Pengaruh perubahan iklim serta cuaca ekstrim yang terjadi akhir-akhir ini telah mengancam ketersediaan pangan dunia, termasuk di Indonesia. Badan Internasional bidang pangan dan pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) dalam setiap konferensinya telah mengingatkan negara-negara dunia akan ancaman kelangkaan pangan tersebut. La Nina, siklus cuaca basah ekstrim diwilayah asia dan pasifik disebut sebagai penyebab kacaunya cuaca saat ini, selain karena dampak dari perubahan iklim global yang semakin nyata . Namun, setelah lewat dari siklus cuaca ekstrim si “anak gadis” tersebut, akankah ancaman krisis pangan dunia, khususnya di Indonesia telah selesai? Dan apakah penyebab masalah krisis pangan hanya dipicu oleh pengaruh perubahan iklim dan kondisi cuaca yang ekstrim?
Ketersediaan dan Ketahanan pangan, Sesuatu Yang Terlewatkan
Ketersediaan pangan bagi kelangsungan hidup manusia adalah suatu hal yang fundamental. Ditengah perkembangan berbagai aspek peradaban manusia, seolah terlewatkan bahwa hal asasi dalam kehidupan ini telah jauh tertinggal dan kurang mendapat perhatian. Ancaman terjadinya krisis pangan, sebagai konsekuensinya sudah semakin nyata.Konflik yang melanda beberapa Negara diwiliyah Afrika misalnya, baik itu penyebab maupun akibatnya telah berdampak langsung terhadap ketersediaan pangan bagi penduduk setempat. Kelaparan yang terus mendera sebagian wilayah benua hitam tersebut telah memicu kematian ribuan jiwa setiap tahunnya. Kelangkaan pangan dunia juga berdampak pada meningkatnya inflasi pada Negara China, Vietnam, dan beberapa Negara Eropa. secara rill, kelangkaan komoditi pangan dunia mencapai 75 persen sejak tahun 20051.
Di Indonesia, indikator kelangkaan pangan kita dapat dilihat dari meningkatnya nilai impor bahan makanan kebutuhan pokok, bahkan hingga mencapai 60% dari konsumsi pangan kita2. Bahan Pangan seperti kedelai, daging, dan susu masih terus mengandalkan stok impor bagi pasar domestik. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi dan tak terjangkau oleh masyarakat kalangan bawah.
Lebih penting dari sekedar angka-angka impor diatas, setiap hari kita bisa melihat fakta kasus busung lapar dan kekurangan gizi anak-anak generasi penerus negeri, yang juga mencerminkan kelangkaan pangan di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dalam berita di media cetak dan televisi, atau fenomena yang paling dekat, kondisi para anak peminta-minta di simpang jalan. Dengan rambut tipis dan lusuh serta kulit yang kusam, bukan hanya karena sengatan perih matahari atau sudah tak mandi berhari-hari, namun juga karena kekurangan gizi dan zat-zat pertumbuhan lainnya. Dalam keseharian, sebagai mahasiswa, kita pun ikut merasakan harga-harga makanan di kantin fakultas maupun di warteg yang juga naik.
Lebih Mengancam dari Cuaca Ekstrim
Perkembangan teknologi yang telah banyak menghasilkan kemajuan pada bidang komunikasi dan informasi, industri transportasi, serta bidang pertahanan keamanan seolah luput menyentuh lebih dalam pada sektor pangan. Terbukti, kemajuan dan perkembangan pangan dunia dari sisi industri masih belum maksimal. Tak dapat dipungkiri bahwa teknologi sudah dikembangkan dan diaplikasikan dalam sektor pertanian dan perkebunan dengan menghasilkan tanaman bibit unggul, teknik pertanian baru, dan alat-alat pertanian canggih. Industri hasil pangan juga ditunjang dengan hadirnya pabrik-pabrik pengolahan modern. Namun, perkembangannya masih dibawah ketiga sektor diatas.
Sumber daya produksi, berupa tenaga kerja dan ketersediaan lahan subur yang luas pun semakin berkurang. Pembukaan hutan alam sebagai resapan air hujan dan sumber mata air berdampak pada ketersediaan air irigasi bagi pertanian dan perkebunan di Indonesia. Kenyataan menarik lainnya adalah lahan subur negeri ini kini semakin banyak ditanami komoditas baru berupa semen dan bata dari pabrik-pabrik, gedung, dan perumahan. Sektor pertanian di tanah Jawa, yang notabenenya lebih subur dan sangat cocok untuk pertanian, harus berebut lahan dengan wilayah industri terpadu tempat jejeran pabrik yang kokoh berdiri ditengah hamparan sawah. Lokasi perumahan mewah masuk ke daerah pelosok karena jenuh dengan keriuhan dan kesibukan kota, mengalihkan fungsi lahan bercocok tanam petani desa. Data dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Ahmad Suryana menyebutka bahwa laju konversi lahan periode 1981-1999 rata-rata 88.500 hektare/ tahun, sedangkan untuk periode 1999-2002 rata-rata 141.286 hektare / tahun.. Periode 1981-2002 sawah beririgasi yang beralih fungsi mencapai 653.562 ha, sedangkan yang dicetak hanya 316.254 ha, sehingga ada selisih 335.308 ha.3
Di pulau lain, Sulawesi dan Sumatera misalnya, lahan perkebunan untuk berbagai macam bahan pangan seperti kakao, jagung, dan lada dikonversi menjadi perkebunan tanaman pangan industri, perkebunan kelapa sawit. Harga komoditas ini memang sedang naik dipasar komoditas dunia, hingga menarik minat para investor luar dan dalam negeri membuka perkebunan kelapa sawit swasta hingga puluhan bahkan ratusan hektar. Dampak buruk jika praktik ini tidak diatur dan dibatasi adalah selain mengurangi lahan perkebunan bagi tanaman pangan jenis lain, tanah bekas perkebunan yang telah ditanami sawit selama 25-30 tahun tersebut akan kehilangan banyak unsur hara dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan kesuburannya. Selama proses regenerasi alamiah tersebut, produktivitas lahan tentunya akan berkurang.
Masalah-masalah diatas merupakan faktor utama yang mengancam ketersediaan pangan kita dalam jangka panjang. Siklus iklim dan anomali cuaca juga berpengaruh, namun dalam jangka waktu yang relatif pendek, dan seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya jika ada langkah konkret yang dapat mengatasi masalah struktural diatas.
Aplikasi Teknologi dan Sokongan Kebijakan Agraria sebagai jawabannya
Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris ―ataukah negara maritim?― sudah selayaknya menempatkan perhatian lebih bagi masalah-masalah ini. Ketahanan pangan nasional, baik dari sisi pertanian, perkebunan, peternakan dan hasil laut serta industri pengolahannya haruslah didukung dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih mutakhir, sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan produktifitas sektor pangan. Pengaturan ketat akan penggunaan lahan dan tata kelolanya serta pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan yang masih produktif harus segera diberlakukan untuk menghindari dampak krisis pangan lebih lanjut. Adalah ironi, jika rakyat dari bangsa yang dulu jadi rebutan penjajah karena kekayaan alam dan kesuburan tanahnya harus menderita ditengah mahalnya harga kebutuhan pokok akibat kelangkaan pangan. Ketersediaan pangan yang merata bagi lebih dari 230 juta penduduk Indonesia adalah hal mutlak bagi kemajuan bangsa ini kedepan. Bukan tidak mungkin, ketahanan pangan dalam negeri justru akan memberikan peluang bisnis yang menjanjikan bagi kita untuk menjadi negara industri pangan pemasok kebutuhan dunia ditengah ancaman krisis pangan dimasa mendatang.
Usaha untuk meningkatkan pembangunan sektor industri dan mengukuhkan diri sebagai negara industri tidak boleh melupakan takdir kita sebagai negara agraris dan maritim yang telah dikaruniakan tanah subur dan lautan yang luas. Kelalaian dalam mengelola potensi tersebut mungkin saja termasuk dalam sikap tidak bersyukur akan nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, sehingga menimbulkan murka. Semoga saja banyaknya bencana yang datang menghampiri, baik itu bencana alam maupun bencana kemanusiaan seperti kelaparan dan gizi buruk bukan karena adanya kesalahan dalam mengurusi negeri yang berupaya melawan kodratnya.
Rudy Y.H.
Staf Kastrat BEM FEB UGM
Daftar Pustaka
1 Rusman, Erna Zetha, Laporan Ekonomi Bulanan Jan. 2008, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
2 Natsir Mansyur, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) dalam wawancara bersama detik Finance, 21 September 2010
3 http://www.suarapembaruan.com/News/2006/11/27/index.html Bahaya Alih Fungsi Lahan Persawahan
Monday, November 15, 2010
Wednesday, August 11, 2010
Listrik Masa Kini
Listrik Masa Kini
Listrik akhir-akhir ini menjadi suatu hal yang menjadi perbincangan yang ramai dibicarakan oleh banyak pihak di Indonesia. Bagaimana tidak, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik memicu berbagai reaksi dari masyarakat baik dari kalangan industri maupun dari kalangan intelektual. Kenaikan TDL pada sektor industri dan rumah tangga membuat kalangan industry kalang kabut. Bahkan di Solo, para pengusaha berencana akan memboikot kenaikan TDL. Namun menanggapi dari pengusaha, Pejabat Humas PLN APJ Surakarta Soeharmanto, SE “Monggo aja kalau memang dari pengusaha punya rencana boikot dengan tetap membayar tarif lama. Sah-sah saja, tapi yang jelas sampai saat ini kami masih menunggu petunjuk pelaksanaan (Juklak) atau hitungan riil atas kenaikan tarif itu dari pusat,”
Pada awalnya, adanya UU 15 tahun 1985 memberi PLN amanah untuk menjadi satu-satunya pemegang kuasa kelistrikan PKUK sehingga pada akhirnya muncul opini bahwaPLN monopoli listrik. Namun munculnya UU no 30 tahun 2009 menyebabkan PLN dicabut TKUK nya sehingga hanya sebagai PIUK (pemegang Ijin usaha kelistrikan), tidak menentukan kenaikan TDL maupun hal yang terkait dengannya. Setelah itu muncul wacana tentang kenaikan TDL pada akhir 2009. Namun, hal itu baru tercapai pada bulan Juli tahun ini.
Berikut skema kenaikan TDL per 1 Juli yang disepakati pemerintah dan DPR RI adalah seperti ini:
Jenis Pelangan Besar Kenaikan
Pelanggan 450 VA – 900 VA Tidak mengalami kenaikan
Pelanggan 6600 VA ke atas golongan rumah tangga, bisnis, dan pemerintah, dengan batas hemat 30% tidak naik karena tarifnya telah mencapai keekonomian.
Pelanggan Sosial 10%
Pelanggan Rumah Tangga lainnya 18%
Pelanggan Bisnis 12% - 16%
Pelanggan Industri lainnya 6% - 15%
Pelanggan Pemerintah lainnya 15% - 18%
Pelanggan Traksi (untuk keperluan KRL) 9%
Pelanggan Curah (untuk apartemen) 15%
Pelanggan Multiguna untuk pesta, layanan khusus) 20%
Sumber: http://www.detikpertama.com/data-lengkap-kenaikan-tdl-juli-2010/
Manager PLN APJ Surakarta, Drs Puguh Dwi Atmanto ST saat melaksanakan audiensi antara PLN APJ Surakarta dengan Forbes BEM se-UNS tanggal 23 Juli 2010 kemarin mengungkapkan bahwa sejak dikeluarkannya surat resmi soal kenaikan tarif listrik, sampai saat ini PLN APJ Solo belum menerima buku TDL serta angka-angka pasti mengenai kenaikan dan harga jual yang baru sehingga untuk penghitungan pembayaran listrik bulan Agustus masih belum pasti.
Sungguh, disaat negara ini dalam kondisi yang tidak menentu, jika suatu kebijakan kontroversial dikeluarkan. Maka akan banyak tantangan yang muncul dari berbagai kalangan. BEM FE UNS pun bersama ForBes BEM se-UNS sendiri sempat turun aksi sejumlah 3 kali. Yang pertama adalah saat tanggal 29 Juni 2010, dilanjutkan tanggal 2 Juli 2010, dan yang terakhir tanggal 14 Juli 2010. Beberapa kalangan yang lain pun mempertanyakan dasar kebijakan itu. Jika memang alasannya dikarenakan akibat beban yang harus ditanggung APBN untuk biaya subsidi listrik terlalu banyak, maka seharusnya ada efisiensi penggunaan APBN.
Opsi lain yang muncul adalah penggunaan gas atau yang lain sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Jika selama ini banyak pembangkit yang menggunakan solar sebagai bahan bakar, maka harus diganti menjadi gas, nuklir, ataupun yang lainnya yang lebih kecil cost-nya. Jika selama ini PLN membeli solar dengan harga industri, bagaimana mungkin harga listrik tidak naik ? Perlu diketahui bahwa harga awal listrik sebelum naik tanggal 1 Juli 2010 adalah Rp 639/ kwh. Padahal cost yang dibutuhkan untuk memproduksi listrik per kwh adalah sekitar Rp 1200. Maka pemerintah pun berencana menaikkan TDL menjadi sekitar 1000/kwh dengan dasar pengurangan beban subsidi listrik. Disini muncul suatu pertanyaan, saat sedang ada kontroversi tentang TDL, mengapa DPR RI malah tersibukkan dengan dana aspirasi untuk anggota DPR yang belum jelas pertanggungjawaban kepada siapa. Tentu saja DPR wajib bertanggungjawab apabila kebijakan dana aspirasi tersebut bisa tercapai.
Selain pembelian solar yang menggunakan harga,industri, PLN pun seakan di anak-tirikan oleh pemerintah. Betapa tidak, ada kebijakan yang memutuskan batubara yang menjadi bahan bakar pembangkit listrik kemudian diekspor keluar negeri dengan harga murah dan PLN membeli batubara dari luar negeri dengan harga yang mahal. Bukankah itu kebijakan yang mengherankan apabila pemerintah ingin tarif dasar listrik tidak naik dan memberatkan masyarakat? Jika benar pemerintah tidak ingin memberatkan rakyat seharusnya pemerintah mengubah kebijakannya mengenai harga solar yang diberikan kepada PLN, tentang prioritas penggunaan batubara agar digunakan PLN maupun pengguna dalam negeri, dan juga berbagai kebijakan strategis lainnya yang berkaitan dengan PLN dan listrik di Indonesia.
Sungguh, tak dapat dipungkiri dalam kondisi yang serba terdesak ini PLN senantiasa berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Walaupun masih ada hal yang perlu dibenahi kita tetap harus memberikan apresiasi kepada PLN yang setiap hari menyalurkan energi listrik kepada Indonesia, yang telah menerangi Indonesia sampai saat ini dan turut serta dalam mencerdaskan bangsa.
Deputi Kajian Strategis
BEM FE Universitas Sebelas Maret 2010 - 2011
Listrik akhir-akhir ini menjadi suatu hal yang menjadi perbincangan yang ramai dibicarakan oleh banyak pihak di Indonesia. Bagaimana tidak, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik memicu berbagai reaksi dari masyarakat baik dari kalangan industri maupun dari kalangan intelektual. Kenaikan TDL pada sektor industri dan rumah tangga membuat kalangan industry kalang kabut. Bahkan di Solo, para pengusaha berencana akan memboikot kenaikan TDL. Namun menanggapi dari pengusaha, Pejabat Humas PLN APJ Surakarta Soeharmanto, SE “Monggo aja kalau memang dari pengusaha punya rencana boikot dengan tetap membayar tarif lama. Sah-sah saja, tapi yang jelas sampai saat ini kami masih menunggu petunjuk pelaksanaan (Juklak) atau hitungan riil atas kenaikan tarif itu dari pusat,”
Pada awalnya, adanya UU 15 tahun 1985 memberi PLN amanah untuk menjadi satu-satunya pemegang kuasa kelistrikan PKUK sehingga pada akhirnya muncul opini bahwaPLN monopoli listrik. Namun munculnya UU no 30 tahun 2009 menyebabkan PLN dicabut TKUK nya sehingga hanya sebagai PIUK (pemegang Ijin usaha kelistrikan), tidak menentukan kenaikan TDL maupun hal yang terkait dengannya. Setelah itu muncul wacana tentang kenaikan TDL pada akhir 2009. Namun, hal itu baru tercapai pada bulan Juli tahun ini.
Berikut skema kenaikan TDL per 1 Juli yang disepakati pemerintah dan DPR RI adalah seperti ini:
Jenis Pelangan Besar Kenaikan
Pelanggan 450 VA – 900 VA Tidak mengalami kenaikan
Pelanggan 6600 VA ke atas golongan rumah tangga, bisnis, dan pemerintah, dengan batas hemat 30% tidak naik karena tarifnya telah mencapai keekonomian.
Pelanggan Sosial 10%
Pelanggan Rumah Tangga lainnya 18%
Pelanggan Bisnis 12% - 16%
Pelanggan Industri lainnya 6% - 15%
Pelanggan Pemerintah lainnya 15% - 18%
Pelanggan Traksi (untuk keperluan KRL) 9%
Pelanggan Curah (untuk apartemen) 15%
Pelanggan Multiguna untuk pesta, layanan khusus) 20%
Sumber: http://www.detikpertama.com/data-lengkap-kenaikan-tdl-juli-2010/
Manager PLN APJ Surakarta, Drs Puguh Dwi Atmanto ST saat melaksanakan audiensi antara PLN APJ Surakarta dengan Forbes BEM se-UNS tanggal 23 Juli 2010 kemarin mengungkapkan bahwa sejak dikeluarkannya surat resmi soal kenaikan tarif listrik, sampai saat ini PLN APJ Solo belum menerima buku TDL serta angka-angka pasti mengenai kenaikan dan harga jual yang baru sehingga untuk penghitungan pembayaran listrik bulan Agustus masih belum pasti.
Sungguh, disaat negara ini dalam kondisi yang tidak menentu, jika suatu kebijakan kontroversial dikeluarkan. Maka akan banyak tantangan yang muncul dari berbagai kalangan. BEM FE UNS pun bersama ForBes BEM se-UNS sendiri sempat turun aksi sejumlah 3 kali. Yang pertama adalah saat tanggal 29 Juni 2010, dilanjutkan tanggal 2 Juli 2010, dan yang terakhir tanggal 14 Juli 2010. Beberapa kalangan yang lain pun mempertanyakan dasar kebijakan itu. Jika memang alasannya dikarenakan akibat beban yang harus ditanggung APBN untuk biaya subsidi listrik terlalu banyak, maka seharusnya ada efisiensi penggunaan APBN.
Opsi lain yang muncul adalah penggunaan gas atau yang lain sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Jika selama ini banyak pembangkit yang menggunakan solar sebagai bahan bakar, maka harus diganti menjadi gas, nuklir, ataupun yang lainnya yang lebih kecil cost-nya. Jika selama ini PLN membeli solar dengan harga industri, bagaimana mungkin harga listrik tidak naik ? Perlu diketahui bahwa harga awal listrik sebelum naik tanggal 1 Juli 2010 adalah Rp 639/ kwh. Padahal cost yang dibutuhkan untuk memproduksi listrik per kwh adalah sekitar Rp 1200. Maka pemerintah pun berencana menaikkan TDL menjadi sekitar 1000/kwh dengan dasar pengurangan beban subsidi listrik. Disini muncul suatu pertanyaan, saat sedang ada kontroversi tentang TDL, mengapa DPR RI malah tersibukkan dengan dana aspirasi untuk anggota DPR yang belum jelas pertanggungjawaban kepada siapa. Tentu saja DPR wajib bertanggungjawab apabila kebijakan dana aspirasi tersebut bisa tercapai.
Selain pembelian solar yang menggunakan harga,industri, PLN pun seakan di anak-tirikan oleh pemerintah. Betapa tidak, ada kebijakan yang memutuskan batubara yang menjadi bahan bakar pembangkit listrik kemudian diekspor keluar negeri dengan harga murah dan PLN membeli batubara dari luar negeri dengan harga yang mahal. Bukankah itu kebijakan yang mengherankan apabila pemerintah ingin tarif dasar listrik tidak naik dan memberatkan masyarakat? Jika benar pemerintah tidak ingin memberatkan rakyat seharusnya pemerintah mengubah kebijakannya mengenai harga solar yang diberikan kepada PLN, tentang prioritas penggunaan batubara agar digunakan PLN maupun pengguna dalam negeri, dan juga berbagai kebijakan strategis lainnya yang berkaitan dengan PLN dan listrik di Indonesia.
Sungguh, tak dapat dipungkiri dalam kondisi yang serba terdesak ini PLN senantiasa berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Walaupun masih ada hal yang perlu dibenahi kita tetap harus memberikan apresiasi kepada PLN yang setiap hari menyalurkan energi listrik kepada Indonesia, yang telah menerangi Indonesia sampai saat ini dan turut serta dalam mencerdaskan bangsa.
Deputi Kajian Strategis
BEM FE Universitas Sebelas Maret 2010 - 2011
Saturday, August 7, 2010
Dilematika Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Listrik merupakan kebutuhan vital sebuah bangsa sebagai penunjang perekonomian. Menurut teori ekonomi kelistrikan, pasokan energi listrik merupakan hal yang signifikan dalam pemacuan aktivitas ekonomi. Indonesia sebagai sebuah negara berkembang senantiasa mengembangkan sumber daya energi listrik dari tahun ke tahun. Bentuk pengembangan ini antara lain ialah penambahan kapasitas kelistrikan, peningkatan efektivitas penghasilan listrik, serta perluasan wilayah pelayanan kelistrikan ke seluruh pelosok Indonesia (sekitar 30-35% Wilayah permukiman di Indonesia belum teraliri listrik).
PLN dibawah kementerian ESDM merupakan operator yang berperan utama melayani masalah kelistrikan di Indonesia. Sebagai badan usaha yang berbentuk Persero, PLN melaksanakan tugasnya sebagai penyedia layanan kelistrikan dengan regulasi yang ditetapkan oleh kementrian ESDM. Diketuai oleh Dahlan Iskan, PLN saat ini menyediakan listrik sebesar total hingga 83,3 TWh. Subsidi pemerintah selalu dialirkan tiap tahun sebesar 50-60 trilyun karena PLN yang selalu mengalami kerugian pada setiap produksinya.
