dilakukan, para spekulan dapat dengan leluasa memainkan harga tersebut, dan tentunya akan sangat merugikan konsumen. Sistem informasi harga cabai, juga diperlukan agar tidak terjadi pembohongan publik. Selain itu, semua komoditas sebaiknya mendapatkan pengawasan dari pemerintah, bukan hanya komoditas tertentu saja, karena sulit menjamin kestabilan harga maupun produktivitas dari suatu komoditas.


Kementerian Jaringan Lembaga

BEM Kema FE Unpad