AS adalah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang kontribusi GDP-nya 27,5% dari GDP dunia. Bandingkan dengan negara-negara Asia yang hanya menyumbang GDP 38,6% dan Uni Eropa 24,6% (blomberg,2005). AS juga merupakan sebuah perekonomian yang ‘disebut-sebut’ sebagai kiblat perekonomian dunia. Sebuah perekonomian yang juga menjadi simbol Neoliberalisme-Kapitalisme dunia. Kenapa mesti harus jatuh lagi dan mengalami economic disaster semacam ini?
“Sebodoh-bodohnya keledai, ia tak akan pernah jatuh kelubang yang sama untuk yang kedua kalinya” Mungkin ini peribahasa yang tepat untuk melukiskan apa yang terjadi dalam perekonomian AS akhir-akhir ini. Tahun 1995-2000 AS pernah mengalami booming ekonomi. Teknologi dan perusahaan dotcom mengalami gelembung kesuksesan yang luar biasa. Setiap tahunnya puluhan ribu perusahaan dotcom baru lahir dan banyak mendulang kesuksesan. Tapi gelembung perekonomian ini terjadi hanya dipasar finansial saja. Uang dan modal bertumbuh jauh lebih cepat dari produksi barang dan jasa yang diciptakannya. Sektor finansial bergerak dengan pertumbuhan yang luar biasa namun sekaligus meninggalkan jauh pertumbuhan sektor riil. Pada akhirnya pasar akan dengan sendirinya terkoreksi (self-regulating) demikian kata pengusung paham Neoliberal.Dan memang benar, pasar mengalami koreksi, dan koreksi itu adalah koreksi yang menyakitkan dengan hancurnya pasar finansial AS karena ratusan ribu perusahaan dotcom bangkrut dan sebagai akibatnya perekonomian AS menggalami resesi hebat tahun 2001(Stiglitz,2004)
Dari resesi inilah krisis keuangan global sekarang ini dimulai. Melihat banyaknya perusahaan dotcom yang tak mampu membayar pinjaman ke bank, The Fed mengambil inisiatif untuk menurunkan suku bunga. Ide penurunan suku bunga ini sebagai stimulus industri bisa bangkit lagi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh developer dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk pembangunan perumahan yang dijual dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat yang sebenarnya belum layak memilikinya. Skema pembiayaan ini dikenal dengan sebutan subprime mortgage ( KPR murah). Industri properti dengan program subprime mortgage menjadi tempat investasi favorite para investor. Terlebih lembaga-lembaga rating investasi seperti Moody’s dan Standards & Poors memeberi nilai ‘A’ untuk nilai investasinya. Dengan kondisi yang seperti ini, institusi-institusi keuangan raksasa AS seperti Lehman Brothers, Merill Lynch, Citi Group dan Morgan Stanley turut serta berinvestasi di kredit Subprime mortgage ini. Krisis ini bermula ketika trend harga minyak semakin tinggin sebagai akibat dari permainan investor serta spekulan di pasar komoditas.Tren kenaikan harga minyak ini mengakibatkan inflasi AS semakin tinggi. Kenaikan inflasi ini mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunganya secara bertahap dan mencapai puncaknya pada angka 5,25% dibulan Juni 2006. Kenaikan suku bunga secara langsung juga menaikkan suku bunga kredit pinjaman subprime mortgage. Kenaikan suku bunga kredit pinjaman itulah yang menyebabkan gagalnya pembayaran dan akhirnya terjadi kredit macet. Yang jadi masalah adalah kredit macet ini melibatkan 2,2 juta warga AS dengan total nilai sebesar US$ 950 miliar dan menyeret institusi-institusi keuangan raksasa AS yang juga memiliki modal sangat besar di Eropa dan juga Asia (NK APBN-P 2008).