Keputusan menteri ESDM nomor 07 tahun 2010 yang lalu memutuskan bahwa akan terjadi kenaikan TDL per tanggal 1 juli yang akan meningkatkan tarif dasar pada kapasitas diatas 900 VA untuk setiap golongan tarif dengan kisaran kenaikan antara 6%-20%. Diharapkan dengan kenaikan ini, pemerintah dapat menekan subsidi sebesar 20 trilyun sehingga dapat mengalihkannya pada sektor lain. Demikian adalah kebijakan menteri ESDM, terlepas dari pernyataan ketua PLN Dahlan Iskan yang menganggap masalah harga listrik tidak akan berpengaruh pada kinerja PLN keseluruhan.
Keputusan menaikkan tarif dasar listrik ini tidak terlepas dari kecenderungan ketergantungan PLN akan sumber bahan bakar diesel. Menurut data, biaya pokok penyediaan PLN sebesar 64.9% dari 165 trilyun adalah biaya bahan bakar diesel dalam produksi listrik. Bahan bakar diesel merupakan preferensi utama pemerintah untuk pembangkit tenaga listrik dikarenakan fleksibilitasnya dalam pengadaan listrik di dalam negeri. Dibandingkan batu bara, gas, dan lainnya, Pembangkit listrik tenaga diesel memiliki sunk cost (biaya pengadaan) yang paling rendah, namun memiliki SFC (Specific Fuel Consumption) yang paling buruk diantara lainnya. Jadi bisa dipastikan, langkah pemerintah dalam memakai bahan bakar solar sebagai sumber utama listrik dikarenakan ini merupakan langkah paling dimungkinkan untuk pemenuhan target listrik dengan cepat, walaupun harus mengorbankan biaya operasional yang sangat tinggi.
Sebenarnya terdapat alternatif pemerintah untuk mengurangi biaya produksi dengan cara mengganti dengan mengganti bahan bakar minyak dengan gas / batu bara yang tingkat SFC nya lebih tinggi. Namun nyatanya kedua bahan bakar alternatif ini tidak mudah didapatkan oleh PLN dikarenakan alokasi ekspor yang sangat tinggi dan mahalnya biaya bahan baku tersebut dalam negeri. Menurut Dahlan Iskan, keputusan pembuatan PLTU khususnya yang berkonsentrasi pada energi batu bara pun dirasa tidak dimungkinkan. Karena ternyata harga batu bara di dalam negeri sangatlah tinggi sedangkan banyak pula stok yang diekspor ke luar negeri. Sementara dalam konteks pengadaan gas, terdapat pula masalah yang sama pada keputusan pemerintah yang lebih mengedepankan ekspor gas ke negara tetangga dibandingkan memanfaatkannya di dalam negeri.
Peningkatan harga meskipun tidak berdampak langsung pada rakyat miskin (karena kenaikan hanya terbatas pada kapasitas diatas 900VA), tetapi sektor industri yang memakai listrik dalam kapasitas diatasnya tetap akan terimbas dengan pembebanan harga pada konsumen. Kenaikan harga industri berdampak pada harga-harga barang yang lain yang menggunakan faktor input dari sektor industri, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Secara statistik maka masyarakat yang berada dekat di atas garis kemiskinan dapat turun kesejahteraannya dan bergeser pada status miskin.
Dengan paparan diatas, maka dinilai kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dirasa tidak menyentuh akar permasalahan dari permasalahan kelistrikan di Indonesia. Malah dengan adanya kenaikan harga listrik, akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat kecil. Untuk itu diperlukan renegosiasi ulang masalah energi bahan baku listrik nasional seperti gas dan batu bara untuk mengefektifkan produksi. Diversifikasi bahan baku pun perlu dilakukan demi penekanan biaya kelistrikan sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat. Dalam skala mikro, kampanye penghematan listrik dapat dilakukan untuk menekan biaya listrik yang berlebih dengan signifikan.
Kajian Strategis
BEM FEB
Universitas Gadjah Mada
PLN dibawah kementerian ESDM merupakan operator yang berperan utama melayani masalah kelistrikan di Indonesia. Sebagai badan usaha yang berbentuk Persero, PLN melaksanakan tugasnya sebagai penyedia layanan kelistrikan dengan regulasi yang ditetapkan oleh kementrian ESDM. Diketuai oleh Dahlan Iskan, PLN saat ini menyediakan listrik sebesar total hingga 83,3 TWh. Subsidi pemerintah selalu dialirkan tiap tahun sebesar 50-60 trilyun karena PLN yang selalu mengalami kerugian pada setiap produksinya.
Keputusan menteri ESDM nomor 07 tahun 2010 yang lalu memutuskan bahwa akan terjadi kenaikan TDL per tanggal 1 juli yang akan meningkatkan tarif dasar pada kapasitas diatas 900 VA untuk setiap golongan tarif dengan kisaran kenaikan antara 6%-20%. Diharapkan dengan kenaikan ini, pemerintah dapat menekan subsidi sebesar 20 trilyun sehingga dapat mengalihkannya pada sektor lain. Demikian adalah kebijakan menteri ESDM, terlepas dari pernyataan ketua PLN Dahlan Iskan yang menganggap masalah harga listrik tidak akan berpengaruh pada kinerja PLN keseluruhan.
Keputusan menaikkan tarif dasar listrik ini tidak terlepas dari kecenderungan ketergantungan PLN akan sumber bahan bakar diesel. Menurut data, biaya pokok penyediaan PLN sebesar 64.9% dari 165 trilyun adalah biaya bahan bakar diesel dalam produksi listrik. Bahan bakar diesel merupakan preferensi utama pemerintah untuk pembangkit tenaga listrik dikarenakan fleksibilitasnya dalam pengadaan listrik di dalam negeri. Dibandingkan batu bara, gas, dan lainnya, Pembangkit listrik tenaga diesel memiliki sunk cost (biaya pengadaan) yang paling rendah, namun memiliki SFC (Specific Fuel Consumption) yang paling buruk diantara lainnya. Jadi bisa dipastikan, langkah pemerintah dalam memakai bahan bakar solar sebagai sumber utama listrik dikarenakan ini merupakan langkah paling dimungkinkan untuk pemenuhan target listrik dengan cepat, walaupun harus mengorbankan biaya operasional yang sangat tinggi.
Sebenarnya terdapat alternatif pemerintah untuk mengurangi biaya produksi dengan cara mengganti dengan mengganti bahan bakar minyak dengan gas / batu bara yang tingkat SFC nya lebih tinggi. Namun nyatanya kedua bahan bakar alternatif ini tidak mudah didapatkan oleh PLN dikarenakan alokasi ekspor yang sangat tinggi dan mahalnya biaya bahan baku tersebut dalam negeri. Menurut Dahlan Iskan, keputusan pembuatan PLTU khususnya yang berkonsentrasi pada energi batu bara pun dirasa tidak dimungkinkan. Karena ternyata harga batu bara di dalam negeri sangatlah tinggi sedangkan banyak pula stok yang diekspor ke luar negeri. Sementara dalam konteks pengadaan gas, terdapat pula masalah yang sama pada keputusan pemerintah yang lebih mengedepankan ekspor gas ke negara tetangga dibandingkan memanfaatkannya di dalam negeri.
Peningkatan harga meskipun tidak berdampak langsung pada rakyat miskin (karena kenaikan hanya terbatas pada kapasitas diatas 900VA), tetapi sektor industri yang memakai listrik dalam kapasitas diatasnya tetap akan terimbas dengan pembebanan harga pada konsumen. Kenaikan harga industri berdampak pada harga-harga barang yang lain yang menggunakan faktor input dari sektor industri, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Secara statistik maka masyarakat yang berada dekat di atas garis kemiskinan dapat turun kesejahteraannya dan bergeser pada status miskin.
Dengan paparan diatas, maka dinilai kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dirasa tidak menyentuh akar permasalahan dari permasalahan kelistrikan di Indonesia. Malah dengan adanya kenaikan harga listrik, akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat kecil. Untuk itu diperlukan renegosiasi ulang masalah energi bahan baku listrik nasional seperti gas dan batu bara untuk mengefektifkan produksi. Diversifikasi bahan baku pun perlu dilakukan demi penekanan biaya kelistrikan sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat. Dalam skala mikro, kampanye penghematan listrik dapat dilakukan untuk menekan biaya listrik yang berlebih dengan signifikan.
Kajian Strategis
BEM FEB
Universitas Gadjah Mada
Friday, July 30, 2010
Problematika Listrik di Indonesia Tahun 2010
Listrik merupakan salah satu alat pemenuhan kebutuhan publik yang sangat penting. Mulai dari gemerlapnya di kota – kota besar,hingga pelosok desa pun sudah terjangkau oleh listrik. Bahkan dapat dikatakan kita tidak dapat hidup tanpa listrik. Kebutuhan yang besar akan listrik itulah yang menjadi salah satu pekerjaan pemerintah sebagai satu – satunya lembaga yang menyediakan listrik untuk masyarakat.
Sudah sejak lama pemerintah menyuplai listrik ke masyakat dengan subsidi,sehingga masyarakat bisa membayar lebih murah atas pemakaiannya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa penyupsidian itu akan menjadi masalah di suatu hari mendatang saat negara ini terkena krisis ekonomi atau terkena dampak dari era globalisasi yang sudah semakin canggih dengan alat – alat yang mutakhir yang secara langsung juga membutuhkan tenaga listrik yang lebih besar untuk penyuplai dayanya.
Krisis itulah yang terjadi sekarang ini, ketimpangan antara subsidi yang bisa diberikan pemerintah dengan subsidi yang seharusnya dibayarkan agar masyarakat tidak menanggung dana untuk penyuplaian listrik menjadi defisit yang berarti PLN sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai penyuplai listrik untuk seluruh Indonesia ini harus menemukan solusi bagaimana bisa menutupi defisit yang terjadi. Berbagai macam solusi sudah mulai dicetuskan hingga akhirnya diputuskan untuk menaikkan tarif dasar listrik untuk menangani masalah yang ada.
Peninjauan–peninjauan terus dilakukan oleh pemerintah. Penganalisaan terus dilakukan dalam mempertimbangkan penaikan tarif dasar listrik ini. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan kenaikan TDL itu merupakan rata-rata secara keseluruhan dari semua masyarakat namun bukan berarti TDL untuk masyarakat kurang mampu juga akan naik.
Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, menambahkan pembahasan kenaikan TDL akan dilakukan dengan DPR terlebih dahulu, untuk itu, pemerintah menjamin TDL tidak akan naik pada semester pertama. Hatta menambahkan, pemerintah juga mempertimbangkan biaya listrik yang terus meningkat maupun daya tahan suplainya.
Dampak pada inflasi dari kenaikan tarif dasar listrik yang dimulai pada Juli 2010 ini masih menunggu reaksi dari kalangan pengusaha dalam menyikapi kebijakan tersebut. Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heryawan, mengatakan dampak langsung kenaikan TDL terhadap inflasi sebenarnya hanya sekitar 0,22%. Namun, dampak tidak langsung belum bisa diperkirakan karena reaksi dunia usaha terhadap kebijakan kenaikan TDL ini belum terlihat. Kenaikan TDL ini akan mulai terasa ketika masyarakat membayar tagihan pada bulan Agustus untuk pembayaran bulan Juli. Untuk dunia usaha sebaiknya melakukan penambahan produksi di bidang barang dan jasa agar dampak dari kenaikan TDL tidak terlalu terasa.
Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik mengumumkan tekanan inflasi sepanjang Juni yang melonjak 0,97% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang hanya 0,29%, dengan laju inflasi tahun kalender (januari – juni 2010) sebesar 2,42% dan laju inflasi tahunan 5,05%. Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan menjaga kelancaran distribusi bahan pokok pada semester II/2010 agar target inflasi sebesar 5,3% tahun ini tercapai.
Berikut ini adalah pengumuman resmi dari PLN mengenai kenaikan TDL :
1. Pemerintah diwakili Menteri ESDM telah mengumumkan penyesuaian TDL yang diatur di dalam Peraturan Menteri ESDM No. 07 tahun 2010 tanggal 30 Juni 2010 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara. TDL baru ini mulai berlaku untuk pemakaian listrik bulan Juli 2010. Penetapan TDL 2010 telah mendapat persetujuan DPR dalam Rapat Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Komisi VII DPR RI pada tanggal 15 Juni 2010.
2. Penyesuaian TDL 2010 merupakan langkah untuk mengendalikan besaran subsidi listrik yang harus disediakan oleh negara seperti telah ditetapkan pada UU No. 2 tahun 2010 tentang APBN-Perubahan sebagai perubahan dari UU No. 47 tahun 2009.
3. Dalam TDL 2010, pelanggan 450 VA dan 900 VA seluruh golongan tarif (Sosial, Rumah Tangga, Bisnis, Iindustri, dan Bangunan Pemerintah) tidak mengalami kenaikan. Oleh sebab itu, lebih dari 33,2 juta pelanggan 450 VA dan 900 VA dari total seluruh pelanggan sejumlah 40,1 juta tidak mengalami kenaikan TDL.
4. Dalam TDL 2010 tidak ada perubahan golongan tarif listrik, tetap terdiri dari 37 golongan tarif. Sedangkan kenaikan TDL untuk pelanggan di atas 900 VA untuk setiap golongan tarif, berkisar antara 6 % - 20 % dengan sebaran sebagai berikut :
a) Sosial, naik rata-rata 10%,
b) Rumah Tangga, naik rata-rata 18%
c) Bisnis, naik rata-rata 16%
d) Industri, naik rata-rata 6% s/d 12 %
e) Bangunan Pemerintah, naik rata-rata 15% s/d 18%
f) Traksi, Curah, dan layanan Khusus, naik rata-rata 9% s/d 20%.
5. Dengan diberlakukannya TDL 2010 ini, maka kebijakan pengendalian beban puncak (Dayamax Plus) tidak diberlakukan lagi sejak 01 Juli 2010. Selain itu, kebijakan pengenaan tarif Multiguna yang selama ini dianggap diskriminatif terhadap pelanggan baru, dicabut dan dikembalikan kepada tarif sesuai TDL 2010.
6. Dalam hal adanya permintaan pelanggan industri dan bisnis yang memerlukan layanan khusus dan tingkat keandalan tertentu, PLN dapat melayani dengan skema business to business, namun pelaksanaannya harus seijin dan dikoordinasikan PLN Kantor Pusat.
7. Pada TDL 2010 ini, juga ditetapkan tarif listrik untuk Pra Bayar yang besarnya sama dengan tarif listrik Pasca Bayar. Dengan demikian, terdapat tarif Pasca Bayar (Reguler) dan tarif Pra Bayar.
8. Selain mengatur tentang tarif listrik, Peraturan Menteri ESDM Nomor : 07 Tahun 2010 ini juga menetapkan biaya-biaya lain, yaitu:
a) Biaya kelebihan pemakaian daya reaktif (kVArh);
b) Biaya Penyambungan Tenaga Listrik;
c) Uang Jaminan Langganan;
d) Biaya Keterlambatan Pembayaran;
e) Tagihan Susulan atas penertiban pemakaian listrik tidak sah.
9. Peraturan Menteri ESDM Nomor : 07 Tahun 2010 juga menegaskan, bahwa PLN harus meningkatkan pelayanan dengan ditetapkannya beberapa indikator tingkat mutu pelayanan, antara lain lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter. Apabila tingkat mutu pelayanan tersebut tidak terpenuhi, maka PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan.
10. Kenaikan TDL ini memberi sinyal yang baik bagi calon investor kelistrikan untuk berinvestasi di Indonesia, dan memberi sinyal positif bagi pelanggan untuk berhemat.
Disini dapat kita lihat bahwa kenaikan TDL yang berlaku mulai Juli 2010 ini memiliki beberapa keuntungan – keuntungan bagi pengusaha dan masyarakat. Yaitu , jika kita adalah pengguna daya antara 450 – 900 VA maka kita tidak akan terkena kenaikan TDL, pelanggan bisnis dan industri yang selama ini membayar disinsentif patut bergembira karena mereka tidak perlu membayar denda disinsentif karena pada kebijakan kenaikan TDL ini denda insentif itu akan dihapuskan.
Jika kita lihat, kenaikan TDL mempunyai manfaat yang banyak. Kenaikan TDL ini dapat membantu masyarakat kecil dan dapat menegakkan keadilan bagi semuanya,karena rata–rata yang menikmati subsidi listrik ini adalah kaum menengah ke atas. Dua tahun lalu saja subsidi listrik untuk para pengusaha besar mencapai Rp 9 triliun dan itu fakta. Dari pemaparan di atas, seharusnya tidak ada alasan untuk menaikkan biaya produksi yang menyebabkan kenaikan harga karena berkurangnya subsidi TDL, mengapa? Karena denda insentif yang sudah seharusnya dihapuskan, serta adanya tambahan pelayanan dari PLN yaitu apabila ada kesalahan–kesalahan pada pembacaan meter, lama gangguan, dan jumlah gangguan maka PLN wajib memberi pengurangan tagihan kepada konsumen yang bersangkutan. Dari sudut pandang seorang ekonom, bahwa walaupun TDL naik, masyarakat akan dapat memaksimalkan utilitasnya karena kualitas pelayanan listrik yang meningkat pula.
Kami yakin bahwa kenaikan TDL ini akan menjadi akan berjalan ke arah yang positif tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini bisa dibuktikan oleh kinerja dari PLN sendiri yang semakin professional dalam berbenah diri untuk melayani masyarakat dengan lebih baik lagi dengan terus berupaya secara bertahap menambah daya. Sehingga perlahan tidak akan ada lagi pemadaman bergilir yang selama ini kita rasakan.
Sudah sejak lama pemerintah menyuplai listrik ke masyakat dengan subsidi,sehingga masyarakat bisa membayar lebih murah atas pemakaiannya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa penyupsidian itu akan menjadi masalah di suatu hari mendatang saat negara ini terkena krisis ekonomi atau terkena dampak dari era globalisasi yang sudah semakin canggih dengan alat – alat yang mutakhir yang secara langsung juga membutuhkan tenaga listrik yang lebih besar untuk penyuplai dayanya.
Krisis itulah yang terjadi sekarang ini, ketimpangan antara subsidi yang bisa diberikan pemerintah dengan subsidi yang seharusnya dibayarkan agar masyarakat tidak menanggung dana untuk penyuplaian listrik menjadi defisit yang berarti PLN sebagai lembaga yang ditunjuk sebagai penyuplai listrik untuk seluruh Indonesia ini harus menemukan solusi bagaimana bisa menutupi defisit yang terjadi. Berbagai macam solusi sudah mulai dicetuskan hingga akhirnya diputuskan untuk menaikkan tarif dasar listrik untuk menangani masalah yang ada.
Peninjauan–peninjauan terus dilakukan oleh pemerintah. Penganalisaan terus dilakukan dalam mempertimbangkan penaikan tarif dasar listrik ini. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan kenaikan TDL itu merupakan rata-rata secara keseluruhan dari semua masyarakat namun bukan berarti TDL untuk masyarakat kurang mampu juga akan naik.
Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, menambahkan pembahasan kenaikan TDL akan dilakukan dengan DPR terlebih dahulu, untuk itu, pemerintah menjamin TDL tidak akan naik pada semester pertama. Hatta menambahkan, pemerintah juga mempertimbangkan biaya listrik yang terus meningkat maupun daya tahan suplainya.
Dampak pada inflasi dari kenaikan tarif dasar listrik yang dimulai pada Juli 2010 ini masih menunggu reaksi dari kalangan pengusaha dalam menyikapi kebijakan tersebut. Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heryawan, mengatakan dampak langsung kenaikan TDL terhadap inflasi sebenarnya hanya sekitar 0,22%. Namun, dampak tidak langsung belum bisa diperkirakan karena reaksi dunia usaha terhadap kebijakan kenaikan TDL ini belum terlihat. Kenaikan TDL ini akan mulai terasa ketika masyarakat membayar tagihan pada bulan Agustus untuk pembayaran bulan Juli. Untuk dunia usaha sebaiknya melakukan penambahan produksi di bidang barang dan jasa agar dampak dari kenaikan TDL tidak terlalu terasa.
Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik mengumumkan tekanan inflasi sepanjang Juni yang melonjak 0,97% dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang hanya 0,29%, dengan laju inflasi tahun kalender (januari – juni 2010) sebesar 2,42% dan laju inflasi tahunan 5,05%. Sebelumnya, pemerintah menyatakan akan menjaga kelancaran distribusi bahan pokok pada semester II/2010 agar target inflasi sebesar 5,3% tahun ini tercapai.
Berikut ini adalah pengumuman resmi dari PLN mengenai kenaikan TDL :
1. Pemerintah diwakili Menteri ESDM telah mengumumkan penyesuaian TDL yang diatur di dalam Peraturan Menteri ESDM No. 07 tahun 2010 tanggal 30 Juni 2010 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara. TDL baru ini mulai berlaku untuk pemakaian listrik bulan Juli 2010. Penetapan TDL 2010 telah mendapat persetujuan DPR dalam Rapat Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Komisi VII DPR RI pada tanggal 15 Juni 2010.
2. Penyesuaian TDL 2010 merupakan langkah untuk mengendalikan besaran subsidi listrik yang harus disediakan oleh negara seperti telah ditetapkan pada UU No. 2 tahun 2010 tentang APBN-Perubahan sebagai perubahan dari UU No. 47 tahun 2009.
3. Dalam TDL 2010, pelanggan 450 VA dan 900 VA seluruh golongan tarif (Sosial, Rumah Tangga, Bisnis, Iindustri, dan Bangunan Pemerintah) tidak mengalami kenaikan. Oleh sebab itu, lebih dari 33,2 juta pelanggan 450 VA dan 900 VA dari total seluruh pelanggan sejumlah 40,1 juta tidak mengalami kenaikan TDL.
4. Dalam TDL 2010 tidak ada perubahan golongan tarif listrik, tetap terdiri dari 37 golongan tarif. Sedangkan kenaikan TDL untuk pelanggan di atas 900 VA untuk setiap golongan tarif, berkisar antara 6 % - 20 % dengan sebaran sebagai berikut :
a) Sosial, naik rata-rata 10%,
b) Rumah Tangga, naik rata-rata 18%
c) Bisnis, naik rata-rata 16%
d) Industri, naik rata-rata 6% s/d 12 %
e) Bangunan Pemerintah, naik rata-rata 15% s/d 18%
f) Traksi, Curah, dan layanan Khusus, naik rata-rata 9% s/d 20%.
5. Dengan diberlakukannya TDL 2010 ini, maka kebijakan pengendalian beban puncak (Dayamax Plus) tidak diberlakukan lagi sejak 01 Juli 2010. Selain itu, kebijakan pengenaan tarif Multiguna yang selama ini dianggap diskriminatif terhadap pelanggan baru, dicabut dan dikembalikan kepada tarif sesuai TDL 2010.
6. Dalam hal adanya permintaan pelanggan industri dan bisnis yang memerlukan layanan khusus dan tingkat keandalan tertentu, PLN dapat melayani dengan skema business to business, namun pelaksanaannya harus seijin dan dikoordinasikan PLN Kantor Pusat.
7. Pada TDL 2010 ini, juga ditetapkan tarif listrik untuk Pra Bayar yang besarnya sama dengan tarif listrik Pasca Bayar. Dengan demikian, terdapat tarif Pasca Bayar (Reguler) dan tarif Pra Bayar.
8. Selain mengatur tentang tarif listrik, Peraturan Menteri ESDM Nomor : 07 Tahun 2010 ini juga menetapkan biaya-biaya lain, yaitu:
a) Biaya kelebihan pemakaian daya reaktif (kVArh);
b) Biaya Penyambungan Tenaga Listrik;
c) Uang Jaminan Langganan;
d) Biaya Keterlambatan Pembayaran;
e) Tagihan Susulan atas penertiban pemakaian listrik tidak sah.
9. Peraturan Menteri ESDM Nomor : 07 Tahun 2010 juga menegaskan, bahwa PLN harus meningkatkan pelayanan dengan ditetapkannya beberapa indikator tingkat mutu pelayanan, antara lain lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter. Apabila tingkat mutu pelayanan tersebut tidak terpenuhi, maka PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan.
10. Kenaikan TDL ini memberi sinyal yang baik bagi calon investor kelistrikan untuk berinvestasi di Indonesia, dan memberi sinyal positif bagi pelanggan untuk berhemat.
Disini dapat kita lihat bahwa kenaikan TDL yang berlaku mulai Juli 2010 ini memiliki beberapa keuntungan – keuntungan bagi pengusaha dan masyarakat. Yaitu , jika kita adalah pengguna daya antara 450 – 900 VA maka kita tidak akan terkena kenaikan TDL, pelanggan bisnis dan industri yang selama ini membayar disinsentif patut bergembira karena mereka tidak perlu membayar denda disinsentif karena pada kebijakan kenaikan TDL ini denda insentif itu akan dihapuskan.
Jika kita lihat, kenaikan TDL mempunyai manfaat yang banyak. Kenaikan TDL ini dapat membantu masyarakat kecil dan dapat menegakkan keadilan bagi semuanya,karena rata–rata yang menikmati subsidi listrik ini adalah kaum menengah ke atas. Dua tahun lalu saja subsidi listrik untuk para pengusaha besar mencapai Rp 9 triliun dan itu fakta. Dari pemaparan di atas, seharusnya tidak ada alasan untuk menaikkan biaya produksi yang menyebabkan kenaikan harga karena berkurangnya subsidi TDL, mengapa? Karena denda insentif yang sudah seharusnya dihapuskan, serta adanya tambahan pelayanan dari PLN yaitu apabila ada kesalahan–kesalahan pada pembacaan meter, lama gangguan, dan jumlah gangguan maka PLN wajib memberi pengurangan tagihan kepada konsumen yang bersangkutan. Dari sudut pandang seorang ekonom, bahwa walaupun TDL naik, masyarakat akan dapat memaksimalkan utilitasnya karena kualitas pelayanan listrik yang meningkat pula.
Kami yakin bahwa kenaikan TDL ini akan menjadi akan berjalan ke arah yang positif tanpa merugikan pihak manapun. Hal ini bisa dibuktikan oleh kinerja dari PLN sendiri yang semakin professional dalam berbenah diri untuk melayani masyarakat dengan lebih baik lagi dengan terus berupaya secara bertahap menambah daya. Sehingga perlahan tidak akan ada lagi pemadaman bergilir yang selama ini kita rasakan.
Kementrian Kajian Strategis Nasional
BEM FE Universitas Padjadjaran 2010-2011
BEM FE Universitas Padjadjaran 2010-2011
Tuesday, June 29, 2010
Pergantian Menteri Keuangan dan Perekonomian Indonesia
Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, dialah yang ditunjuk oleh presiden untuk menduduki jabatan Menteri Keuangan RI menggantikan Sri Mulyani Indarwati yang secara resmi sudah mengundurkan diri dari jabatan Menkeu dikarenakan telah mempunyai jabatan baru sebagai Direktur Pelaksana di Bank Dunia yang bermarkas di Washington DC. Memang bukan perkara yang mudah untuk siapapun juga dalam mengemban tugas sebagai Menkeu karena peran Menkeu memang sangatlah vital dalam penentuan kebijakan yang berpengaruh pada gerak nadi perekonomian negara.
Pro dan kontra, suatu argumen yang wajar dari masyarakat saat menanggapi pengangkatan Agus Martowardojo sebagai Menkeu baru. Kekhawatiran jika Agus tidak dapat menjalankan fungsi seperti pendahulunya, Sri Mulyani nampaknya harus menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh Agus sendiri. Tentunya harapan yang muncul pasca pengangkatan Agus juga tak kalah besar karena Menkeu baru dipilih berdasarkan kapasitas dan pengalamannya, tidak hanya berasal dari Parpol namun murni dilihat dari profesionalitas.
Tumbuh dalam dunia perbankan, setelah sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri. Agus mempunyai kelebihan yakni memahami betul manajemen risiko yang ada dalam hal pengelolaan keuangan, keberhasilannya di Bank Mandiri tidak bisa dikesampingkan dapat menjadi modal penting untuk membantunya dalam penyusunan kebijakan baik moneter maupun fiskal yang tidak ceroboh sehingga tidak membuat perekonomian menjadi rawan dan terancam krisis. Selain itu, dengan posisinya yang berbeda dari menteri pendahulunya yang berasal dari kalangan akademisi, Agus tentu paham masalah-masalah yang terjadi di lapangan, tidak hanya sekedar mengerti teori. Namun tetap diperlukan pembelajaran yang cepat untuk mengerti struktur makro ekonomi dalam negara karena sebelumnya yang ditangani Agus lebih ke mikro ekonomi.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, tantangan yang harus segera dipecahkan oleh Menkeu Agus dalam penciptaan perekonomian yang sehat bagi Indonesia yang bisa jadi merupakan PR dari Menkeu pendahulunya, dapat dilihat dari beberapa aspek yakni:
a. Menggalakkan tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan
Terlepas dari banyaknya lembaga negara yang ”sudah” berpredikat wajar tanpa pengecualian dalam audit BPK pada tahun 2009, tetap diperlukan pengkokohan dalam sistem tata kelola keuangan negara agar terwujud pembangunan ekonomi yang dapat secara langsung dirasakan oleh rakyat luas, jangan sampai sistem tata kelola keuangan yang telah dibuat sedemikian rupa ”bocor”, menyebabkan pembangunan terbengkalai dan ujung-ujungnya terjadi korupsi. Disini diperlukan peran Menteri Keuangan, sebagai perwakilan untuk dapat menjalin komunikasi dengan BPK dan bila perlu KPK untuk bersama-sama mewujudkan tata kelola keuangan yang sehat dalam lembaga negara. Kemudian menguatkan peran Inspektorat jenderal sebagai pengawas internal dan perlunya upaya peningkatan kualitas SDM pengelola keuangan negara secara lebih signifikan agar dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara ke depan.
b. Meningkatakan penerimaan negara
Bukan rahasia lagi bahwa selama ini Indonesia selalu mengalami defisit anggaran belanja negara. Proyeksi untuk tahun 2011 misalnya, dalam APBN direncanakan Pendapatan Negara dan Hibah sebesar 1.086,7 T dengan belanja negara sebesar 1.204,9 T, sehingga terjadi defisit anggaran sebesar 118 T. Berkiblat pada proyeksi APBN 2011 ini, Menkeu harus ”bisa cari dana sendiri”, dengan kata lain penggunaan hutang sebisa mungkin diminimalkan. Penerimaan negara sektor pajak perlu ditingkatkan dengan segala bentuk penyimpangan / penggelapan / pengemplangan pajak harus ditindak tegas mengingat pajak adalah asupan terbesar sumber APBN. Tata kelola BUMN setidaknya juga perlu dibenahi, jangan sampai BUMN yang merupakan aset terbesar bangsa ini, memunculkan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Penerimaan dari sektor migas dan non migas yang selama ini cenderung merugikan, juga perlu ditinjau kembali.
c. Pengelolaan hutang
Menteri keuangan harus mampu mengupayakan untuk memeperkecil hutang Indonesia namun dengan defisit anggaran yang terjadi, mau tidak mau pemerintah memang perlu mencari pinjaman, disamping meningkatkan pemasukan penerimaan negara. Penambahan jumlah hutang harus diikuti dengan peningkatan PDB sehingga rasio hutang terhadap PDB dapat ditekan. Komposisi hutang pemerintah difokuskan lebih banyak ke utang dalam negeri sehingga relatif lebih aman.
d. Optimalisasi belanja negara
Belanja negara dialokasikan sepenuhnya terhadap program-program yang dianggap paling berpengaruh, sehingga akan mewujudkan pembangunan yang optimal. Tindakan yang tegas dari Menkeu diperlukan untuk menolak anggaran – anggaran dari Kementerian yang tidak sesuai kebutuhan.
e. Dampak krisis utang Eropa
Walaupun banyak pengamat yang beranggapan krisis di yunani tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap perekonomian Indonesia, akan tetapi perlu diingat pada pertengahan Mei di pasar uang, ketidakpastian yang terjadi di eropa membuat rupiah terus tertekan ke level 9300-an akibat kekhawatiran menularnya krisis utang eropa juaga berdampak pada anjloknya IHSG. Belajar dari apa yang terjadi dengan krisis keuangan di Amerika serikat pada 2008, sepatutnya Pemerintah bersama BI berhati-hati, terlebih banyaknya dana asing yang bersifat hot money di indonesia, yang membuat perekonomian indonesia riskan terhadap ketidakpastian.
f. Membuat kebijakkan moneter yang berpihak pada sektor riil
Permasalahan Indonesia dari tahun ke tahun adalah ”Inflasi” akibat dari kegagalan dalam mengelola kebijakan makro dan ketidakberpihakannya kebijakkan moneter terhadap sektor riil. Kenaikkan TDL yang direspon negatif oleh industri, terutama UKM hendaknya menjadi pelajaran untuk mengamankan sektor riil dari guncangan kebijakan pemerintah.
g. Peran aktif dalam bidang global
Melanjutkan peran aktif dalam bidang global seperti di forum G20, APEC, ASEAN, Bank dunia yang telah dilakoni dengan apik oleh Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani.
h. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Pemerintah (Menkeu) harus dapat menjalin komunikasi dengan Bank Indonesia, sehingga pembentukkan UU maupun kelembagaan ojk tidak mematikan BI dalam menentukan sikap atas kebijakan moneter yang diembannya akibat dari ketidaktersediaan akses atas informasi pengawasan bank. Untuk referensi, bahwa Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini, sesuai dengan yamg diamanatkan dalam UU Bank Indonesia no 23/1999 yang telah dirubah menjadi UU No 3/2004. Harus segera dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
i. Perumusan dan Pemberian Tax Holiday
Yakni pembebasan atau pengurangan pembayaran pajak untuk jangka waktu tertentu. Diharapkan dalam pemberian Insentif ini, dapat mendorong investasi dan sebagai langkah pencapaian target penanaman modal sebesar Rp 2000 triliun per tahun. Permasalahan yang perlu di kaji, diantaranya bagaimana pengaruh tax holiday ini terhadap penerimaan pajak? Berapa rentan waktu pemberian insentif ini jika di golkan? Dan didaerah mana tax holiday ini diperlakuakn sehingga diharapkan kebijakan insentif ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sector riil terutama di daerah-derah yang memiliki presentase pertumbuhan ekonomi rendah.
j. Meneguhkan disiplin fiskal
Menkeu baru diharapkan dapat Menjaga penerimaan dan belanja Negara sesuai dengan target, sehingga deficit anggaran dapat ditekan (paling tidak kurang dari 2%), ditambah realisasi belanja APBN yang optimal. Dengan realisasi belanja yang hanya separuh dari anggaran, akan memicu pembangunan yang setengah hati, akibatnya proyek terbengkalai, imbasanya terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi di daerah- daerah.
Semua peluang, tantangan, dan harapan yang ada untuk membuat ekonomi Indonesia tetap stabil kini berada di tangan Agus Martowardojo sebagai Menteri Keuangan. Tidak ada hal yang tidak mungkin, kerja keras dan keikhlasan membangun ekonomi negara semoga membuat Menkeu dimudahkan dalam menjalankan perannya demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Kastrat – Deplu
BEM FE UNS
Pro dan kontra, suatu argumen yang wajar dari masyarakat saat menanggapi pengangkatan Agus Martowardojo sebagai Menkeu baru. Kekhawatiran jika Agus tidak dapat menjalankan fungsi seperti pendahulunya, Sri Mulyani nampaknya harus menjadi tantangan yang harus dipecahkan oleh Agus sendiri. Tentunya harapan yang muncul pasca pengangkatan Agus juga tak kalah besar karena Menkeu baru dipilih berdasarkan kapasitas dan pengalamannya, tidak hanya berasal dari Parpol namun murni dilihat dari profesionalitas.
Tumbuh dalam dunia perbankan, setelah sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri. Agus mempunyai kelebihan yakni memahami betul manajemen risiko yang ada dalam hal pengelolaan keuangan, keberhasilannya di Bank Mandiri tidak bisa dikesampingkan dapat menjadi modal penting untuk membantunya dalam penyusunan kebijakan baik moneter maupun fiskal yang tidak ceroboh sehingga tidak membuat perekonomian menjadi rawan dan terancam krisis. Selain itu, dengan posisinya yang berbeda dari menteri pendahulunya yang berasal dari kalangan akademisi, Agus tentu paham masalah-masalah yang terjadi di lapangan, tidak hanya sekedar mengerti teori. Namun tetap diperlukan pembelajaran yang cepat untuk mengerti struktur makro ekonomi dalam negara karena sebelumnya yang ditangani Agus lebih ke mikro ekonomi.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, tantangan yang harus segera dipecahkan oleh Menkeu Agus dalam penciptaan perekonomian yang sehat bagi Indonesia yang bisa jadi merupakan PR dari Menkeu pendahulunya, dapat dilihat dari beberapa aspek yakni:
a. Menggalakkan tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan
Terlepas dari banyaknya lembaga negara yang ”sudah” berpredikat wajar tanpa pengecualian dalam audit BPK pada tahun 2009, tetap diperlukan pengkokohan dalam sistem tata kelola keuangan negara agar terwujud pembangunan ekonomi yang dapat secara langsung dirasakan oleh rakyat luas, jangan sampai sistem tata kelola keuangan yang telah dibuat sedemikian rupa ”bocor”, menyebabkan pembangunan terbengkalai dan ujung-ujungnya terjadi korupsi. Disini diperlukan peran Menteri Keuangan, sebagai perwakilan untuk dapat menjalin komunikasi dengan BPK dan bila perlu KPK untuk bersama-sama mewujudkan tata kelola keuangan yang sehat dalam lembaga negara. Kemudian menguatkan peran Inspektorat jenderal sebagai pengawas internal dan perlunya upaya peningkatan kualitas SDM pengelola keuangan negara secara lebih signifikan agar dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara ke depan.
b. Meningkatakan penerimaan negara
Bukan rahasia lagi bahwa selama ini Indonesia selalu mengalami defisit anggaran belanja negara. Proyeksi untuk tahun 2011 misalnya, dalam APBN direncanakan Pendapatan Negara dan Hibah sebesar 1.086,7 T dengan belanja negara sebesar 1.204,9 T, sehingga terjadi defisit anggaran sebesar 118 T. Berkiblat pada proyeksi APBN 2011 ini, Menkeu harus ”bisa cari dana sendiri”, dengan kata lain penggunaan hutang sebisa mungkin diminimalkan. Penerimaan negara sektor pajak perlu ditingkatkan dengan segala bentuk penyimpangan / penggelapan / pengemplangan pajak harus ditindak tegas mengingat pajak adalah asupan terbesar sumber APBN. Tata kelola BUMN setidaknya juga perlu dibenahi, jangan sampai BUMN yang merupakan aset terbesar bangsa ini, memunculkan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Penerimaan dari sektor migas dan non migas yang selama ini cenderung merugikan, juga perlu ditinjau kembali.
c. Pengelolaan hutang
Menteri keuangan harus mampu mengupayakan untuk memeperkecil hutang Indonesia namun dengan defisit anggaran yang terjadi, mau tidak mau pemerintah memang perlu mencari pinjaman, disamping meningkatkan pemasukan penerimaan negara. Penambahan jumlah hutang harus diikuti dengan peningkatan PDB sehingga rasio hutang terhadap PDB dapat ditekan. Komposisi hutang pemerintah difokuskan lebih banyak ke utang dalam negeri sehingga relatif lebih aman.
d. Optimalisasi belanja negara
Belanja negara dialokasikan sepenuhnya terhadap program-program yang dianggap paling berpengaruh, sehingga akan mewujudkan pembangunan yang optimal. Tindakan yang tegas dari Menkeu diperlukan untuk menolak anggaran – anggaran dari Kementerian yang tidak sesuai kebutuhan.
e. Dampak krisis utang Eropa
Walaupun banyak pengamat yang beranggapan krisis di yunani tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap perekonomian Indonesia, akan tetapi perlu diingat pada pertengahan Mei di pasar uang, ketidakpastian yang terjadi di eropa membuat rupiah terus tertekan ke level 9300-an akibat kekhawatiran menularnya krisis utang eropa juaga berdampak pada anjloknya IHSG. Belajar dari apa yang terjadi dengan krisis keuangan di Amerika serikat pada 2008, sepatutnya Pemerintah bersama BI berhati-hati, terlebih banyaknya dana asing yang bersifat hot money di indonesia, yang membuat perekonomian indonesia riskan terhadap ketidakpastian.
f. Membuat kebijakkan moneter yang berpihak pada sektor riil
Permasalahan Indonesia dari tahun ke tahun adalah ”Inflasi” akibat dari kegagalan dalam mengelola kebijakan makro dan ketidakberpihakannya kebijakkan moneter terhadap sektor riil. Kenaikkan TDL yang direspon negatif oleh industri, terutama UKM hendaknya menjadi pelajaran untuk mengamankan sektor riil dari guncangan kebijakan pemerintah.
g. Peran aktif dalam bidang global
Melanjutkan peran aktif dalam bidang global seperti di forum G20, APEC, ASEAN, Bank dunia yang telah dilakoni dengan apik oleh Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani.
h. Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan
Pemerintah (Menkeu) harus dapat menjalin komunikasi dengan Bank Indonesia, sehingga pembentukkan UU maupun kelembagaan ojk tidak mematikan BI dalam menentukan sikap atas kebijakan moneter yang diembannya akibat dari ketidaktersediaan akses atas informasi pengawasan bank. Untuk referensi, bahwa Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini, sesuai dengan yamg diamanatkan dalam UU Bank Indonesia no 23/1999 yang telah dirubah menjadi UU No 3/2004. Harus segera dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
i. Perumusan dan Pemberian Tax Holiday
Yakni pembebasan atau pengurangan pembayaran pajak untuk jangka waktu tertentu. Diharapkan dalam pemberian Insentif ini, dapat mendorong investasi dan sebagai langkah pencapaian target penanaman modal sebesar Rp 2000 triliun per tahun. Permasalahan yang perlu di kaji, diantaranya bagaimana pengaruh tax holiday ini terhadap penerimaan pajak? Berapa rentan waktu pemberian insentif ini jika di golkan? Dan didaerah mana tax holiday ini diperlakuakn sehingga diharapkan kebijakan insentif ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sector riil terutama di daerah-derah yang memiliki presentase pertumbuhan ekonomi rendah.
j. Meneguhkan disiplin fiskal
Menkeu baru diharapkan dapat Menjaga penerimaan dan belanja Negara sesuai dengan target, sehingga deficit anggaran dapat ditekan (paling tidak kurang dari 2%), ditambah realisasi belanja APBN yang optimal. Dengan realisasi belanja yang hanya separuh dari anggaran, akan memicu pembangunan yang setengah hati, akibatnya proyek terbengkalai, imbasanya terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi di daerah- daerah.
Semua peluang, tantangan, dan harapan yang ada untuk membuat ekonomi Indonesia tetap stabil kini berada di tangan Agus Martowardojo sebagai Menteri Keuangan. Tidak ada hal yang tidak mungkin, kerja keras dan keikhlasan membangun ekonomi negara semoga membuat Menkeu dimudahkan dalam menjalankan perannya demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Kastrat – Deplu
BEM FE UNS
Sunday, June 27, 2010
Pengaruh Pergantian Menteri Keuangan KIB jilid 2 terhadap Perekonomian Indonesia
Kinerja perekonomian Indonesia cukup meyakinkan, sekalipun masih rentan terhadap krisis keuangan yang kini melanda Eropa. Karena itu, pergantian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang dikenal tanpa kompromi ini sangat mempertaruhkan kinerja perekonomian. Kepergian Sri Mulyani Indrawati sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia di Washington DC, AS, berdampak pada kebijakan pemerintah. Karakter Sri Mulyani yang tidak terlalu kompromistis terhadap keinginan partai politik, karena mengedepankan penyelamatan ekonomi, akan sulit tergantikan.
Kepergian Sri Mulyani tentu saja akan ada(perubahan) sebab karakternya memang tidak ada duanya. Kami menduga siapa pun yang akan menggantikan Sri Mulyani nanti akan lebih kompromistis dengan partai politik.
Kinerja perekonomian Indonesia sejak tahun 2004, sejak Sri Mulyani menjadi menteri keuangan(menkeu), menunjukkan tren membaik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 5,8 - 6 persen dan ditargetkan menjadi 7 - 7,5 persen pada tahun 2014. Peringkat utang Indonesia terus membaik dari B+ menjadi BB pada tahun 2010( Sumber data BI dan BPS ).
Membaiknya peringkat utang ini diwarnai dengan total utang Indonesia yang meningkat menjadi Rp. 1.594,15 triliun. Lepas dari semakin tingginya kepercayaan pihak luar kepada Indonesia, angka utang yang membesar ini memprihatinkan. Namun, dari aspek rasio utang terhadap produk domestik bruto(PDB) terus turun dari 57 persen tahun 2004 menjadi 27 persen tahun 2010. Angka PDB yang naik menjadi Rp 6.253,8 triliun tahun 2010 membuat rasio utang turun.
Oleh karena itu, kepergian Sri Mulyani dan munculnya sosok pengganti yang ”tak pas” bisa menjadi faktor kontraksi bagi kinerja ekonomi ini. Kehilangan figur seperti Sri Mulyani adalah suatu kerugian besar bagi Indonesia mengingat seorang dengan kompetensi dan integritas seperti dialah yang diperlukan Indonesia untuk mengelola perekonomian yang belum benar-benar pulih dari krisis. ”Apalagi kita masih mencermati dampak terpuruknya Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya”
Maka, untuk menjaga perekonomian tetap berjalan sehat, sudah sepatutnya Presiden menunjuk pengganti Sri Mulyani yang memiliki ability yang setara bahkan lebih. Karena posisi menteri keuangan vital di dalam manajemen perekonomian nasional. Dalam kondisi perekonomian dunia seperti sekarang, kita tidak boleh tawar-menawar dengan kepentingan politik. Menteri keuangan yang baru harus benar-benar berasal dari kalangan profesional yang memahami ekonomi makro, mikro, dan keuangan dengan baik karena persoalan keuangan negara bukan persoalan main-main. Lihat saja Amerika dan Eropa hampir runtuh karena diterpa masalah keuangan.
Oleh karena itu diperlukan sosok menteri keuangan yang memilki kemampuan dan pemahaman tentang perekonomian Indonesia. Sosok itu terlihat pada Agus Martowardojo, beliau adalah sosok yang paling tepat untuk mengisi posisi menteri keuangan . Karena memenuhi syarat-syarat, seperti senior, rekam jejak yang baik, pengalaman di birokrasi pemerintahan, jaringan lokal dan internasional yang luas, pendidikan yang baik, disegani mitra lokal dan internasional, diterima pasar dan investor serta profesional dalam arti nonpartisan. Selain itu Agus Martowardojo adalah sosok dengan integritas dan konsistensi dalam menjalankan reformasi birokrasi. Agus juga memiliki sikap tegas dan tidak bisa diintervensi, sehingga tepat menduduki jabatan menteri keuangan.
Dengan latar belakang ahli moneter dan pengalaman di perbankan baik nasional maupun multinasional. Belajar dari pengalamannya sebagai Direktur Utama Bank Mandiri pada tahun 2005 hingga 2010, kinerja yang baik menurunkan kredit macet di bank tersebut hingga mencapai dua persen. Agus Martowardojo mampu melakukan komunikasi yang baik dengan DPR dan berharap komunikasi antara menteri keuangan dan DPR ke depan bisa harmonis dan lebih baik. Komunikasi yang baik dari Agus Martowardojo sudah ditunjukkannya ketika anggota DPR periode 2009-2014 baru sepekan usai dilantik sudah diundang untuk berdialog di kantor Bank Mandiri, Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Agus Mardtowardojo itu tentu dapat menutupi pengaruh dari kepergian Sri Mulyani sebagai menteri keuangan.
Dari analisis kami pengaruh pergantian menteri keuangan terhadap perekonomian dalam jangka pendek dapat dilihat dari pergerakan harga Jakarta Composite Index(Gabungan IHSG, LQ45 dan JII ). Berikut data yang menunjukan dampak pergantian menteri keuangan terhadap perekonomian Indonesia/ respon pasar terhadap pergantian menkeu.
Mundurnya Sri Mulyani dari kursi menteri keuangan mendorong kejatuhan bursa domestik dalam jangka pendek yang berimbas pada perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan JCI yang menunjukan respon pasar dari tanggal 3 - 23 Mei 2010.
Tanggal 3 – 8 Mei 2010, mulai munculnya isu diangkatnya Sri Mulyani sebagai managing director World Bank. Sehingga pasar merespon dan menimbulkan kepanikan yang berdampak pada aksi jual secara masif sehingga harga JCI merosot tajam dari harga 2950-an ke 2750. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga turun tajam menjadi Rp 9.240-Rp 9.250 per dollar AS ke Rp 9.340-Rp 9.350 atau turun 100 poin.
Tanggal 18 - 25 Mei 2010, Sri Mulyani di non aktifkan sebagai menteri keuangan sehingga menimbulkan kepanikan pasar tentang sosok pengganti menteri keuangan. Hal ini juga berdampak pada harga bursa domestic yang turun drastis dari 2800an ke 2500an harga terendah selama beberapa bulan terakhir. Karena aksi jual secara massif(Capital outflow).
Tanggal 29 Mei – 1 Juni 2010, pasar merespon positif kandidat menteri keuangan yang menurut mereka memilki kemampuan yang sama dengan Sri Mulyani, diantara nama itu ialah Agus Mardtowardojo yang terpilih sebagai menteri keuangan sekarang. Sehingga harga bursa saham domestik cenderung naik. Hal ini merepresentasikan figur menteri keuangan baru diterima pasar dan masyarakat. Respon positif karena menteri pengganti Sri Mulyani sesuai ekspektasi.
Hal ini dibuktikan dengan pergerakan indeks dengan koreksi hanya 1%, pasar melihat Agus Martowardodjo yang dipilih presiden pada tanggal 1 Juni tidak kalah kinerjanya dibandingkan Sri Mulyani. Sebaliknya, jika pelemahan indeks justru mencapai 2%, bermakna pasar merespons negatif pengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pergantian menteri keuangan hanya berpengaruh sesaat(jangka pendek) terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan Jakarta Composite Indeks yang relatif stabil setelah tanggal 15 Juni 2010 dan cenderung mengalami kenaikan.
Kinerja perekonomian Indonesia sejak tahun 2004, sejak Sri Mulyani menjadi menteri keuangan(menkeu), menunjukkan tren membaik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 5,8 - 6 persen dan ditargetkan menjadi 7 - 7,5 persen pada tahun 2014. Peringkat utang Indonesia terus membaik dari B+ menjadi BB pada tahun 2010( Sumber data BI dan BPS ).
Membaiknya peringkat utang ini diwarnai dengan total utang Indonesia yang meningkat menjadi Rp. 1.594,15 triliun. Lepas dari semakin tingginya kepercayaan pihak luar kepada Indonesia, angka utang yang membesar ini memprihatinkan. Namun, dari aspek rasio utang terhadap produk domestik bruto(PDB) terus turun dari 57 persen tahun 2004 menjadi 27 persen tahun 2010. Angka PDB yang naik menjadi Rp 6.253,8 triliun tahun 2010 membuat rasio utang turun.
Oleh karena itu, kepergian Sri Mulyani dan munculnya sosok pengganti yang ”tak pas” bisa menjadi faktor kontraksi bagi kinerja ekonomi ini. Kehilangan figur seperti Sri Mulyani adalah suatu kerugian besar bagi Indonesia mengingat seorang dengan kompetensi dan integritas seperti dialah yang diperlukan Indonesia untuk mengelola perekonomian yang belum benar-benar pulih dari krisis. ”Apalagi kita masih mencermati dampak terpuruknya Yunani dan beberapa negara Eropa lainnya”
Maka, untuk menjaga perekonomian tetap berjalan sehat, sudah sepatutnya Presiden menunjuk pengganti Sri Mulyani yang memiliki ability yang setara bahkan lebih. Karena posisi menteri keuangan vital di dalam manajemen perekonomian nasional. Dalam kondisi perekonomian dunia seperti sekarang, kita tidak boleh tawar-menawar dengan kepentingan politik. Menteri keuangan yang baru harus benar-benar berasal dari kalangan profesional yang memahami ekonomi makro, mikro, dan keuangan dengan baik karena persoalan keuangan negara bukan persoalan main-main. Lihat saja Amerika dan Eropa hampir runtuh karena diterpa masalah keuangan.
Oleh karena itu diperlukan sosok menteri keuangan yang memilki kemampuan dan pemahaman tentang perekonomian Indonesia. Sosok itu terlihat pada Agus Martowardojo, beliau adalah sosok yang paling tepat untuk mengisi posisi menteri keuangan . Karena memenuhi syarat-syarat, seperti senior, rekam jejak yang baik, pengalaman di birokrasi pemerintahan, jaringan lokal dan internasional yang luas, pendidikan yang baik, disegani mitra lokal dan internasional, diterima pasar dan investor serta profesional dalam arti nonpartisan. Selain itu Agus Martowardojo adalah sosok dengan integritas dan konsistensi dalam menjalankan reformasi birokrasi. Agus juga memiliki sikap tegas dan tidak bisa diintervensi, sehingga tepat menduduki jabatan menteri keuangan.
Dengan latar belakang ahli moneter dan pengalaman di perbankan baik nasional maupun multinasional. Belajar dari pengalamannya sebagai Direktur Utama Bank Mandiri pada tahun 2005 hingga 2010, kinerja yang baik menurunkan kredit macet di bank tersebut hingga mencapai dua persen. Agus Martowardojo mampu melakukan komunikasi yang baik dengan DPR dan berharap komunikasi antara menteri keuangan dan DPR ke depan bisa harmonis dan lebih baik. Komunikasi yang baik dari Agus Martowardojo sudah ditunjukkannya ketika anggota DPR periode 2009-2014 baru sepekan usai dilantik sudah diundang untuk berdialog di kantor Bank Mandiri, Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Agus Mardtowardojo itu tentu dapat menutupi pengaruh dari kepergian Sri Mulyani sebagai menteri keuangan.
Dari analisis kami pengaruh pergantian menteri keuangan terhadap perekonomian dalam jangka pendek dapat dilihat dari pergerakan harga Jakarta Composite Index(Gabungan IHSG, LQ45 dan JII ). Berikut data yang menunjukan dampak pergantian menteri keuangan terhadap perekonomian Indonesia/ respon pasar terhadap pergantian menkeu.
Mundurnya Sri Mulyani dari kursi menteri keuangan mendorong kejatuhan bursa domestik dalam jangka pendek yang berimbas pada perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan JCI yang menunjukan respon pasar dari tanggal 3 - 23 Mei 2010.
Tanggal 3 – 8 Mei 2010, mulai munculnya isu diangkatnya Sri Mulyani sebagai managing director World Bank. Sehingga pasar merespon dan menimbulkan kepanikan yang berdampak pada aksi jual secara masif sehingga harga JCI merosot tajam dari harga 2950-an ke 2750. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga turun tajam menjadi Rp 9.240-Rp 9.250 per dollar AS ke Rp 9.340-Rp 9.350 atau turun 100 poin.
Tanggal 18 - 25 Mei 2010, Sri Mulyani di non aktifkan sebagai menteri keuangan sehingga menimbulkan kepanikan pasar tentang sosok pengganti menteri keuangan. Hal ini juga berdampak pada harga bursa domestic yang turun drastis dari 2800an ke 2500an harga terendah selama beberapa bulan terakhir. Karena aksi jual secara massif(Capital outflow).
Tanggal 29 Mei – 1 Juni 2010, pasar merespon positif kandidat menteri keuangan yang menurut mereka memilki kemampuan yang sama dengan Sri Mulyani, diantara nama itu ialah Agus Mardtowardojo yang terpilih sebagai menteri keuangan sekarang. Sehingga harga bursa saham domestik cenderung naik. Hal ini merepresentasikan figur menteri keuangan baru diterima pasar dan masyarakat. Respon positif karena menteri pengganti Sri Mulyani sesuai ekspektasi.
Hal ini dibuktikan dengan pergerakan indeks dengan koreksi hanya 1%, pasar melihat Agus Martowardodjo yang dipilih presiden pada tanggal 1 Juni tidak kalah kinerjanya dibandingkan Sri Mulyani. Sebaliknya, jika pelemahan indeks justru mencapai 2%, bermakna pasar merespons negatif pengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pergantian menteri keuangan hanya berpengaruh sesaat(jangka pendek) terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan pergerakan Jakarta Composite Indeks yang relatif stabil setelah tanggal 15 Juni 2010 dan cenderung mengalami kenaikan.
Kementerian Kajian Strategis Nasional
BEM FE Universitas Padjadjaran 2010-2011
BEM FE Universitas Padjadjaran 2010-2011
Saturday, June 5, 2010
Sensus Pendudukan 2010 sebagai Proyeksi Pembangunan Nasional
FMEI adalah Forum Mahasiswa Ekonomi Indonesia, yaitu sebuah aliansi badan eksekutif mahasiswa fakultas ekonomi beberapa universitas yang memiliki tujuan dan kesamaan pandangan. FMEI beranggotakan tujuh universitas di Indonesia, yaitu UGM, UI, UNS, Universitas Padjajaran, Universitas Trisakti, Universitas Brawijaya, dan Universitas Andalas,
Tahun 2010 ini FMEI sepakat melakukan pertemuan fisik pertama tahun ini di UGM. Pertemuan fisik ini dilaksanakan selama dua hari satu malam yaitu pada tanggal 13 – 14 Mei 2010. Peserta FMEI kali ini sangat antusias yang diikuti oleh lima universitas yaitu UGM sebagai tuan rumah dan dihadiri oleh UI, UNS, Universitas Padjajaran, dan Universitas Brawijaya. Universitas Andalas dan Universitas Trisakti berhalangan hadir namun tidak mengendurkan semangat kami untuk bertemu dan membahas tema kajian yang telah disepakati sebelumnya. Pertemuan ini telah disepakati untuk membahas kajian mengenai ”Sensus Penduduk 2010 Sebagai Proyeksi Pembangunan Ekonomi Nasional.”
Kajian FMEI kali ini menghasilkan kesimpulan diskusi sebagai berikut :
‘SENSUS PENDUDUK 2010 SEBAGAI PROYEKSI PEMABANGUNAN EKONOMI NASIONAL’
TOPIK: Efektifitas 5 variabel baru dalam sensus penduduk 2010
1. Kemajuan Bahasa Indonesia
2. Keterangan perumahan
3. Kecacatan
4. Kematian Ibu Hamil
5. Kemampuan Baca tulis
Dari lima variable ini tentu muncul pertanyaan mengapa lima variable ini dimasukkan ke dalam program? Tentu ada alasan memasukkan variable – variable ini. Mungkin pemerintah akan membuat evaluasi, misal dari adanya variable baca tulis pemerintah menjadi tahu standard pendidikan rakyat Indonesia seperti apa. Lalu tentang variable ibu hamil ini akan menjadi data pemerintah tentang tingkat kesehatan di Indonesia. Intinya lima variabel ini untuk menyokong pambangunan ekonomi nasional dari berbagai aspek yang terkandung di lima variabel itu, dengan adanya informnasi baru dari variabel - variable ini dapat digunakan sebagai perbaikan di pemerintahan.
Lima variabel ini ditujukan untuk menyokong pambangunan ekonomi nasional dari berbagai aspek yang terkandung di dalamnya.
Efektifitas 5 variabel baru dalam sensus penduduk 2010
1. Kemampuan bahasa Indonesia
• Digunakan sebagai salah satu indikator kualitas SDM dari masyarakat Indonesia.
• Variable kemampuan berbahasa dapat lebih diperluas lagi dengan peningkatan kemampuan – kemampuan artifisial vokal dan verbal.
2. Keterangan perumahan
• Keterangan perumahan dalam variable ini baik untuk pengambilan kebijjakan di sektor kesehatan masyarakat oleh departemen kesehatan.
• Dapat dijadikan referensi untuk pengambilan kebijakan di sektor perumahan dan kesehatan.
• Indikator kesejahteraan dan kemudahan mengakses informasi.
3. Kecacatan
• Dapat dijadikan referensi untuk pengambilan kebijakan di bidang kesehatan ( untuk memperbaiki ) dan di bidang pendidikan untuk para difabel dan tanggungan mereka.
4. Kematian ibu hamil
• ibu hamil yang meninggal bisa menjadi indikator kesehatan, dan merepresentasikan tingkat kesehatan masyarakat, harapan hidup ibu hamil dan keberlangsungan hidup manusia.
5. Kemampuan baca tulis
• dapat di satukan dengan kemampuan berbahasa Indonesia (point 1)
Faktor – faktor eksternal yang dapat mengagalkan sensus penduduk 2010
¬ Petugas sensus yang masih meragukan.
¬ Kemampuan masyakat yang masih kurang dalam memahami form sensus
¬ Banyaknya daerah yang masih terpencil.
¬ Adanya moral hazard pada petugas sensus terkait insentif.
¬ Bias personal, perbedaan kebudayaan yang memepengaruhi validitas sensus.
¬ Lemahnya Sosial kontrol menyebabkan berkurangnya validitas hasil sensus.
Indikator – indikator Kemiskinan
Terdapat perbedaan indikasi kemiskinan, dan disepakati menggunakan indikator dari BPS.
⎫ World bank Rp 300.000 per bulan ◊ 30% penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan
⎫ BPS Rp 180.000 per bulan ◊ 18 % penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan
Indikator yang ada dalam sensus untuk mengetahui karakter, struktur, dan demografi
penduduk dapat digunakan untuk perumusan kebijakan dalam bidang pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomi. Karena kita telah mengetahui karakter dan struktur penduduk dengan lebih akurat maka kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan dapat dirumuskan dengan lebih tepat juga.
Indikator Kemiskinan dan peran Pemerintah
• Pendidikan
Masalah yang ada dalam pendidikan antara lain :
a. Kualitas :
Hal ini berkaitan dengan kualitas tenaga pendidik dan siswa. Kualitas di daerah satu dan daerah lain jangan ada ketimpangan yang terlalu jauh. Karena itu diperlukan adanya standardisasi kualitas pendidikan di Indonesia baik dari tingkat Dasar, Menengah, dan Tinggi. Pendidikan juga harus mencakup tentang pengembangan ketrampilan seperti LPK (Lembaga Pelatiha Kerja) atau kursus-kursus untuk membekali masyarakat. Intinya sistem pendidikan yang perlu dikembangkan dalam mengentaskan kemiskinan adalah sistem pendidikan bebasis keahlian, yang bisa langsung diaplikasikan didunia kerja dalam rangka menanggulangi kemiskinan.
b. kuantitas
Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana oleh pemerintah. Memang kita ketahui bersama bahwa investasi atau pembangunan dalam bidang pendidikan sangat besar jumlahnya. Melihat kemampuan Negara kita, kita tidak dapat membebankan semuanya ini ke pemerintah baik dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Harus mulai ada pelepasan terhadap pengadaan sarana prasarana ini. Untuk pendidikan tinggi seperti kita tahu sudah banyak yang bisa membiayai pembangunan sarana prasarana mereka sendiri jadi pada level ini pemerintah dapat melepas sedikit demi sedikit demi tercapainya kemerataan dalam pengadaan sarana prasarana pendidikan.
c. sistem pendidikan
Sistem yang dimaksud disini adalah komponen-komponen yang ada dalam dunia pendidikan. Masuk didalamnya kurikulum, remunerasi dan lain sebagainya.
Upaya dari Mahasiswa
• Sosial kontrol
• Kewajiban Intelektual
MASALAH PENDIDIKAN
Hubungan pendidikan dengan income, adalah berbanding lurus. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi income. Tapi itu juga tidak mutlak. Orang dengan berpendidikan tinggi punya kualitas diri yang tinggi. Sekolah yang ada di sekitar ibukota dapat dikatakan tidak layak. Jadi pemerataan menjadi sesuatu yang perlu. SBY konsen bahwa APBN banyak disisihkan untuk pembiayaan pendidikan. Sekitar 20%, dari tunjangan untuk guru, sampai fasilitas pendidikan. Indonesia memiliki wilayah yang luas, pembangunan yang tidak merata juga menjadi masalah. Korupsi ! Korupsi terlalu melekat dan sulit dihilangkan.
SISTEM REGULASI PEMERINTAH
Sebenarnya mengapa Indonesia dikatakan miskin? Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi kekurangan dari sisi sumber daya modal. Jadi mau tidak mau menggunakan investasi asing untuk dapat menjalankan sistem ekonomi. Tetapi ternyata Indonesia tidak dapat menggunakan pinjaman tersebut dengan baik dan benar. Mereka malah memanfaatkan itu untuk hal yang tidak semestinya.
Eg. Brazil. Negara berkembang. Mereka juga menerima pinjaman internasional. Pinjaman itu digunakan untuk menggunakan waduk. Diperkirakaan waduk itu bisa bertahan 30 tahun. Ternyata baru 20 tahun waduk itu jebol. Karena dananya di manfaatkan secara tidak bijak. Seperti konstruksi diperendah. Sehingga pinjaman internasional itu tidak bisa dikembalikan. Malah menumpuk lalu bertambah bunga. Dan akhirnya tidak bisa dikembalikan lagi.
PERUMAHAN
Perumahan termasuk indikator atau tidak tergantung perspektif masing - masing. Rumah juga dapat digolongkan menjadi indikator kemiskinan.
Eg. America. Di sana walau hidup biasa-biasa saja, masih punya rumah yang layak. Padahal jika dibandingkan dengan yang ada di indonesia, rumah seperti itu termasuk rumah mewah.
Perumahan di sana mendapat jaminan dari pemerintah. Sedangkan pemerintah Indonesia seperti menutup mata bagai buah simalakama. Masalah lahan sangat berpengaruh. Indonesia memiliki rakyat dalam jumlah besar. Masalah lahan menjadi hal yang sangat riskan. Banyak rakyat yang ingin punya rumah layak. Idealnya hutan di indonesia bisa diselamatkan, namun karena kurangnya lahan mau tidak mau mereka harus memanfaatkan lahan hutan.
Contoh rusun. Malah dibisniskan. Harusnya rusun itu diperuntukkan untuk siapa, tapi malah ditinggali untuk siapa. Rusun diperuntukkan untuk tunawisma, jadi tergolong untuk orang miskin.
Hasil Kajian Temu Fisik FMEI di Yogyakarta, 13 – 14 Mei 2010
UGM, Unpad, UI, UNS, dan UB
Tahun 2010 ini FMEI sepakat melakukan pertemuan fisik pertama tahun ini di UGM. Pertemuan fisik ini dilaksanakan selama dua hari satu malam yaitu pada tanggal 13 – 14 Mei 2010. Peserta FMEI kali ini sangat antusias yang diikuti oleh lima universitas yaitu UGM sebagai tuan rumah dan dihadiri oleh UI, UNS, Universitas Padjajaran, dan Universitas Brawijaya. Universitas Andalas dan Universitas Trisakti berhalangan hadir namun tidak mengendurkan semangat kami untuk bertemu dan membahas tema kajian yang telah disepakati sebelumnya. Pertemuan ini telah disepakati untuk membahas kajian mengenai ”Sensus Penduduk 2010 Sebagai Proyeksi Pembangunan Ekonomi Nasional.”
Kajian FMEI kali ini menghasilkan kesimpulan diskusi sebagai berikut :
‘SENSUS PENDUDUK 2010 SEBAGAI PROYEKSI PEMABANGUNAN EKONOMI NASIONAL’
TOPIK: Efektifitas 5 variabel baru dalam sensus penduduk 2010
1. Kemajuan Bahasa Indonesia
2. Keterangan perumahan
3. Kecacatan
4. Kematian Ibu Hamil
5. Kemampuan Baca tulis
Dari lima variable ini tentu muncul pertanyaan mengapa lima variable ini dimasukkan ke dalam program? Tentu ada alasan memasukkan variable – variable ini. Mungkin pemerintah akan membuat evaluasi, misal dari adanya variable baca tulis pemerintah menjadi tahu standard pendidikan rakyat Indonesia seperti apa. Lalu tentang variable ibu hamil ini akan menjadi data pemerintah tentang tingkat kesehatan di Indonesia. Intinya lima variabel ini untuk menyokong pambangunan ekonomi nasional dari berbagai aspek yang terkandung di lima variabel itu, dengan adanya informnasi baru dari variabel - variable ini dapat digunakan sebagai perbaikan di pemerintahan.
Lima variabel ini ditujukan untuk menyokong pambangunan ekonomi nasional dari berbagai aspek yang terkandung di dalamnya.
Efektifitas 5 variabel baru dalam sensus penduduk 2010
1. Kemampuan bahasa Indonesia
• Digunakan sebagai salah satu indikator kualitas SDM dari masyarakat Indonesia.
• Variable kemampuan berbahasa dapat lebih diperluas lagi dengan peningkatan kemampuan – kemampuan artifisial vokal dan verbal.
2. Keterangan perumahan
• Keterangan perumahan dalam variable ini baik untuk pengambilan kebijjakan di sektor kesehatan masyarakat oleh departemen kesehatan.
• Dapat dijadikan referensi untuk pengambilan kebijakan di sektor perumahan dan kesehatan.
• Indikator kesejahteraan dan kemudahan mengakses informasi.
3. Kecacatan
• Dapat dijadikan referensi untuk pengambilan kebijakan di bidang kesehatan ( untuk memperbaiki ) dan di bidang pendidikan untuk para difabel dan tanggungan mereka.
4. Kematian ibu hamil
• ibu hamil yang meninggal bisa menjadi indikator kesehatan, dan merepresentasikan tingkat kesehatan masyarakat, harapan hidup ibu hamil dan keberlangsungan hidup manusia.
5. Kemampuan baca tulis
• dapat di satukan dengan kemampuan berbahasa Indonesia (point 1)
Faktor – faktor eksternal yang dapat mengagalkan sensus penduduk 2010
¬ Petugas sensus yang masih meragukan.
¬ Kemampuan masyakat yang masih kurang dalam memahami form sensus
¬ Banyaknya daerah yang masih terpencil.
¬ Adanya moral hazard pada petugas sensus terkait insentif.
¬ Bias personal, perbedaan kebudayaan yang memepengaruhi validitas sensus.
¬ Lemahnya Sosial kontrol menyebabkan berkurangnya validitas hasil sensus.
Indikator – indikator Kemiskinan
Terdapat perbedaan indikasi kemiskinan, dan disepakati menggunakan indikator dari BPS.
⎫ World bank Rp 300.000 per bulan ◊ 30% penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan
⎫ BPS Rp 180.000 per bulan ◊ 18 % penduduk Indonesia dibawah garis kemiskinan
Indikator yang ada dalam sensus untuk mengetahui karakter, struktur, dan demografi
penduduk dapat digunakan untuk perumusan kebijakan dalam bidang pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomi. Karena kita telah mengetahui karakter dan struktur penduduk dengan lebih akurat maka kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan dapat dirumuskan dengan lebih tepat juga.
Indikator Kemiskinan dan peran Pemerintah
• Pendidikan
Masalah yang ada dalam pendidikan antara lain :
a. Kualitas :
Hal ini berkaitan dengan kualitas tenaga pendidik dan siswa. Kualitas di daerah satu dan daerah lain jangan ada ketimpangan yang terlalu jauh. Karena itu diperlukan adanya standardisasi kualitas pendidikan di Indonesia baik dari tingkat Dasar, Menengah, dan Tinggi. Pendidikan juga harus mencakup tentang pengembangan ketrampilan seperti LPK (Lembaga Pelatiha Kerja) atau kursus-kursus untuk membekali masyarakat. Intinya sistem pendidikan yang perlu dikembangkan dalam mengentaskan kemiskinan adalah sistem pendidikan bebasis keahlian, yang bisa langsung diaplikasikan didunia kerja dalam rangka menanggulangi kemiskinan.
b. kuantitas
Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana prasarana oleh pemerintah. Memang kita ketahui bersama bahwa investasi atau pembangunan dalam bidang pendidikan sangat besar jumlahnya. Melihat kemampuan Negara kita, kita tidak dapat membebankan semuanya ini ke pemerintah baik dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Harus mulai ada pelepasan terhadap pengadaan sarana prasarana ini. Untuk pendidikan tinggi seperti kita tahu sudah banyak yang bisa membiayai pembangunan sarana prasarana mereka sendiri jadi pada level ini pemerintah dapat melepas sedikit demi sedikit demi tercapainya kemerataan dalam pengadaan sarana prasarana pendidikan.
c. sistem pendidikan
Sistem yang dimaksud disini adalah komponen-komponen yang ada dalam dunia pendidikan. Masuk didalamnya kurikulum, remunerasi dan lain sebagainya.
Upaya dari Mahasiswa
• Sosial kontrol
• Kewajiban Intelektual
MASALAH PENDIDIKAN
Hubungan pendidikan dengan income, adalah berbanding lurus. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi income. Tapi itu juga tidak mutlak. Orang dengan berpendidikan tinggi punya kualitas diri yang tinggi. Sekolah yang ada di sekitar ibukota dapat dikatakan tidak layak. Jadi pemerataan menjadi sesuatu yang perlu. SBY konsen bahwa APBN banyak disisihkan untuk pembiayaan pendidikan. Sekitar 20%, dari tunjangan untuk guru, sampai fasilitas pendidikan. Indonesia memiliki wilayah yang luas, pembangunan yang tidak merata juga menjadi masalah. Korupsi ! Korupsi terlalu melekat dan sulit dihilangkan.
SISTEM REGULASI PEMERINTAH
Sebenarnya mengapa Indonesia dikatakan miskin? Indonesia memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia, tetapi kekurangan dari sisi sumber daya modal. Jadi mau tidak mau menggunakan investasi asing untuk dapat menjalankan sistem ekonomi. Tetapi ternyata Indonesia tidak dapat menggunakan pinjaman tersebut dengan baik dan benar. Mereka malah memanfaatkan itu untuk hal yang tidak semestinya.
Eg. Brazil. Negara berkembang. Mereka juga menerima pinjaman internasional. Pinjaman itu digunakan untuk menggunakan waduk. Diperkirakaan waduk itu bisa bertahan 30 tahun. Ternyata baru 20 tahun waduk itu jebol. Karena dananya di manfaatkan secara tidak bijak. Seperti konstruksi diperendah. Sehingga pinjaman internasional itu tidak bisa dikembalikan. Malah menumpuk lalu bertambah bunga. Dan akhirnya tidak bisa dikembalikan lagi.
PERUMAHAN
Perumahan termasuk indikator atau tidak tergantung perspektif masing - masing. Rumah juga dapat digolongkan menjadi indikator kemiskinan.
Eg. America. Di sana walau hidup biasa-biasa saja, masih punya rumah yang layak. Padahal jika dibandingkan dengan yang ada di indonesia, rumah seperti itu termasuk rumah mewah.
Perumahan di sana mendapat jaminan dari pemerintah. Sedangkan pemerintah Indonesia seperti menutup mata bagai buah simalakama. Masalah lahan sangat berpengaruh. Indonesia memiliki rakyat dalam jumlah besar. Masalah lahan menjadi hal yang sangat riskan. Banyak rakyat yang ingin punya rumah layak. Idealnya hutan di indonesia bisa diselamatkan, namun karena kurangnya lahan mau tidak mau mereka harus memanfaatkan lahan hutan.
Contoh rusun. Malah dibisniskan. Harusnya rusun itu diperuntukkan untuk siapa, tapi malah ditinggali untuk siapa. Rusun diperuntukkan untuk tunawisma, jadi tergolong untuk orang miskin.
Hasil Kajian Temu Fisik FMEI di Yogyakarta, 13 – 14 Mei 2010
UGM, Unpad, UI, UNS, dan UB
Sunday, May 9, 2010
Sudah Efektifkah Remunerasi
Remunerasi telah dijalankan di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) kementrian keuangan sejak enam tahun silam. Remunerasi telah dijadikan sebagai simbol reformasi birokasi di kementrian tersebut. Remunerasi sendiri berasal dari kata dalam bahasa inggris remuneration yang berarti gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja dan memberikan prestasi yang cermelang. Diharapakan dengan adanya remunerasi dapat mewujudkan sebuah birokrasi yang bersih dari Korupsi,Kolusi dan Nepotisme.
Remunerasi telah ada di masa kepemerintahan presiden Soeharto, yang pada saat itu menteri keuangannya dijabat oleh Ali Wardhana. Kebijakan Ali Wardhana saat itu merupakan pelaksanaan dari Keppres No 15/1971 yang mengatur tentang bagaimana membuat tunjangan bagi pegawai DEPKEU. Bahkan gaji pegawai DEPKEU saat itu dinaikkan sampai sembilan kali lipat.
Pada tangal 6 Agustus 2007, Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR periode 2004-2009, akhirnya menyetujui usulan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengalokasikan dana sebesar Rp 5,46 Triliun yang akan digunakan untuk reformasi birokrasi dalam kementrian keuangan.
Tetapi dalam pelakanaannya banyak sekali masalah yang timbul akibat diterapkannya kebijakan remunerasi di tiga lembaga yaitu Kementrian Keuangan, BPK dan MA. Banyak kalangan yang mempertanyakan tentang keefekifan kebijakan remunerasi ini. Beberapa masalah yang akhirnya timbul mulai membuat banyak dari kalangan masyarakat yang menyangsikan keefekifan kebijakan remunerasi dalam upaya pereformasian birokrasi yang dicanangkan oleh Sri Mulyani.
Beberapa dampak yang ditimbulkan akibat adanya remunerasi ini antara lain :
Dari segi sosial
Akan terjadi Kecemburuan sosial dan juga perlakuan diskriminatif terhadap instansi lain yang tidak memperoleh remunerasi. Dengan adanya selisih yang besar antara gaji pegawai DEPKEU dengan gaji pegawai lain pasti akan menimbulkan gap antar sesama PNS. Dengan adanya kecemburuan ini, bisa saja PNS dari instansi yang tidak memperoleh remunerasi akan menurun kinerjanya. Sebab mereka akan berpikir kalau kerja yang selama ini telah mereka lakukan kurang mendapat apresiasi dari pemerintah, dikarenakan remunerasi hanya diberikan pada lembaga tertentu saja.
Lihat saja pada Departemen keuangan sebagai perintis remunerasi 100% sejak 2007, diluar gaji bulanan PNS pegawai DEPKEU menerima tunjangan antara Rp 1,3 juta hingga Rp 46,9 juta sesuai dengan grade atau tingkatan pegawai terseut. Hal ini jauh apabila dibandingkan dengan UMK pekerja sektor indstri yang hanya memperoleh upah anatara Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta perbulan.
Dari segi ekonomi
Berdasarkan data empiris, realisasi penerimaan pajak tahun 2006 dan 2007 tidak mencapai target. Dalam enam bulan pertama di tahun 2007 realisasi penerimaan pajak hanya mencapai netto Rp 155 triliun dari target Rp 411 triliun yang secara proporsional seharusnya pencapaian target penerimaan pajak semester 1 tahun 2007. Seharusnya penrimaan pajak paling tidak harus menapai 50% dari target awal yang seharusnya dicapai atau sebesar 205,5 triliun. Itu berarti shortfall sekitar Rp 50 triliun dari target awal. Demikian juga dalam APBN Pertambahan TA 2007 yang telah diputuskan dalam rapat kerja Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan tanggal 6 Agustus 2007 penerimaan pajak turun Rp 20,04 triliun.
Dari data diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan tidak bekerja dengan baik. Pemberian remunerasi dari APBN menjadikannya deficit, seperti di tahun 2007 defisit APBN sebesar 1,54% terhadap PBD di tahun 2007.
Dari data diatas tentunya kita berpikir kalau APBN-nya saja sudah defisit bagaimana cara pemerintah untuk memberikan remunerasi kepada pegawai DEPKEU dan juga beberapa lembaga lain yang juga mendapat remunerasi???
Jawabannya mudah ditebak, tentunya dari utang negara. Kita lihat berapa utang Indonesia saat ini. Pada tahun 2004 sebesar Rp 662 triliun, dan tahun 2005 Rp 656 triliun, sedangkan tahun 2006 Rp 748 triliun, tahun 2007 Rp 801 triliun, tahun 2008 Rp 906 triliun dan tahun 2009 Rp 920 triliun (sumber : Direktor Jenderal Penelolaan Utang / www.dmo.or.id//).
Dari data diatas terlihat kalau utang Indonesia dari tahun ketahun rata-rata meningkat. Penurunan hanya terjadi di tahun 2005 sebesar 6 triliun. Sedangkan tahun-tahun berikutnya mengalamai pelonjakan yang sangat besar. Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu, 8 februari 2010, pemerintah memiliki utang US$ 169,13 miliar atau setara dengan Rp 1.589,78 triliun. Utang terdiri dari pinjaman US$ 64,93 miliar dan surat berharga $104,2 miliar.Sedangkan, pada tahun 2010 ini, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 8,270 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. Angka ini terdiri pokok utang US$ 5,754 miliar dan bunga $ 2,517 miliar.Untuk tahun 2011, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 7,474 miliar, yang terdiri pokok utang US$ 5,127 miliar dan bunga US$ 2,347 miliar.
Ironisnya, begitu besar bunga yang harus dibayar oleh pemerintah atas utang Negara tersebut. Salah satu penyebab adanya utang tersebut adalah pemberian remunerasi. Dalam APBN tahun 2010 saja utang Indonesia kepada Bank dunia sebesar Rp 12,9 triliun untuk pembiayaan remunerasi. Hal ini sungguh tragis, hanya untuk memberikan tunjangan kepada para pegawai DEPKEU dan lembaga lain yang memperoleh remunerasi pemerintah harus mengutang uang sebesar Rp 12,9 triliun kepada Bank Dunia. Tentunya utang tidak gratis dan pemerintah harus menanggung bunga atas utang tersebut.
Pemberian remunerasi juga menyebabkan adanya pengurangan dana terhadap pembangunan dan kurangnya timbal balik yang diberikan oleh pemerintah kepada para pembayar pajak. Sebab sumber pemasukan untuk APBN dari sektor pajak sebesar 70%.S ementara 60% lainnya dialokasikan untuk belanja pegawai. Dengan adanya remunerasi ini anggaran Negara untuk pembangunan tentu berkurang banyak.
Melihat realitas ini, sebaiknya perlu dikaji ulang sistem remunerasi di jajaran Kementerian Keuangan. Dan juga perlunya pembenahan internal di kementrian keuangan itu sendiri yang sampai saat ini masih mendapatkan stigma negatif di masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan kenaikan standar gaji PNS di semua departemen sesuai dengan prinsip kelayakan dan kepatutan publik.
Dari segi hukum
Remunerasi sebenarnya sudah melanggar Tata tertib DPR pasal 37 ayat 2 huruf e , f , dan juga g. Pertama,pemberian remunerasi hanya didasarkan pada Keppres no 15/1971 yang berlaku pada masa kepemimpinan presiden soeharto. Sedangkan saat ini Keppres tersebut tidak berlaku lagi. Kedua, usulan untuk pemberian remunerasi DEPKEU RAPBN-P 2007 belum melalui pembahasan di komisi XI. Padahal komisi XI merupakan mitra kerja DEPKEU.
Selain itu pemberian remunerasi juga masih belum tepat apabila dilaksanakan saat ini di Indonesia. Sebab beberapa lembaga yang memperoleh remunerasi belum menunjukkan prestasi kinerja yang baik. Bahkan di DEPKEU yang notabene merupakan salah satu lembaga yang memperoleh remunerasi tidak menunjukkan prestasi kerja yang bagus ,malahan terjadi banyak tindak korupsi dan penyelewangan. Padahal seyogyanya remunerasi diberikan kepada para pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang baik, bukan di berikan kepada mereka yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
Dan pada akhirnya, reformasi birokrasi adalah salah satu solusi mencegah perilaku korupsi. Remunerasi merupakan salah satu aspek/bagian dari reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak boleh hanya fokus pada remunerasi saja karena masih ada aspek lain dari reformasi birokrasi yaitu rekruitmen, sistem kerja, penempatan staf dan monitoring. Reformasi menyangkut semua aspek ini akan cukup efektif mencegah perilaku korupsi. Dalam reformasi birokasi harus diubah pola pikir para Pegawai Negeri Sipil. Kalau mindsetnya belum dibenahi, berapapun kenaikan gaji yang mereka peroleh akan terjadi penyelewengan juga.
By nizar al
(kastrat bem fe ub)
Remunerasi telah ada di masa kepemerintahan presiden Soeharto, yang pada saat itu menteri keuangannya dijabat oleh Ali Wardhana. Kebijakan Ali Wardhana saat itu merupakan pelaksanaan dari Keppres No 15/1971 yang mengatur tentang bagaimana membuat tunjangan bagi pegawai DEPKEU. Bahkan gaji pegawai DEPKEU saat itu dinaikkan sampai sembilan kali lipat.
Pada tangal 6 Agustus 2007, Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR periode 2004-2009, akhirnya menyetujui usulan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengalokasikan dana sebesar Rp 5,46 Triliun yang akan digunakan untuk reformasi birokrasi dalam kementrian keuangan.
Tetapi dalam pelakanaannya banyak sekali masalah yang timbul akibat diterapkannya kebijakan remunerasi di tiga lembaga yaitu Kementrian Keuangan, BPK dan MA. Banyak kalangan yang mempertanyakan tentang keefekifan kebijakan remunerasi ini. Beberapa masalah yang akhirnya timbul mulai membuat banyak dari kalangan masyarakat yang menyangsikan keefekifan kebijakan remunerasi dalam upaya pereformasian birokrasi yang dicanangkan oleh Sri Mulyani.
Beberapa dampak yang ditimbulkan akibat adanya remunerasi ini antara lain :
Dari segi sosial
Akan terjadi Kecemburuan sosial dan juga perlakuan diskriminatif terhadap instansi lain yang tidak memperoleh remunerasi. Dengan adanya selisih yang besar antara gaji pegawai DEPKEU dengan gaji pegawai lain pasti akan menimbulkan gap antar sesama PNS. Dengan adanya kecemburuan ini, bisa saja PNS dari instansi yang tidak memperoleh remunerasi akan menurun kinerjanya. Sebab mereka akan berpikir kalau kerja yang selama ini telah mereka lakukan kurang mendapat apresiasi dari pemerintah, dikarenakan remunerasi hanya diberikan pada lembaga tertentu saja.
Lihat saja pada Departemen keuangan sebagai perintis remunerasi 100% sejak 2007, diluar gaji bulanan PNS pegawai DEPKEU menerima tunjangan antara Rp 1,3 juta hingga Rp 46,9 juta sesuai dengan grade atau tingkatan pegawai terseut. Hal ini jauh apabila dibandingkan dengan UMK pekerja sektor indstri yang hanya memperoleh upah anatara Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta perbulan.
Dari segi ekonomi
Berdasarkan data empiris, realisasi penerimaan pajak tahun 2006 dan 2007 tidak mencapai target. Dalam enam bulan pertama di tahun 2007 realisasi penerimaan pajak hanya mencapai netto Rp 155 triliun dari target Rp 411 triliun yang secara proporsional seharusnya pencapaian target penerimaan pajak semester 1 tahun 2007. Seharusnya penrimaan pajak paling tidak harus menapai 50% dari target awal yang seharusnya dicapai atau sebesar 205,5 triliun. Itu berarti shortfall sekitar Rp 50 triliun dari target awal. Demikian juga dalam APBN Pertambahan TA 2007 yang telah diputuskan dalam rapat kerja Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan tanggal 6 Agustus 2007 penerimaan pajak turun Rp 20,04 triliun.
Dari data diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan tidak bekerja dengan baik. Pemberian remunerasi dari APBN menjadikannya deficit, seperti di tahun 2007 defisit APBN sebesar 1,54% terhadap PBD di tahun 2007.
Dari data diatas tentunya kita berpikir kalau APBN-nya saja sudah defisit bagaimana cara pemerintah untuk memberikan remunerasi kepada pegawai DEPKEU dan juga beberapa lembaga lain yang juga mendapat remunerasi???
Jawabannya mudah ditebak, tentunya dari utang negara. Kita lihat berapa utang Indonesia saat ini. Pada tahun 2004 sebesar Rp 662 triliun, dan tahun 2005 Rp 656 triliun, sedangkan tahun 2006 Rp 748 triliun, tahun 2007 Rp 801 triliun, tahun 2008 Rp 906 triliun dan tahun 2009 Rp 920 triliun (sumber : Direktor Jenderal Penelolaan Utang / www.dmo.or.id//).
Dari data diatas terlihat kalau utang Indonesia dari tahun ketahun rata-rata meningkat. Penurunan hanya terjadi di tahun 2005 sebesar 6 triliun. Sedangkan tahun-tahun berikutnya mengalamai pelonjakan yang sangat besar. Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu, 8 februari 2010, pemerintah memiliki utang US$ 169,13 miliar atau setara dengan Rp 1.589,78 triliun. Utang terdiri dari pinjaman US$ 64,93 miliar dan surat berharga $104,2 miliar.Sedangkan, pada tahun 2010 ini, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 8,270 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. Angka ini terdiri pokok utang US$ 5,754 miliar dan bunga $ 2,517 miliar.Untuk tahun 2011, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 7,474 miliar, yang terdiri pokok utang US$ 5,127 miliar dan bunga US$ 2,347 miliar.
Ironisnya, begitu besar bunga yang harus dibayar oleh pemerintah atas utang Negara tersebut. Salah satu penyebab adanya utang tersebut adalah pemberian remunerasi. Dalam APBN tahun 2010 saja utang Indonesia kepada Bank dunia sebesar Rp 12,9 triliun untuk pembiayaan remunerasi. Hal ini sungguh tragis, hanya untuk memberikan tunjangan kepada para pegawai DEPKEU dan lembaga lain yang memperoleh remunerasi pemerintah harus mengutang uang sebesar Rp 12,9 triliun kepada Bank Dunia. Tentunya utang tidak gratis dan pemerintah harus menanggung bunga atas utang tersebut.
Pemberian remunerasi juga menyebabkan adanya pengurangan dana terhadap pembangunan dan kurangnya timbal balik yang diberikan oleh pemerintah kepada para pembayar pajak. Sebab sumber pemasukan untuk APBN dari sektor pajak sebesar 70%.S ementara 60% lainnya dialokasikan untuk belanja pegawai. Dengan adanya remunerasi ini anggaran Negara untuk pembangunan tentu berkurang banyak.
Melihat realitas ini, sebaiknya perlu dikaji ulang sistem remunerasi di jajaran Kementerian Keuangan. Dan juga perlunya pembenahan internal di kementrian keuangan itu sendiri yang sampai saat ini masih mendapatkan stigma negatif di masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan kenaikan standar gaji PNS di semua departemen sesuai dengan prinsip kelayakan dan kepatutan publik.
Dari segi hukum
Remunerasi sebenarnya sudah melanggar Tata tertib DPR pasal 37 ayat 2 huruf e , f , dan juga g. Pertama,pemberian remunerasi hanya didasarkan pada Keppres no 15/1971 yang berlaku pada masa kepemimpinan presiden soeharto. Sedangkan saat ini Keppres tersebut tidak berlaku lagi. Kedua, usulan untuk pemberian remunerasi DEPKEU RAPBN-P 2007 belum melalui pembahasan di komisi XI. Padahal komisi XI merupakan mitra kerja DEPKEU.
Selain itu pemberian remunerasi juga masih belum tepat apabila dilaksanakan saat ini di Indonesia. Sebab beberapa lembaga yang memperoleh remunerasi belum menunjukkan prestasi kinerja yang baik. Bahkan di DEPKEU yang notabene merupakan salah satu lembaga yang memperoleh remunerasi tidak menunjukkan prestasi kerja yang bagus ,malahan terjadi banyak tindak korupsi dan penyelewangan. Padahal seyogyanya remunerasi diberikan kepada para pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang baik, bukan di berikan kepada mereka yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.
Dan pada akhirnya, reformasi birokrasi adalah salah satu solusi mencegah perilaku korupsi. Remunerasi merupakan salah satu aspek/bagian dari reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak boleh hanya fokus pada remunerasi saja karena masih ada aspek lain dari reformasi birokrasi yaitu rekruitmen, sistem kerja, penempatan staf dan monitoring. Reformasi menyangkut semua aspek ini akan cukup efektif mencegah perilaku korupsi. Dalam reformasi birokasi harus diubah pola pikir para Pegawai Negeri Sipil. Kalau mindsetnya belum dibenahi, berapapun kenaikan gaji yang mereka peroleh akan terjadi penyelewengan juga.
By nizar al
(kastrat bem fe ub)
Saturday, April 10, 2010
Dampak berakhirnya kasus century bagi perekonomian
Kasus century sudah memasuki babak akhir. Hal ini ditandai dengan berakhirnya masa kerja Panitia khusus Hak Angket Bank Century. DPR sudah memutuskan bahwa kasus century memang bermasalah daan akan diselesaikan melalui jalur hukum. Proses penyidikan pun masih berjalan di KPK, Kepolisisan, dan Kejaksaan. Walaupun belum sepenuhnya berakhir tetapi Kasus ini sudah pada proses anti klimaks. Dalam bahsa umum masalah ini sudah bukan hal yang hangat untuk diperbincangkan.Sudah mulai tergeser dengan kasus lain yang lebih fenomenal.
Pada dasarnya kasus century hanyalah kebijakan yang dipolitisasi. Jika kita menilik kebelakang latar belakang di kucurkannya bail out kepada bank century adalah adanya krisis keuangan global yang sedang terjadi. Kondisi bank yang gagal kliring kemudian insolvent dikhawatirkan akan menimbulkan countigian effect bagi sektor keuangan pada khususnya dan perekonomian pada umumnya. Krisis keuangan juga dikhawatirkan akan menyebabkan krisis moneter sebagaimana terjadi pada 1998. Expectation dari pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia ternyat memang benar. Dengan dikucurkannya bail out kondisi perekonomian kembali stabil. Dimana sebelumnya keadaan pasar keuangan sebelumnya berada dalam kondisi genting.Hal ini ditandai dengan turunnya nila IHSG dan turunnya nilai rupiah. Setelah bail out kondisi kembali stabil bahkan mulai menunjukkan perkembangan yang berarti. Perekonomian tetap dapat tumbuh dengan baik.
Beberapa saat setelah itu tindakan pemerintah ini mulai diperkarakan dan dibentuklah Panitia Khusus Hak Angket untuk menyelidiki kasus bail out terhadap bank century. Kasus ini memang menjadi head line selama beberapa bulan. Karena memang diproses secara politik maka hal ini tidak terlalu berdampak besar terhadap perekonomian. Kasus century tidak terlalu banyak mempengaruhi perekonomian. Hal ini ditandai dengan masih stabilnya indokator perekonomian baik mikro maupun makro. IHSG dan nilai rupiah masih stabil. Pengangguran juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Satu-satunya hal yang agak mengejutkan pada bulan-bulan itu hanyalah tingkat inflasi pada bulan januarai yang hampir mencapai 2% tetapi hal itu lebih diarenakan banyaknya gagal panen yang terjadi bukan karena gonjang ganjing kasus century. Beberapa pengamat sempat mengkhawatirkan bahwa kasus century akan mempengaruhi confidence pasar terutama investor asing, tetapi ternyata hal itu tidak terjadi.Pemerintah segera melakukan gerak cepat untuk tetap menjaga confidence investor. Usaha tersebut antara lain adalah dengan pidato menkeu dan wapres di BEI.
Untuk investor asing semua masalah masih under control tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa para investor lokal mulai terpengaruh dengan peberitaan di media tentang kasus century. Apalagi jika mereka melihat gelombang unjuk rasa yang ada di beberapa daerah tentu membuat confidence para investor lokal menurun. Pengaruh yang kecil terhadap perekonomian juga ditandai dengan tetap stabilnya kondisi perbankan disaat terjadi kasus pembobolan ATM. Perbankan masih tetap dalam kondisi baik. Nasabah masih mempunyai kepercayaan yang besar terhadap bank. Kondisi perbankan stabil.
Namun tentu saja kasus ini tetap punya pengaruh terhadap perekonomian. Pengaruhnya antara lain adalah oportunity cost yang harus dikeluarkan untuk kasus ini. Panitia Khusus yang dibentuk DPR juga dibentuk dan beroperasi menggunakan uang negara sehingga tentu saja juga merupakan peborosan terhadap keuangan negara. Cost yang harus dikeluarkan mungkin tidak begitu sepadan dengan benefit yang diperoleh. Political cost di Indonesaia memang masih sangat tinggi sehingga hal ini sebenarnya dapat menghambat juga petumbuhan ekonomi. Jika tidak ada gonajng ganjing kasus ini mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih baik sesuai dengan prediksi beberapa ahli sebelum kasus ini mngemuka.
Oportunity cost dari tidak adanya kasus century belum diketahui.
Confidence perbankan juga masih bagus.
Kastrat BEM FEB UGM
Pada dasarnya kasus century hanyalah kebijakan yang dipolitisasi. Jika kita menilik kebelakang latar belakang di kucurkannya bail out kepada bank century adalah adanya krisis keuangan global yang sedang terjadi. Kondisi bank yang gagal kliring kemudian insolvent dikhawatirkan akan menimbulkan countigian effect bagi sektor keuangan pada khususnya dan perekonomian pada umumnya. Krisis keuangan juga dikhawatirkan akan menyebabkan krisis moneter sebagaimana terjadi pada 1998. Expectation dari pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia ternyat memang benar. Dengan dikucurkannya bail out kondisi perekonomian kembali stabil. Dimana sebelumnya keadaan pasar keuangan sebelumnya berada dalam kondisi genting.Hal ini ditandai dengan turunnya nila IHSG dan turunnya nilai rupiah. Setelah bail out kondisi kembali stabil bahkan mulai menunjukkan perkembangan yang berarti. Perekonomian tetap dapat tumbuh dengan baik.
Beberapa saat setelah itu tindakan pemerintah ini mulai diperkarakan dan dibentuklah Panitia Khusus Hak Angket untuk menyelidiki kasus bail out terhadap bank century. Kasus ini memang menjadi head line selama beberapa bulan. Karena memang diproses secara politik maka hal ini tidak terlalu berdampak besar terhadap perekonomian. Kasus century tidak terlalu banyak mempengaruhi perekonomian. Hal ini ditandai dengan masih stabilnya indokator perekonomian baik mikro maupun makro. IHSG dan nilai rupiah masih stabil. Pengangguran juga tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Satu-satunya hal yang agak mengejutkan pada bulan-bulan itu hanyalah tingkat inflasi pada bulan januarai yang hampir mencapai 2% tetapi hal itu lebih diarenakan banyaknya gagal panen yang terjadi bukan karena gonjang ganjing kasus century. Beberapa pengamat sempat mengkhawatirkan bahwa kasus century akan mempengaruhi confidence pasar terutama investor asing, tetapi ternyata hal itu tidak terjadi.Pemerintah segera melakukan gerak cepat untuk tetap menjaga confidence investor. Usaha tersebut antara lain adalah dengan pidato menkeu dan wapres di BEI.
Untuk investor asing semua masalah masih under control tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa para investor lokal mulai terpengaruh dengan peberitaan di media tentang kasus century. Apalagi jika mereka melihat gelombang unjuk rasa yang ada di beberapa daerah tentu membuat confidence para investor lokal menurun. Pengaruh yang kecil terhadap perekonomian juga ditandai dengan tetap stabilnya kondisi perbankan disaat terjadi kasus pembobolan ATM. Perbankan masih tetap dalam kondisi baik. Nasabah masih mempunyai kepercayaan yang besar terhadap bank. Kondisi perbankan stabil.
Namun tentu saja kasus ini tetap punya pengaruh terhadap perekonomian. Pengaruhnya antara lain adalah oportunity cost yang harus dikeluarkan untuk kasus ini. Panitia Khusus yang dibentuk DPR juga dibentuk dan beroperasi menggunakan uang negara sehingga tentu saja juga merupakan peborosan terhadap keuangan negara. Cost yang harus dikeluarkan mungkin tidak begitu sepadan dengan benefit yang diperoleh. Political cost di Indonesaia memang masih sangat tinggi sehingga hal ini sebenarnya dapat menghambat juga petumbuhan ekonomi. Jika tidak ada gonajng ganjing kasus ini mungkin pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih baik sesuai dengan prediksi beberapa ahli sebelum kasus ini mngemuka.
Oportunity cost dari tidak adanya kasus century belum diketahui.
Confidence perbankan juga masih bagus.
Kastrat BEM FEB UGM
Sunday, March 28, 2010
PILKADA: Mencari Pemimpin dengan Biaya Mahal
Tahun 2009 kemarin Indonesia “punya gawe” dengan menggelar pemilihan legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden yang masing-masing dilaksanakan bulan April dan Juli tahun 2009. Pemilihan Presiden oleh rakyat (yang mempunyai hak pilih) secara langsung ini sudah digelar dua kali di Indonesia. Seolah-olah belum habis euphoria rakyat Indonesia terhadap pesta demokrasi nasional ini, tahun 2010 demokrasi kembali dipestakan oleh setidaknya oleh 246 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Dari tingkat propinsi ada 7 pemilihan, 204 pemilihan di tingkat kabupaten, dan 35 pemilihan di tingkat kotamadya. Jumlah ini merupakan jumlaj terbanyak dalam sejarah demokrasi di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, pilkada adalah wujud demokrasi yang bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Rakyat bisa memilih pemimpinnya secara langsung di balik bilik-bilik suara yang menentukan masa depan negara dan daerah. “Demokrasi” merupakan alasan terbesar penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Adanya kredo “suara rakyat suara Tuhan” menjadi motivasi dalam penyelenggaraan pilkada. Demokrasi, ya satu kata ini menjadikan pilkada seperti kebutuhan mutlak bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Berangkat dari sini, berbagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi seputar pilkada terjadi.
Kata “demokrasi” merupakan judul yang bisa mengcover besarnya anggaran daerah untuk menggelar pemilihan kepala daerah baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Demokrasi menjadi jawaban atas kelayakan jumlah dana yang dihabiskan untuk pilkada. Namun haruskah wujud demokrasi membengkakkan anggaran belanja daerah? Dan haruskah demokrasi ini menghambat pembangunan ekonomi daerah yang kini ditanggung daerah itu sendiri lewat otonomi daerah?
Jika kita tinjau, Pilkada memang benar-benar akan memakan banyak biaya. Mulai dari pemutakhiran data, pencetakan surat suara, kebutuhan logistik, honor penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal dana yang dikeluarkan oleh pemda/pemprov di mayoritas daerah lebih kecil dari yang dianggarkan KPU setempat. Sebagai contoh misalnya Pilkada di kabupaten Indramayu, KPU meminta Rp 27 Miliar untuk penyelenggaraan putaran pertama dan Rp 11 Miliar untuk putaran kedua namun yang dianggarkan oleh pemkab hanya Rp 22,28 Miliar untuk putaran pertama dengan alasan keterbatasan dana. Kasus penolakan pengajuan dana juga terjadi di kota Surabaya, dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada sebesar Rp 66 Miliar ditolak oleh pemkot setempat dan belum ditetapkan jumlah besarannya. Di Kepulauan Riau, dana pilkada pada pos bantuan sebesar Rp27,8 M. Terdiri atas Rp 27 M dana KPU dan dana untuk panwas pilkada sebesar Rp1,7 M. Besaran biaya yang lebih dahsyat lagi terlihat di Pilkada Jatim tahun 2008 silam dimana biaya yang ditelan mendekati angka 1 Triliun Rupiah.
Masalah dana memang merupakan masalah klise yang terjadi di Indonesia. Mungkin solusi terbaik adalah perlu dilakukan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada baik teknis maupun pendanaan. Misalnya dengan mengadakan pilkada secara serentak. Jika pilkada tingkat I dan tingkat II diadakan bersamaan maka akan menekan biaya. Tidak perlu dua kali membayar honor penyelenggara dan tidak perlu dua kali membeli keperluan logistik dan pemutakhiran data. Apalagi tentang pembayaran honor penyelenggara kini menjadi isu nasional di Indonesia disertai dengan sulitnya pencairan dana untuk pilkada. Kesulitan pencairan dana untuk pilkada ini memberikan kesan bahwa penyelenggaraan pilkada terlalu memaksakan. Sulitnya pencairan dana menggambarkan adanya kesulitan keuangan di daerah itu sendiri untuk menyelenggarakan pilkada yang tidak seharusnya terjadi. Belum lagi jika pilkada harus digelar dua putaran, maka dana yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari yang hanya satu putaran. Efisiensi pilkada dengan mengadakan pilkada tingkat I dan II secara serentak bisa dialihkan untuk kepentingan pembangunan yang lain. Memang kendala akan tercipta ketika adanya perbedaan masa jabatan di masing-masing daerah. Dari sinilah kit abutuh adanya perombakan sistem birokrasi. Terdengar cukup memakan biaya memang jika sekilas kita dengar. Namun lebih baik biaya keluar satu kali namun bisa dijadikan penghematan seterusnya daripada kita harus memboroskan anggaran belanja daerah berkali-kali.
Masalah lain jika kita tinjau dari sisi politik dan masyarakat salah satunya adalah ketidaktahuan pemilih pada calon yang dipilih. Tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih golput karena alasan ini. Bahkan ada juga yang asal pilih dalam menyuarakan aspirasinya. Hal ini hanya menyia-nyiakan besaran anggaran yang telah dihabiskan untuk pilkada.
Unsur lain yang menjadi permasalahan dalam pilkada adalah efektivitas kinerja KPUD. Pelaksanaan pilkada akan berhasil jika penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPUD, memiliki kualitas yang baik. KPUD memiliki tugas besar dalam pelaksanaan pilkada. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah mengatur tata cara pelaksanaan pilkada, membentuk organisasi pelaksana dan pengawasan pilkada, merencanakan hingga menganggarkan kegiatan-kegiatan Pilkada, mengadakan dan mendistribusikan logistik, hingga mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan pilkada. Namun dalam prakteknya banyak terjadi penyelewengan yang disebabkan karena KPUD telah menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh dalam artian keputusan KPUD bersifat final dan mengikat. Padahal penghitungan suara kerap kali terjadi penyelewengan. Sedangkan di sisi lain UU no 12/2003 memberikan peluang bagi KPUD untuk melakukan kesewenangan dengan adanya rumusan ketentuan bahwa “Keputusan KPU/KPUD bersifat final dan mengikat”. Maka dari itu seharusnya ada rumusan dan undang-undang lain yang membatasi keputusan KPU dan KPUD agar lembaga tambahan ini tidak menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh.
Masalah lain dalam Pilkada adalah mengenai pelebaran ladang korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti. Pertama, politik uang dengan pola pembagian uang secara langsung yang terjadi pada masa kampanye. Kedua, potensi manipulasi dana kampanye yang disebabkan karena lemahnya aturan yang memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber yang sebenarnya tidak diperbolehkan ke rekening tim sukses pasangan pemenang pilkada. Perlu diketahui bahwa regulasi yang berkaitan dengan pilkada yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemeribtah daerah tidak memberi batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan diperkirakan akan marak pada pilkada nanti seperti yang telah terjadi di pemilu 2009.
Efisiensi kerja yang lainnya adalah seleksi anggota panwaslu dan calon kepala daerah. Selama ini kualifikasi mereka masih longgar. Seharusnya ada kualifikasi mengenai ijazah yang mereka peroleh. Hal ini untuk memotivasi rakyat Indonesia sendiri dalam bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas dari pilkada itu sendiri. Kita perlu mengingat bahwa anggapan kepemimpinan merupakan bawaan sejak lahir sudah hilang oleh jaman. Dengan adanya pengetatan kualifikasi anggota panwaslu dan calon kepala daerah diharapkan kualitas pilkada hingga kualitas kepemimpinan nantinya akan naik.
Maret, 2010.
Kastrat-BEM FE UB.
Tidak dapat dipungkiri, pilkada adalah wujud demokrasi yang bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Rakyat bisa memilih pemimpinnya secara langsung di balik bilik-bilik suara yang menentukan masa depan negara dan daerah. “Demokrasi” merupakan alasan terbesar penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Adanya kredo “suara rakyat suara Tuhan” menjadi motivasi dalam penyelenggaraan pilkada. Demokrasi, ya satu kata ini menjadikan pilkada seperti kebutuhan mutlak bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Berangkat dari sini, berbagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi seputar pilkada terjadi.
Kata “demokrasi” merupakan judul yang bisa mengcover besarnya anggaran daerah untuk menggelar pemilihan kepala daerah baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Demokrasi menjadi jawaban atas kelayakan jumlah dana yang dihabiskan untuk pilkada. Namun haruskah wujud demokrasi membengkakkan anggaran belanja daerah? Dan haruskah demokrasi ini menghambat pembangunan ekonomi daerah yang kini ditanggung daerah itu sendiri lewat otonomi daerah?
Jika kita tinjau, Pilkada memang benar-benar akan memakan banyak biaya. Mulai dari pemutakhiran data, pencetakan surat suara, kebutuhan logistik, honor penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal dana yang dikeluarkan oleh pemda/pemprov di mayoritas daerah lebih kecil dari yang dianggarkan KPU setempat. Sebagai contoh misalnya Pilkada di kabupaten Indramayu, KPU meminta Rp 27 Miliar untuk penyelenggaraan putaran pertama dan Rp 11 Miliar untuk putaran kedua namun yang dianggarkan oleh pemkab hanya Rp 22,28 Miliar untuk putaran pertama dengan alasan keterbatasan dana. Kasus penolakan pengajuan dana juga terjadi di kota Surabaya, dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada sebesar Rp 66 Miliar ditolak oleh pemkot setempat dan belum ditetapkan jumlah besarannya. Di Kepulauan Riau, dana pilkada pada pos bantuan sebesar Rp27,8 M. Terdiri atas Rp 27 M dana KPU dan dana untuk panwas pilkada sebesar Rp1,7 M. Besaran biaya yang lebih dahsyat lagi terlihat di Pilkada Jatim tahun 2008 silam dimana biaya yang ditelan mendekati angka 1 Triliun Rupiah.
Masalah dana memang merupakan masalah klise yang terjadi di Indonesia. Mungkin solusi terbaik adalah perlu dilakukan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada baik teknis maupun pendanaan. Misalnya dengan mengadakan pilkada secara serentak. Jika pilkada tingkat I dan tingkat II diadakan bersamaan maka akan menekan biaya. Tidak perlu dua kali membayar honor penyelenggara dan tidak perlu dua kali membeli keperluan logistik dan pemutakhiran data. Apalagi tentang pembayaran honor penyelenggara kini menjadi isu nasional di Indonesia disertai dengan sulitnya pencairan dana untuk pilkada. Kesulitan pencairan dana untuk pilkada ini memberikan kesan bahwa penyelenggaraan pilkada terlalu memaksakan. Sulitnya pencairan dana menggambarkan adanya kesulitan keuangan di daerah itu sendiri untuk menyelenggarakan pilkada yang tidak seharusnya terjadi. Belum lagi jika pilkada harus digelar dua putaran, maka dana yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari yang hanya satu putaran. Efisiensi pilkada dengan mengadakan pilkada tingkat I dan II secara serentak bisa dialihkan untuk kepentingan pembangunan yang lain. Memang kendala akan tercipta ketika adanya perbedaan masa jabatan di masing-masing daerah. Dari sinilah kit abutuh adanya perombakan sistem birokrasi. Terdengar cukup memakan biaya memang jika sekilas kita dengar. Namun lebih baik biaya keluar satu kali namun bisa dijadikan penghematan seterusnya daripada kita harus memboroskan anggaran belanja daerah berkali-kali.
Masalah lain jika kita tinjau dari sisi politik dan masyarakat salah satunya adalah ketidaktahuan pemilih pada calon yang dipilih. Tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih golput karena alasan ini. Bahkan ada juga yang asal pilih dalam menyuarakan aspirasinya. Hal ini hanya menyia-nyiakan besaran anggaran yang telah dihabiskan untuk pilkada.
Unsur lain yang menjadi permasalahan dalam pilkada adalah efektivitas kinerja KPUD. Pelaksanaan pilkada akan berhasil jika penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPUD, memiliki kualitas yang baik. KPUD memiliki tugas besar dalam pelaksanaan pilkada. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah mengatur tata cara pelaksanaan pilkada, membentuk organisasi pelaksana dan pengawasan pilkada, merencanakan hingga menganggarkan kegiatan-kegiatan Pilkada, mengadakan dan mendistribusikan logistik, hingga mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan pilkada. Namun dalam prakteknya banyak terjadi penyelewengan yang disebabkan karena KPUD telah menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh dalam artian keputusan KPUD bersifat final dan mengikat. Padahal penghitungan suara kerap kali terjadi penyelewengan. Sedangkan di sisi lain UU no 12/2003 memberikan peluang bagi KPUD untuk melakukan kesewenangan dengan adanya rumusan ketentuan bahwa “Keputusan KPU/KPUD bersifat final dan mengikat”. Maka dari itu seharusnya ada rumusan dan undang-undang lain yang membatasi keputusan KPU dan KPUD agar lembaga tambahan ini tidak menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh.
Masalah lain dalam Pilkada adalah mengenai pelebaran ladang korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti. Pertama, politik uang dengan pola pembagian uang secara langsung yang terjadi pada masa kampanye. Kedua, potensi manipulasi dana kampanye yang disebabkan karena lemahnya aturan yang memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber yang sebenarnya tidak diperbolehkan ke rekening tim sukses pasangan pemenang pilkada. Perlu diketahui bahwa regulasi yang berkaitan dengan pilkada yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemeribtah daerah tidak memberi batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan diperkirakan akan marak pada pilkada nanti seperti yang telah terjadi di pemilu 2009.
Efisiensi kerja yang lainnya adalah seleksi anggota panwaslu dan calon kepala daerah. Selama ini kualifikasi mereka masih longgar. Seharusnya ada kualifikasi mengenai ijazah yang mereka peroleh. Hal ini untuk memotivasi rakyat Indonesia sendiri dalam bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas dari pilkada itu sendiri. Kita perlu mengingat bahwa anggapan kepemimpinan merupakan bawaan sejak lahir sudah hilang oleh jaman. Dengan adanya pengetatan kualifikasi anggota panwaslu dan calon kepala daerah diharapkan kualitas pilkada hingga kualitas kepemimpinan nantinya akan naik.
Maret, 2010.
Kastrat-BEM FE UB.
Friday, March 12, 2010
Sistem Demokrasi Berbiaya Mahal
Jika tahun 2008 adalah ajang pencarian sosok gubernur ‘favorit’, tahun 2009 menjadi ajang demokrasi nasional di mana seluruh rakyat Indonesia (yang telah memenuhi syarat) menentukan pemimpinnya di balik bilik suara, maka tahun 2010 ini juga tak kalah panas oleh hawa politik. Hanya saja lingkupnya lebih kecil, yaitu tingkat Dati II ( Daerah Tingkat II ) atau tingkat kabupaten/ kota. Setidaknya ada 244 daerah di seluruh pelosok negeri yang merayakan proses demokrasi secara langsung ini.
Pemilihan Kepala Daerah ( selanjutnya disebut Pilkada ) secara langsung merupakan ekses dari dibukanya keran demokrasi selebar-lebarnya sejak era Reformasi. Masyarakat masing-masing daerah kini dapat menentukan pilihannya sendiri dengan menggunakan hak suara yang mereka miliki. Tentunya mereka harus mengenal visi-misi dan bagaimana sosok calon-calon pemimpin daerah mereka, sebelum benar-benar mencontreng. Inilah salah satu kelebihan dari pilkada secara langsung. Rakyat dapat benar-benar menilai dan memahami calon pemimpinnya. Selain itu, rakyat juga dapat mengetahui program-program yang menyokong kemajuan daerahnya yang dijanjikan oleh calon-calon kepala daerah, dengan begitu masyarakat dapat dengan mudah mongontrol perkembangan raihan-raihan yang telah dikerjakan pemimpinnya. Masyarakat juga dapat mengambil pelajaran dari proses politik yang ada di daerah mereka masing-masing. Hal seperti ini yang sulit ditemui dalam pilkada tertutup yang ditentukan dalam forum DPRD.
Banyak masalah yang terjadi pada penerapan pilkada langsung ini. Dari sisi pemilih misalnya, banyak masyarakat yang tidak masuk DPT, pemutakhiran data pemilih amat buruk, banyak pemilih ganda, pemilih fiktif, dll. Dari sisi lainnya juga terlihat banyak masalah, di antaranya curi start kampanye, money politic, black campaigne, aksi-aksi kekerasan, transparansi keuangan bermasalah, dan terutama yang diindikasikan terjadi di Kota Depok oleh ICW adalah praktik korupsi yang dilakukan KPU. Hal ini membuat kita perlu mempertanyakan proses demokratisasi yang tercipta dari pemilu langsung seperti ini. Perlu dianalisis kembali apakah benefit yang dihasilkan sistem ini sudah lebih besar dari cost yang dikeluarkannya. Karena jika tidak, yang didapat negeri ini hanyalah kerugian, sehingga perlu penataan dan perbaikan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas dari sistem ini agar menghasilkan output yang optimal.
Pilkada langsung tentu memakan jauh lebih besar biaya dibandingkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kota Depok pada tahun 2005 menghabiskan anggaran sebesar Rp 14 milyar untuk pemilihan langsung, sedangkan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, hanya menghabiskan anggaran kurang lebih sebesar Rp. 1 milyar (Pemkot Depok, 2005). Untuk pilkada langsung tahun ini KPU kota Depok mendapat dana Rp 33 milyar dari pemerintah kota depok. Sungguh angka fantastis. Penulis setuju dengan pelaksanaan pemilu secara langsung, tapi menurut penulis angka sebesar itu terlalu besar untuk skala pemilu. Masih banyak sektor-sektor penting lain yang lebih membutuhkan dana itu. Sehingga dibutuhkan suatu metode yang lebih efisien namun tidak mengebiri proses demokratisasi untuk sistem pilkada langsung.
Salah satu solusi yang baik untuk efisiensi anggaran pilkada –seperti yang telah dilakukan beberapa daerah- adalah dengan penggabungan pilkada yang dapat menghemat anggaran hingga 65% pada salah satu daerah di Indonesia.contonya di Sumatra Barat, dengan penggabungan pemilihan gubernur dengan 13 pemilihan bupati/wali kota bisa menghemat 65% dari 196 miliar yang dibutuhkan menjadi Rp59 miliar. "Anggaran bisa dihemat hingga 65% untuk biaya honor, distribusi logistik, dan sosialisasi. Sebenarnya pada 2005, kami juga sudah melakukan penggabungan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/wali kota yang waktu itu dari Rp101 miliar dihemat menjadi Rp23 miliar," kata Ketua KPU Sumbar Marzul Veri. (media indonesia 19/12/2009). Hal yang sama juga perna dilakukan di daerah-daerah lain seperti Kalimantan Tengah yang menggabungkan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota sehingga bisa menghemat anggaran sampai 24 miliar rupiah.
Selain itu, sistem e-voting, terbukti telah menjadi metode pemilihan langsung yang sangat efisien. Di Indonesia, metode ini digunakan pada pemilihan kepala dusun di kabupaten Jembrana beberapa waktu yang lalu. Terbukti e-voting dapat menekan biaya karena tidak memerlukan kertas dan tinta, waktu yang digunakan saat pemilihan hingga penghitungan juga relatif lebih singkat. Anggaran dapat dihemat lebih dari 60 persen. Pemakaian kartu penduduk berbasis chip pun tidak memungkinkan seseorang menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali.
Hal ini membuat penulis merekomendasikan e-voting menjadi metode pemilihan kepala daerah secara langsung. Meskipun secara teknis bukan mencontreng atau mencoblos, tapi yang paling penting secara substansi masyarakat tetap melakukan pemilihan wakilnya secara langsung. Memang belum semua daerah di Indonesia bisa menerapkan sistem ini, tapi kota-kota yang sistem jaringan informasinya sudah baik tentu bisa menerapkannya, termasuk kota Depok. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mensosialisasikan dan mengajarkan metode ini pada masyarakat. Selebihnya penulis yakin metode ini akan memberikan dampak yang sangat positif bagi penerapan pilkada dan pemilu langsung di Indonesia, terutama dari sisi efisiensinya.
Namun dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana nantinya solusi ini bisa diaplikasikan ke semua daerah yang melaksanakan pilkada. Dengan kata lain akan ada efisiensi biaya yang merata di setiap daerah di Indonesia. Hal itu akan menguntungkan daerah tersebut, dan anggaran yang dihemat bisa di salurkan untuk kepentingan yang lain. Karena yang terpenting dalam pemilihan kepala daerah adalah terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan kemeriahan yang berlebihan dalam pelaksanaan pemilihan yang nantinya hanya akan selesai dalam satu kali contrengan.
Departemen Kajian Strategis
BEM FE UI 2010
Pemilihan Kepala Daerah ( selanjutnya disebut Pilkada ) secara langsung merupakan ekses dari dibukanya keran demokrasi selebar-lebarnya sejak era Reformasi. Masyarakat masing-masing daerah kini dapat menentukan pilihannya sendiri dengan menggunakan hak suara yang mereka miliki. Tentunya mereka harus mengenal visi-misi dan bagaimana sosok calon-calon pemimpin daerah mereka, sebelum benar-benar mencontreng. Inilah salah satu kelebihan dari pilkada secara langsung. Rakyat dapat benar-benar menilai dan memahami calon pemimpinnya. Selain itu, rakyat juga dapat mengetahui program-program yang menyokong kemajuan daerahnya yang dijanjikan oleh calon-calon kepala daerah, dengan begitu masyarakat dapat dengan mudah mongontrol perkembangan raihan-raihan yang telah dikerjakan pemimpinnya. Masyarakat juga dapat mengambil pelajaran dari proses politik yang ada di daerah mereka masing-masing. Hal seperti ini yang sulit ditemui dalam pilkada tertutup yang ditentukan dalam forum DPRD.
Banyak masalah yang terjadi pada penerapan pilkada langsung ini. Dari sisi pemilih misalnya, banyak masyarakat yang tidak masuk DPT, pemutakhiran data pemilih amat buruk, banyak pemilih ganda, pemilih fiktif, dll. Dari sisi lainnya juga terlihat banyak masalah, di antaranya curi start kampanye, money politic, black campaigne, aksi-aksi kekerasan, transparansi keuangan bermasalah, dan terutama yang diindikasikan terjadi di Kota Depok oleh ICW adalah praktik korupsi yang dilakukan KPU. Hal ini membuat kita perlu mempertanyakan proses demokratisasi yang tercipta dari pemilu langsung seperti ini. Perlu dianalisis kembali apakah benefit yang dihasilkan sistem ini sudah lebih besar dari cost yang dikeluarkannya. Karena jika tidak, yang didapat negeri ini hanyalah kerugian, sehingga perlu penataan dan perbaikan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas dari sistem ini agar menghasilkan output yang optimal.
Pilkada langsung tentu memakan jauh lebih besar biaya dibandingkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kota Depok pada tahun 2005 menghabiskan anggaran sebesar Rp 14 milyar untuk pemilihan langsung, sedangkan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, hanya menghabiskan anggaran kurang lebih sebesar Rp. 1 milyar (Pemkot Depok, 2005). Untuk pilkada langsung tahun ini KPU kota Depok mendapat dana Rp 33 milyar dari pemerintah kota depok. Sungguh angka fantastis. Penulis setuju dengan pelaksanaan pemilu secara langsung, tapi menurut penulis angka sebesar itu terlalu besar untuk skala pemilu. Masih banyak sektor-sektor penting lain yang lebih membutuhkan dana itu. Sehingga dibutuhkan suatu metode yang lebih efisien namun tidak mengebiri proses demokratisasi untuk sistem pilkada langsung.
Salah satu solusi yang baik untuk efisiensi anggaran pilkada –seperti yang telah dilakukan beberapa daerah- adalah dengan penggabungan pilkada yang dapat menghemat anggaran hingga 65% pada salah satu daerah di Indonesia.contonya di Sumatra Barat, dengan penggabungan pemilihan gubernur dengan 13 pemilihan bupati/wali kota bisa menghemat 65% dari 196 miliar yang dibutuhkan menjadi Rp59 miliar. "Anggaran bisa dihemat hingga 65% untuk biaya honor, distribusi logistik, dan sosialisasi. Sebenarnya pada 2005, kami juga sudah melakukan penggabungan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/wali kota yang waktu itu dari Rp101 miliar dihemat menjadi Rp23 miliar," kata Ketua KPU Sumbar Marzul Veri. (media indonesia 19/12/2009). Hal yang sama juga perna dilakukan di daerah-daerah lain seperti Kalimantan Tengah yang menggabungkan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota sehingga bisa menghemat anggaran sampai 24 miliar rupiah.
Selain itu, sistem e-voting, terbukti telah menjadi metode pemilihan langsung yang sangat efisien. Di Indonesia, metode ini digunakan pada pemilihan kepala dusun di kabupaten Jembrana beberapa waktu yang lalu. Terbukti e-voting dapat menekan biaya karena tidak memerlukan kertas dan tinta, waktu yang digunakan saat pemilihan hingga penghitungan juga relatif lebih singkat. Anggaran dapat dihemat lebih dari 60 persen. Pemakaian kartu penduduk berbasis chip pun tidak memungkinkan seseorang menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali.
Hal ini membuat penulis merekomendasikan e-voting menjadi metode pemilihan kepala daerah secara langsung. Meskipun secara teknis bukan mencontreng atau mencoblos, tapi yang paling penting secara substansi masyarakat tetap melakukan pemilihan wakilnya secara langsung. Memang belum semua daerah di Indonesia bisa menerapkan sistem ini, tapi kota-kota yang sistem jaringan informasinya sudah baik tentu bisa menerapkannya, termasuk kota Depok. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mensosialisasikan dan mengajarkan metode ini pada masyarakat. Selebihnya penulis yakin metode ini akan memberikan dampak yang sangat positif bagi penerapan pilkada dan pemilu langsung di Indonesia, terutama dari sisi efisiensinya.
Namun dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana nantinya solusi ini bisa diaplikasikan ke semua daerah yang melaksanakan pilkada. Dengan kata lain akan ada efisiensi biaya yang merata di setiap daerah di Indonesia. Hal itu akan menguntungkan daerah tersebut, dan anggaran yang dihemat bisa di salurkan untuk kepentingan yang lain. Karena yang terpenting dalam pemilihan kepala daerah adalah terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan kemeriahan yang berlebihan dalam pelaksanaan pemilihan yang nantinya hanya akan selesai dalam satu kali contrengan.
Departemen Kajian Strategis
BEM FE UI 2010
Friday, February 26, 2010
PILKADA = MAHALNYA SEBUAH DEMOKRASI
Pemilihan kepala daerah atau yang lazim kita sebut pilkada kembali menjadi topik perbincangan. Hal ini mulai mengemuka ke permukaan setelah fakta bahwa pilkada memang masih jauh dari efektif dan baik. Bahkan tidak sedikit yang menyebabkan kemunduran dalam pembangunan ekonomi. Demokrasi kembali menjadi alasan utama dalam lambatnya pertumbuhan ekonomi. Demokrasi seakan menjadi alasan pembenar yang dapat mengalahkan segala penyimpangan dan lambatnya pembangunan.
Euphoria reformasi memang masih terasa sampai sekarang. Setelah hampir 12tahun lamanya setelah semangat itu didengungkan semangat itu masih menjiwai setiap langkah kita sebagai sebuah bangsa kedepan. Semangat dari hampir seluruh rakyat Indonesia untuk perubahan yang agaknya bisa menjadi modal yang baik bagi pembangunan. Tetapi dalam perjalanannya proses pembangunan tentu menemui banyak kendala yang tentu saja tidak mudah untuk diselesaikan. Demokrasi diusung untuk menggantikan system lama yang dianggap otoriter. Saat tirani masih menguasai negeri ini demokrasi dianggap sebagai solusi yang tepat untuk semua permasalahan yang ada. Mencontoh dari Negara yang menerapkan demokrasi tidaklah salah saat para pemikir mulai berusaha menerapkannya di Indonesia sebagai solusi dari permasalahan kesejahteraan rakyat. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Wealth of nation yang menjadi tujuan dari penerapan demokrasi agaknya semakin sulit dicapai. Kesejahteraan rakyat tidak seluruhnya berubah menjadi lebih baik seperti yang diharapkan.
Prinsip dasar dari demokrasi adalah adanya check and balance antar lembaga Negara. Dalam menjalankan check and balance kita mengenal praktik share of power untuk meminimalkan terjadinya kekuasaan yang absolut. Salah satu caranya adalah dengan kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah berhak menentukan nasib dari daerahnya sendiri. Pembagian kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif semua didelegasikan kepada daerah. Sistem yang digunakan pun tidak jauh berbeda. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat semua mendapat mandat dari rakyat tetapi pertanggungjawabannya kepada rakyat menjadi pertanyaan baru yang muncul.
Dalam praktiknya banyak daerah yang berubah menjadi lebih baik setelah adanya system ini. Tidak sedikit daerah yang dapat memaksimalkan potensi daerahnya dan akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat. Tetapi tidak sedikit juga yang hanya berujung pada konflik tak berkesudahan. Pemekaran wilayah juga menjadi isu yang mengundang pro kontra. Ujung dari konflik yang terjadi salah satunya memang dengan pemekaran wilayah. Padahal pada kenyataannya pemekaran ini lebih banyak berefek buruk. Daerah yang tertinggal menjadi semakin tertinggal karena SDM yang ada kurang bisa memaksimalkan SDA yang ada.
Hal lain yang menjadi masalah adalah mahalnya demokrasi di Indonesia. Untuk meraih sebuah jabatan politik di Indonesia haruslah mempunyai kemampuan finansial yang cukup. Untuk Seorang bupati di Kabupaten/Kota yang berukuran sedang misalkan yaitu dengan populasi sekitar 300.000 jiwa dana kampanye yang harus dikeluarkan untuk meraih jabatan kepala daerah mencapai kurang lebih 300 juta. selain dana kampanye yang menggunakan uang para calon kepala daerah pemborosan juga terjadi dalam penyenggaraan pilkada. Sebagai contoh di kabupaten sidoarjo jawa timur dana untuk penyelenggaraan pemilihan bupati mencapai angka 24,8 milyar untuk 2 putaran. Belum lagi dana pengawasan yang mencapai angka 4 milyar. Hal ini tentu sangat mahal untuk sebuah demokrasi.