Krisis yang diakibatkan oleh krisis subprime mortgage ini menjadi krisis keuangan terbesar sepanjang sejarah setelah krisis Asia 97/98. Sulit dibayangkan ketika institusi-institusi keuangan raksasa seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, ketika dulu masih bisa selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan teroris tahun 2001. Mereka masih bisa selamat manghadapi resesi ekonomi dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia. Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang sering disebut 'the great depression", akibat krisis keuangan AS pada 1929. Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan sebelumnya! Krisis sekarang ini akan jauh lebih luas pengaruhnya di dunia karena pusat krisis ini adalah negara dengan penguasaan GDP lebih dari seperempat GDP dunia dan merupakan negara yang menguasai kapitalisasi market lebih dari 50% dunia.Selain itu krisis ini juga tidak memberikan tempat investasi yang aman bagi para investor. Semua bank dan investment banking saling tidak percaya. Jika saat krisis Asia para investor bisa memindahkan modalnya ke tempat-tempat yang aman untuk investasi seperti di AS, Eropa dan Jepang. Sekarang tidak ada. Semua orang panik! Dan yang terpikirkan hanyalah menyelamatkan uang dan modal mereka dari kehancuran pasar. Tidak berlebihan jika kemudian akhirnya AS mengesahkan UU Bailout Plan sebesar 700 miliar dollar AS, membeli surat berharga 900 miliar dollar AS untuk menyelamatkan perusahaan perusahaan yang akan bangkrut.Inggris juga melakukan hal yang sama. Pemrintahannya memberikan pinjaman dan suntikan dana ke pasar sebesar 500 miliar poundsterling dan menjamin semua utang di bank.(Bisnis Indonesia,9/10/08)
Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia.
Bagaimanakah krisis global ini berpengaruh kepada perekonomian Indonesia? Akankah krisis ekonomi 1998 akan terulang kembali? Apakah justru pengaruh ini akan lebih serius dan dalam jika dibandingkan dengan krisis sepuluh tahun silam?
Mari kita coba lagi flashback sebentar dengan krisis ekonomi 98. Ada dua pendapat besar yang menjelaskan kenapa krisis itu terjadi. Pertama, Paul Krugman. Pakar ekonomi Internasional Princeton University dan peraih nobelekonomi 2008 ini mengatakan bahwa krisis tersebut dimulai dari krisis nilai tukar Bath Thailand yang kemudian menyebar secara sistemik spekulatif dan ‘menghancurkan’ nilai tukar rupiah (contagion effect).Krisis nilai tukar rupiah ini yang kemudian menjadikan baik pemerintah maupun swasta mengalami gagal bayar utang pinjaman dan menyebabkan kepanikan pasar finasial yang kemudian diikuti bank rush besar-besaran dan merontokkan perbankan-perbankan kita yang sebenarnya memang sudah rapuh. Kedua, Jefrey D Sachs dan IMF. Mereka mengatakan, penyebab utama krisis ekonomi 98 adalah rapuhnya sistem perbankan kita sebagai institusi keuangan yang menjadi intermediary utama dengan sektor riil. Sebenarnya krisis nilai tukar rupiah tidak akan menjadi krisis ekonomi jika fundamental perbankan dan institusi keuangan kita baik, bersih dan perform. Tapi nyatanya tidak. Institusi keuangannya rapuh, resiko tinggi karena ikut bermain dengan pasar spekulative, dan melakukan peminjaman dalam mata uang asing di luar batas kemampuan. Pertanyaannya adalah bagaimanakah dengan kondisi perekonomian kita sekarang? Apakah sama atau beda dengan 98? Apakah fundamental makro ekonomi kita lebih kuat atau justru lebih lemah dibanding krisis 98?Dan apa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi? Secara umum ada dua kemungkinan yang akan terjadi dengan perekonomian indonesia terkait dengan krisis global ini.
Pertama, krisis global ini hanyalah krisis biasa dan sementara. Ini adalah kemungkinan yang diyakini oleh pemerintah dan ekonom-ekonom neoliberal-UI.Orang-orang yang berdiri di belakang argumen ini adalah Sri Mulyani, Miranda Goeltom, Chatib Basri dll. Menurut mereka ini hanya krisis finansial saja dan tidak akan menjadi krisis ekonomi. Apa yang terjadi sekarang ini hanyalah kepanikan para investor dan trader di bursa. Kalau pun berpengaruh, itu hanya di pasar finansial saja. Fundamental ekonomi kita bagus. NPL hanya 1,42%. LDR masih dibawah 80%. CAR sampai Agustus 2008 16%. PDB masih 6%. Nilai tukar rupiah hanya terdepresiasi 5 % terhadap dollar AS. Inflasi y-o-y hanya naik dua kali lipat, lebih rendah dibanding negara lain yang mencapai 3-4 kali lipat.Dan cadangan devisa kita cukup banyak sebesar US $ 57 miliar (Trust, 13-19/10/08).