Tetapi pemilihan secara langsung (demokrasi) tak sepenuhnya buruk. Di beberapa daerah banyak juga yang dapat berjalan dengan efektif dan efisien. DKI Jakarta misalnya dimana jabatan politik untuk 5 kabupaten/kota hanya dipegang oleh 102 orang yaitu gubernur, wakil gubernur, dan 100 anggota DPRD. Walikota dipilih oleh gubernur. Secara statistik, 15 juta penduduk Jakarta di kelola oleh 102 pejabat politik. Policy otonomi daerah ditentukan oleh pemerintah provinsi dan dilaksanakan oleh para walikota sehingga program-programnya pun lebih bersinergi dengan baik. Akan kita lihat besok pertarungan antara Bugiakso dan Kabul Mudji Basuki dalam menghadapi kuatnya dukungan untuk Hafidh Asrom dan Umi Muslimatun di Pilkada Sleman, Jogjakarta kelak. Jika 33 provinsi di Indonesia melakukan hal sama seperti DKI Jakarta maka pemerintah dapat menghemat dana kurang lebih 20 trilyun untuk pilkada. Tentu akan lebih hemat jika hanya menyelenggarakan pilkada untuk 33 gubernur daripada untuk 500 bupati/walikota. Jumlah yang tidak sedikit dan harusnya dapat dialihkan ke alokasi yang lain.
Wacana yang muncul menyikapi masalah ini adalah dengan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Hal ini juga ditentang oleh para penggiat demokrasi yang menganggap hal ini bukan merupakan pelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Tentu hal ini masih terus dikaji oleh kementrian dalam negeri. Bagaimanakah cara yang paling efektif dan efisien dalam pemilihan kepala daerah. Apakah pemilihan secara langsung masih relevan dan dapat diaplikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia ataukah harus diganti dengan sistem lain yang lebih efektif dan efisien tanpa mengabaikan proses berdemokrasi di masyarakat?
Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan sosial di masing-masing daerah. Tanpa partisipasi daerah dalam pembangunan maka pertumbuhan ekonomi dan tujuan bangsa indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan segenap bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia tidak akan tercapai.
Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM
Euphoria reformasi memang masih terasa sampai sekarang. Setelah hampir 12tahun lamanya setelah semangat itu didengungkan semangat itu masih menjiwai setiap langkah kita sebagai sebuah bangsa kedepan. Semangat dari hampir seluruh rakyat Indonesia untuk perubahan yang agaknya bisa menjadi modal yang baik bagi pembangunan. Tetapi dalam perjalanannya proses pembangunan tentu menemui banyak kendala yang tentu saja tidak mudah untuk diselesaikan. Demokrasi diusung untuk menggantikan system lama yang dianggap otoriter. Saat tirani masih menguasai negeri ini demokrasi dianggap sebagai solusi yang tepat untuk semua permasalahan yang ada. Mencontoh dari Negara yang menerapkan demokrasi tidaklah salah saat para pemikir mulai berusaha menerapkannya di Indonesia sebagai solusi dari permasalahan kesejahteraan rakyat. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Wealth of nation yang menjadi tujuan dari penerapan demokrasi agaknya semakin sulit dicapai. Kesejahteraan rakyat tidak seluruhnya berubah menjadi lebih baik seperti yang diharapkan.
Prinsip dasar dari demokrasi adalah adanya check and balance antar lembaga Negara. Dalam menjalankan check and balance kita mengenal praktik share of power untuk meminimalkan terjadinya kekuasaan yang absolut. Salah satu caranya adalah dengan kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah berhak menentukan nasib dari daerahnya sendiri. Pembagian kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif semua didelegasikan kepada daerah. Sistem yang digunakan pun tidak jauh berbeda. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat semua mendapat mandat dari rakyat tetapi pertanggungjawabannya kepada rakyat menjadi pertanyaan baru yang muncul.
Dalam praktiknya banyak daerah yang berubah menjadi lebih baik setelah adanya system ini. Tidak sedikit daerah yang dapat memaksimalkan potensi daerahnya dan akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat. Tetapi tidak sedikit juga yang hanya berujung pada konflik tak berkesudahan. Pemekaran wilayah juga menjadi isu yang mengundang pro kontra. Ujung dari konflik yang terjadi salah satunya memang dengan pemekaran wilayah. Padahal pada kenyataannya pemekaran ini lebih banyak berefek buruk. Daerah yang tertinggal menjadi semakin tertinggal karena SDM yang ada kurang bisa memaksimalkan SDA yang ada.
Hal lain yang menjadi masalah adalah mahalnya demokrasi di Indonesia. Untuk meraih sebuah jabatan politik di Indonesia haruslah mempunyai kemampuan finansial yang cukup. Untuk Seorang bupati di Kabupaten/Kota yang berukuran sedang misalkan yaitu dengan populasi sekitar 300.000 jiwa dana kampanye yang harus dikeluarkan untuk meraih jabatan kepala daerah mencapai kurang lebih 300 juta. selain dana kampanye yang menggunakan uang para calon kepala daerah pemborosan juga terjadi dalam penyenggaraan pilkada. Sebagai contoh di kabupaten sidoarjo jawa timur dana untuk penyelenggaraan pemilihan bupati mencapai angka 24,8 milyar untuk 2 putaran. Belum lagi dana pengawasan yang mencapai angka 4 milyar. Hal ini tentu sangat mahal untuk sebuah demokrasi.
Tetapi pemilihan secara langsung (demokrasi) tak sepenuhnya buruk. Di beberapa daerah banyak juga yang dapat berjalan dengan efektif dan efisien. DKI Jakarta misalnya dimana jabatan politik untuk 5 kabupaten/kota hanya dipegang oleh 102 orang yaitu gubernur, wakil gubernur, dan 100 anggota DPRD. Walikota dipilih oleh gubernur. Secara statistik, 15 juta penduduk Jakarta di kelola oleh 102 pejabat politik. Policy otonomi daerah ditentukan oleh pemerintah provinsi dan dilaksanakan oleh para walikota sehingga program-programnya pun lebih bersinergi dengan baik. Akan kita lihat besok pertarungan antara Bugiakso dan Kabul Mudji Basuki dalam menghadapi kuatnya dukungan untuk Hafidh Asrom dan Umi Muslimatun di Pilkada Sleman, Jogjakarta kelak. Jika 33 provinsi di Indonesia melakukan hal sama seperti DKI Jakarta maka pemerintah dapat menghemat dana kurang lebih 20 trilyun untuk pilkada. Tentu akan lebih hemat jika hanya menyelenggarakan pilkada untuk 33 gubernur daripada untuk 500 bupati/walikota. Jumlah yang tidak sedikit dan harusnya dapat dialihkan ke alokasi yang lain.
Wacana yang muncul menyikapi masalah ini adalah dengan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Hal ini juga ditentang oleh para penggiat demokrasi yang menganggap hal ini bukan merupakan pelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Tentu hal ini masih terus dikaji oleh kementrian dalam negeri. Bagaimanakah cara yang paling efektif dan efisien dalam pemilihan kepala daerah. Apakah pemilihan secara langsung masih relevan dan dapat diaplikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia ataukah harus diganti dengan sistem lain yang lebih efektif dan efisien tanpa mengabaikan proses berdemokrasi di masyarakat?
Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan sosial di masing-masing daerah. Tanpa partisipasi daerah dalam pembangunan maka pertumbuhan ekonomi dan tujuan bangsa indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan segenap bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia tidak akan tercapai.
Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM
Thursday, February 11, 2010
Lecutan Perbaikan, Berbenah di Tengah Perlombaan ACFTA
Isu ASEAN-China Free Trade Agreement merupakan isu nan panas akhir-akhir ini. Mulai dari pembicaraan selalu-lalang saja sampai diskursus yang berbau politis, mencoba mencongkel isu ini untuk diangkat ke permukaan. Pemberlakuannya yang dimulai sejak 1 Januari 2010 lalu, yang pada saat itu masih berada dalam masa 100 hari kepemimpinan Presiden SBY-Boediono menjadi satu aspek wacana yang cukup hangat untuk dipolitisir. Beberapa oposan oportunis terhadap pemerintahan incumbent ini mencoba mengkait-kaitkan kegagalan pemerintahan dalam menentukan sikap terhadap isu ACFTA dengan kepentingan mereka sendiri demi kekuasaan pragmatis demi mengharapkan adanya revolusi yang terakselerasi secara signifikan.
Beberapa ahli dan pengamat mulai intensif ambil bagian sejak akhir bulan Desember tahun lalu. Mengingat isu ini yang sungguh strategis karena dianggap mampu mengancam industri lokal yang tak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri.
Sekilas membedah negara China, merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang saat ini berjumlah 1,3 milyar, tentu dapat dibayangkan betapa banyaknya SDM yang dapat digunakan untuk membuat berputarnya roda perekonomian yang ada disana. Negara yang berhaluan komunis ini memang memilki pemerintahan yang cukup cerdik dalam mengelola sumber daya alamnya. Di saat Indonesia dengan bangganya menjual batu bara ke luar negeri, China yang sebenarnya juga memiliki kekayaan alam mineral batu bara malah memilih untuk membeli batu bara Indonesia untuk digunakan sebagai bahan bakar yang murah bagi industri China. Penghematan harta kekayaan yang mereka punya sekarang akan digunakan untuk investasi masa mendatang. Jadi dapat dibayangkan ketika China baru akan mulai untuk mengeksplorasi batu bara mereka, kita sedang kesulitan mencari batu bara karena sebelumnya telah habis diobral. Malah mungkin suatu saat Indonesia yang kaya raya ini akan membeli batu bara ke China karena persediaan batu bara kita yang sedang menipis.
Selama ini pemberitaan media yang berkembang di masyarakat membuat positioning bahwa seakan-akan China adalah aktor utama dalam drama ACFTA ini. Bahwa pelaku perjanjian bebas ini hanyalah Indonesia dan China. Padahal kita hampir lupa bahwa perjanjian ini ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN plus China; meskipun pemberlakuan nol tariff sesuai dengan The Agreement on Trade in Goods (TIG) of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China (keterangan tarif dalam tabel di bawah) yang ditandatangani pada 29 November 2004 di Vientiane-Laos oleh para pejabat tinggi setingkat menteri bidang ekonomi dan perdagangan, membagi para pesertanya dalam dua term: term pertama dengan para anggota ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Filiphina) dan China yang berlaku sejak 2010, dan term kedua dengan para anggota negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) pada 2015.
Sejarah perjanjian ini bermula sejak dilaksanakannya ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 6 November 2001 lalu yang mencetuskan mengenai Kerangka Kerjasama Ekonomi (Framework on Economic Co-operation). Follow up dari bentuk komitmen ini menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara anggota ASEAN-China di Phnom Penh, 4 November 2002. Pertemuan ini menghasilkan bentuk kerjasama untuk membangun ASEAN-China Free Trade Area dalam 10 tahun ke depannya, dimana diharapkan adanya hubungan kerjasama ekonomi yang lebih dekat diantara negara anggota pada abad 21. Dalam perjanjian tersebut jelas disebutkan bahwa persetujuan tersebut bertujuan untuk meminimalisir rintangan dan memperdalam kerjasama ekonomi diantara tiap-tiap anggota, menurunkan biaya, meningkatkan volume perdagangan dan investasi intra-regional serta efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Selama kurang lebih satu tahun berikutnya, perjanjian yang ada dirasa perlu di amandemen untuk menjelaskan implementasi dari ketetapan yang ada. Maka pada 6 Oktober 2003 ditandatangani Protocol To Amend The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People’s Republic Of China di Bali, Indonesia. Pada amandemen perjanjian ini ditetapkan mengenai kondisi dan waktu percepatan tariff reduction serta eliminasi produk-produk yang sebelumnya diatur dalam Early Harvest Programme dari Kerangka Kerjasama yang ada melalui penyesuaian-penyesuaian bilateral ataupun plurilateral yang ditambahkan ke dalam Kerangka Kerjasama.
Selanjutnya pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos, ditandatangani pula Agreement On Trade In Goods Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People’s Republic Of China. Dalam TIG Agreement ini, dijelaskan mengenai aturan pengurangan dan penyisihan tarif yang telah ditentukan bagi ASEAN 6 dan China, seperti yang disebutkan di atas, dimana tahap akhir pengurangan tarif dapat diselesaikan pada 2010. Sementara negara CLMV akan diselesaikan pada 2015. Perjanjian ini juga menetapkan liberalisasi berikutnya dari beberapa produk yang sensitif dari tiap negara serta menghilangkan rintangan non-tarif.
Sebenarnya disadari atau tidak, fenomena merambahnya barang China di Indonesia sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit secara cukup signifikan di pihak Indonesia. Hanya saja pemberitaan serta asumsi beberapa pihak yang resisten terhadap isu liberalisasi memanfaatkan moment ini. Wacana yang diangkat seolah-olah bahwa 1 Januari sebagai batas awal pemberlakuan ACFTA merupakan gerbang neraka bagi industri Indonesia. Malah sebenarnya jika kita perhatikan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Hatta Radjasa, pengurangan tarif import sudah dimulai sejak tahun 1992. Maka sungguh naif rasanya apabila kita mengalienasikan bahwa selama ini kita aman-aman saja karena belum adanya import barang, khususnya China, yang masuk ke Indonesia.
Beberapa pelaku industri menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan agar keluar dari perjanjian yang menurut mereka tidak adil ini. Sedangkan beberapa yang lain merendahkan tensinya dengan mendesak untuk merenegoisasi perjanjian tersebut pada beberapa post tarif strategis yang dianggap belum siap untuk terjun dalam persaingan bebas di pasar global ini. Para pejabat anggota legislatif ternyata memiliki respon yang sama terhadap kebijakan perdagangan ini. Beberapa fraksi di DPR turut mendesak Menteri Perdagangan untuk meninjau ulang keikutsertaan Indonesia dalam kancah regional perdagangan bebas ini. Namun sampai tulisan ini dibuat, belum ada kabar yang menuliskan tentang tanggapan positif akan desakan itu.
Kebijakan tarif tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini. Banyak hal yang seharusnya mampu kita lakukan sebagai solusinya. Sebagai tindakan preventif Pemerintah sebaiknya terus memperkuat industri yang memilki kekuatan dan competitive advantage lebih besar untuk berjuang di pasar bebas. Namun semuanya belumlah terlambat. Waktu yang kita punya sebelum benar-benar semua parties ikut dalam perlombaan ini di 2015 marilah dimanfaatkan untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada. Keluar dari ACFTA bukanlah alternatif yang tepat karena hanya akan membuat negara kita akan terus lari dari masalah. Tak ada lecutan bagi industri lokal untuk memperbaiki kualitas barang sendiri agar mampu bersaing dengan produk luar negeri. Perbaikan serta penyerapan anggaran infrastruktur dan suprastruktur di segala bidang yang menunjang peningkatan kualitas perdagangan nasional tentu menjadi kewajiban yang tidak bsa ditawar-tawar lagi. Dan hal paling riil yang bisa kita lakukan adalah terus sokong produsi dalam negeri dengan meningkatkan konsumsi terhadap produk asli nasional dan mengurangi jatah produk luar negeri.
Peluit perlombaan sudah ditiup, genderang perang telah dibunyikan. Namun garis finish masih jauh. Keputusan ada di tangan kita, tetap tertinggal atau berani melecut diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan.
Dept Kajian Strategis
BEM FEUI 2010
Beberapa ahli dan pengamat mulai intensif ambil bagian sejak akhir bulan Desember tahun lalu. Mengingat isu ini yang sungguh strategis karena dianggap mampu mengancam industri lokal yang tak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri.
Sekilas membedah negara China, merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang saat ini berjumlah 1,3 milyar, tentu dapat dibayangkan betapa banyaknya SDM yang dapat digunakan untuk membuat berputarnya roda perekonomian yang ada disana. Negara yang berhaluan komunis ini memang memilki pemerintahan yang cukup cerdik dalam mengelola sumber daya alamnya. Di saat Indonesia dengan bangganya menjual batu bara ke luar negeri, China yang sebenarnya juga memiliki kekayaan alam mineral batu bara malah memilih untuk membeli batu bara Indonesia untuk digunakan sebagai bahan bakar yang murah bagi industri China. Penghematan harta kekayaan yang mereka punya sekarang akan digunakan untuk investasi masa mendatang. Jadi dapat dibayangkan ketika China baru akan mulai untuk mengeksplorasi batu bara mereka, kita sedang kesulitan mencari batu bara karena sebelumnya telah habis diobral. Malah mungkin suatu saat Indonesia yang kaya raya ini akan membeli batu bara ke China karena persediaan batu bara kita yang sedang menipis.
Selama ini pemberitaan media yang berkembang di masyarakat membuat positioning bahwa seakan-akan China adalah aktor utama dalam drama ACFTA ini. Bahwa pelaku perjanjian bebas ini hanyalah Indonesia dan China. Padahal kita hampir lupa bahwa perjanjian ini ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN plus China; meskipun pemberlakuan nol tariff sesuai dengan The Agreement on Trade in Goods (TIG) of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China (keterangan tarif dalam tabel di bawah) yang ditandatangani pada 29 November 2004 di Vientiane-Laos oleh para pejabat tinggi setingkat menteri bidang ekonomi dan perdagangan, membagi para pesertanya dalam dua term: term pertama dengan para anggota ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Filiphina) dan China yang berlaku sejak 2010, dan term kedua dengan para anggota negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) pada 2015.
Sejarah perjanjian ini bermula sejak dilaksanakannya ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 6 November 2001 lalu yang mencetuskan mengenai Kerangka Kerjasama Ekonomi (Framework on Economic Co-operation). Follow up dari bentuk komitmen ini menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara anggota ASEAN-China di Phnom Penh, 4 November 2002. Pertemuan ini menghasilkan bentuk kerjasama untuk membangun ASEAN-China Free Trade Area dalam 10 tahun ke depannya, dimana diharapkan adanya hubungan kerjasama ekonomi yang lebih dekat diantara negara anggota pada abad 21. Dalam perjanjian tersebut jelas disebutkan bahwa persetujuan tersebut bertujuan untuk meminimalisir rintangan dan memperdalam kerjasama ekonomi diantara tiap-tiap anggota, menurunkan biaya, meningkatkan volume perdagangan dan investasi intra-regional serta efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Selama kurang lebih satu tahun berikutnya, perjanjian yang ada dirasa perlu di amandemen untuk menjelaskan implementasi dari ketetapan yang ada. Maka pada 6 Oktober 2003 ditandatangani Protocol To Amend The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People’s Republic Of China di Bali, Indonesia. Pada amandemen perjanjian ini ditetapkan mengenai kondisi dan waktu percepatan tariff reduction serta eliminasi produk-produk yang sebelumnya diatur dalam Early Harvest Programme dari Kerangka Kerjasama yang ada melalui penyesuaian-penyesuaian bilateral ataupun plurilateral yang ditambahkan ke dalam Kerangka Kerjasama.
Selanjutnya pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos, ditandatangani pula Agreement On Trade In Goods Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People’s Republic Of China. Dalam TIG Agreement ini, dijelaskan mengenai aturan pengurangan dan penyisihan tarif yang telah ditentukan bagi ASEAN 6 dan China, seperti yang disebutkan di atas, dimana tahap akhir pengurangan tarif dapat diselesaikan pada 2010. Sementara negara CLMV akan diselesaikan pada 2015. Perjanjian ini juga menetapkan liberalisasi berikutnya dari beberapa produk yang sensitif dari tiap negara serta menghilangkan rintangan non-tarif.
Sebenarnya disadari atau tidak, fenomena merambahnya barang China di Indonesia sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit secara cukup signifikan di pihak Indonesia. Hanya saja pemberitaan serta asumsi beberapa pihak yang resisten terhadap isu liberalisasi memanfaatkan moment ini. Wacana yang diangkat seolah-olah bahwa 1 Januari sebagai batas awal pemberlakuan ACFTA merupakan gerbang neraka bagi industri Indonesia. Malah sebenarnya jika kita perhatikan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Hatta Radjasa, pengurangan tarif import sudah dimulai sejak tahun 1992. Maka sungguh naif rasanya apabila kita mengalienasikan bahwa selama ini kita aman-aman saja karena belum adanya import barang, khususnya China, yang masuk ke Indonesia.
Beberapa pelaku industri menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan agar keluar dari perjanjian yang menurut mereka tidak adil ini. Sedangkan beberapa yang lain merendahkan tensinya dengan mendesak untuk merenegoisasi perjanjian tersebut pada beberapa post tarif strategis yang dianggap belum siap untuk terjun dalam persaingan bebas di pasar global ini. Para pejabat anggota legislatif ternyata memiliki respon yang sama terhadap kebijakan perdagangan ini. Beberapa fraksi di DPR turut mendesak Menteri Perdagangan untuk meninjau ulang keikutsertaan Indonesia dalam kancah regional perdagangan bebas ini. Namun sampai tulisan ini dibuat, belum ada kabar yang menuliskan tentang tanggapan positif akan desakan itu.
Kebijakan tarif tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini. Banyak hal yang seharusnya mampu kita lakukan sebagai solusinya. Sebagai tindakan preventif Pemerintah sebaiknya terus memperkuat industri yang memilki kekuatan dan competitive advantage lebih besar untuk berjuang di pasar bebas. Namun semuanya belumlah terlambat. Waktu yang kita punya sebelum benar-benar semua parties ikut dalam perlombaan ini di 2015 marilah dimanfaatkan untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada. Keluar dari ACFTA bukanlah alternatif yang tepat karena hanya akan membuat negara kita akan terus lari dari masalah. Tak ada lecutan bagi industri lokal untuk memperbaiki kualitas barang sendiri agar mampu bersaing dengan produk luar negeri. Perbaikan serta penyerapan anggaran infrastruktur dan suprastruktur di segala bidang yang menunjang peningkatan kualitas perdagangan nasional tentu menjadi kewajiban yang tidak bsa ditawar-tawar lagi. Dan hal paling riil yang bisa kita lakukan adalah terus sokong produsi dalam negeri dengan meningkatkan konsumsi terhadap produk asli nasional dan mengurangi jatah produk luar negeri.
Peluit perlombaan sudah ditiup, genderang perang telah dibunyikan. Namun garis finish masih jauh. Keputusan ada di tangan kita, tetap tertinggal atau berani melecut diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan.
Dept Kajian Strategis
BEM FEUI 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)