Kedua, krisis ini akan lebih parah dari 98 (jika salah dalam penangan dan pengambilan kebijakan). Ini adalah kemungkinan yang diyakini dari pihak-pihak oposisi pemerintah dan ekonom-ekonom oposan. Mereka yang dibelakang argumen ini ada Rizal Ramli, Hendri Saparini, Aviliani dll. Mereka mengatakan jika dikatakan fundamental ekonomi kuat salah besar. Justru fundamental kita sangat tidak meyakinkan. Fundamental makro baru dikatakan kuat jika PDB kita 3 kali lipat dibandingkan pertumbuhan penduduk (Padahal pertumbuhan penduduk kita 2,6% per tahun dan PDB hanya 6%). Benarkah cadangan devisa US $ 57 miliar kita cukup banyak? Jika dibandingkan dengan Cina dan India ya tidak seberapa. Cina memiliki cadangan devisa US $ 1,8 triliun dan India US$ 400miliar dollar. Dengan devisa yang jauh lebih besar tersebut, kedua negara ini masih sangat cemas dengan pergolakan krisis finasial global saat ini. Lihat saja, bagaimana dalam satu bulan terkahir saja BI harus kehilangan US $ 2 miliar untuk mengintervensi rupiah. Dan entah mengapa tiba-tiba BI tidak lagi mau menginformasikan berapa cadangan devisa terakhir? Kenapa? Apakah takut untuk di’habisi’ dengan para spekulator? Belum lagi neraca perdagangan kita yang sudah deficit. Bulan Juli deficit kita sudah mencapai angka US$ 270 juta. Padahal negara-negara tujuan ekspor utama kita seperti AS, Uni Eropa dan Singapura jelas-jelas terbelit dengan krisis global sekarang ini. Ini pasti akan berdampak besar terhadap ekspor kita. Disaat bersamaan kita juga mngalami defisit perdagangan dengan negara-negara Asia. Defisit dengan Singapura US$ 612 juta, Thailand US$ 369 juta dan dengan Cina US $ 2,7 miliar (Trust, 13-19/10/08). Disamping itu Cina pasti akan memindahkan tujuan utama ekspornya dari AS dan Uni Eropa ke Asia. Dan para pengamat melihat bahwa Indonesia akan menjadi sasaran utama produk-produk Cina tersebut. Apalagi pemerintah Indonesia sekarang lagi ‘suka-suka’nya melakukan liberalisasi perdagangan dan memangkas tarif bea masuk impor, jika demikian halnya, praktis kita akan kebanjiran produk-produk Cina dan produk-produk domestik kita akan tergusur dengan sendirinya (AS saja menyerah dengan serangan produk-produk Cina, apalagi Indonesia?).
Menguji Kebijakan
Kebijakan BI menaikkan BI rate sebesar 0,25% menjadi 9,5% menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Kenapa BI rate dinaikkan padahal di negara-negara lain suku bunga diturunkan? BI berargumen bahwa ini dilakukan untuk meredam inflasi yang semakin tinggi dan mencegah capital outfolw. Tapi apakah ini sudah berjalan efektif? Ternyata tidak. Kenaikan BI rate tidak membuat investor tetap memarkir uangnya di BEI dan SBI. September kemarin, capital outflow dari BEI mencapai angka Rp.22 triliun rupiah sehingga IHSG turun 10% dan perdagangan di bursa dihentikan selama dua hari. Tidak hanya itu, modal asing yang diinvestasikan di SBI berkurang lebih dari Rp.30 triliun. Ini belum uang dan modal yang keluar dari dunia perbankan dan instrumen investasi lainnya. Pasti lebih besar lagi karena tingkat resikonya lebih tinggi. Jika kenaikan ini tidak bisa mengerem pelarian modal, kenapa harus diteruskan? Bukannya justru dengan kenaikan ini menyebabkan aliran modal ke sektor riil semakin tersendat dan para pelaku usaha akan semakin berat melakukan pembayaran bunga dan pendanaannya? Bisa dibayangkan, jika pasar saham kita anjlok, kurs rupiah terus melemah, ekspor kita menurun secara drastis dan fundamental makro kita tidak sebagus yang kita saksikan, pelarian modal yang tak kunjung hentinya serta berkurangnya devisa kita akibat intervensi di pasar valas ditambah lagi tersendatnya sektor riil akibat BI rate dinaikkan, bukankah ini semua tidak menutup kemungkinan mengubah krisis finasial yang sekarang terjadi menjadi krisis ekonomi yang lebih parah lagi. Dan kemungkinan terjadi krisis seperti 98 itu bukan suatu yang mustahil. Apalagi sumber krisis sekarang adalah AS bukan Thailand.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia