Pengaruh perubahan iklim serta cuaca ekstrim yang terjadi akhir-akhir ini telah mengancam ketersediaan pangan dunia, termasuk di Indonesia. Badan Internasional bidang pangan dan pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) dalam setiap konferensinya telah mengingatkan negara-negara dunia akan ancaman kelangkaan pangan tersebut. La Nina, siklus cuaca basah ekstrim diwilayah asia dan pasifik disebut sebagai penyebab kacaunya cuaca saat ini, selain karena dampak dari perubahan iklim global yang semakin nyata . Namun, setelah lewat dari siklus cuaca ekstrim si “anak gadis” tersebut, akankah ancaman krisis pangan dunia, khususnya di Indonesia telah selesai? Dan apakah penyebab masalah krisis pangan hanya dipicu oleh pengaruh perubahan iklim dan kondisi cuaca yang ekstrim?
Ketersediaan dan Ketahanan pangan, Sesuatu Yang Terlewatkan
Ketersediaan pangan bagi kelangsungan hidup manusia adalah suatu hal yang fundamental. Ditengah perkembangan berbagai aspek peradaban manusia, seolah terlewatkan bahwa hal asasi dalam kehidupan ini telah jauh tertinggal dan kurang mendapat perhatian. Ancaman terjadinya krisis pangan, sebagai konsekuensinya sudah semakin nyata.Konflik yang melanda beberapa Negara diwiliyah Afrika misalnya, baik itu penyebab maupun akibatnya telah berdampak langsung terhadap ketersediaan pangan bagi penduduk setempat. Kelaparan yang terus mendera sebagian wilayah benua hitam tersebut telah memicu kematian ribuan jiwa setiap tahunnya. Kelangkaan pangan dunia juga berdampak pada meningkatnya inflasi pada Negara China, Vietnam, dan beberapa Negara Eropa. secara rill, kelangkaan komoditi pangan dunia mencapai 75 persen sejak tahun 20051.
Di Indonesia, indikator kelangkaan pangan kita dapat dilihat dari meningkatnya nilai impor bahan makanan kebutuhan pokok, bahkan hingga mencapai 60% dari konsumsi pangan kita2. Bahan Pangan seperti kedelai, daging, dan susu masih terus mengandalkan stok impor bagi pasar domestik. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi dan tak terjangkau oleh masyarakat kalangan bawah.
Lebih penting dari sekedar angka-angka impor diatas, setiap hari kita bisa melihat fakta kasus busung lapar dan kekurangan gizi anak-anak generasi penerus negeri, yang juga mencerminkan kelangkaan pangan di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dalam berita di media cetak dan televisi, atau fenomena yang paling dekat, kondisi para anak peminta-minta di simpang jalan. Dengan rambut tipis dan lusuh serta kulit yang kusam, bukan hanya karena sengatan perih matahari atau sudah tak mandi berhari-hari, namun juga karena kekurangan gizi dan zat-zat pertumbuhan lainnya. Dalam keseharian, sebagai mahasiswa, kita pun ikut merasakan harga-harga makanan di kantin fakultas maupun di warteg yang juga naik.
Lebih Mengancam dari Cuaca Ekstrim
Perkembangan teknologi yang telah banyak menghasilkan kemajuan pada bidang komunikasi dan informasi, industri transportasi, serta bidang pertahanan keamanan seolah luput menyentuh lebih dalam pada sektor pangan. Terbukti, kemajuan dan perkembangan pangan dunia dari sisi industri masih belum maksimal. Tak dapat dipungkiri bahwa teknologi sudah dikembangkan dan diaplikasikan dalam sektor pertanian dan perkebunan dengan menghasilkan tanaman bibit unggul, teknik pertanian baru, dan alat-alat pertanian canggih. Industri hasil pangan juga ditunjang dengan hadirnya pabrik-pabrik pengolahan modern. Namun, perkembangannya masih dibawah ketiga sektor diatas.
Sumber daya produksi, berupa tenaga kerja dan ketersediaan lahan subur yang luas pun semakin berkurang. Pembukaan hutan alam sebagai resapan air hujan dan sumber mata air berdampak pada ketersediaan air irigasi bagi pertanian dan perkebunan di Indonesia. Kenyataan menarik lainnya adalah lahan subur negeri ini kini semakin banyak ditanami komoditas baru berupa semen dan bata dari pabrik-pabrik, gedung, dan perumahan. Sektor pertanian di tanah Jawa, yang notabenenya lebih subur dan sangat cocok untuk pertanian, harus berebut lahan dengan wilayah industri terpadu tempat jejeran pabrik yang kokoh berdiri ditengah hamparan sawah. Lokasi perumahan mewah masuk ke daerah pelosok karena jenuh dengan keriuhan dan kesibukan kota, mengalihkan fungsi lahan bercocok tanam petani desa. Data dari Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Ahmad Suryana menyebutka bahwa laju konversi lahan periode 1981-1999 rata-rata 88.500 hektare/ tahun, sedangkan untuk periode 1999-2002 rata-rata 141.286 hektare / tahun.. Periode 1981-2002 sawah beririgasi yang beralih fungsi mencapai 653.562 ha, sedangkan yang dicetak hanya 316.254 ha, sehingga ada selisih 335.308 ha.3
Di pulau lain, Sulawesi dan Sumatera misalnya, lahan perkebunan untuk berbagai macam bahan pangan seperti kakao, jagung, dan lada dikonversi menjadi perkebunan tanaman pangan industri, perkebunan kelapa sawit. Harga komoditas ini memang sedang naik dipasar komoditas dunia, hingga menarik minat para investor luar dan dalam negeri membuka perkebunan kelapa sawit swasta hingga puluhan bahkan ratusan hektar. Dampak buruk jika praktik ini tidak diatur dan dibatasi adalah selain mengurangi lahan perkebunan bagi tanaman pangan jenis lain, tanah bekas perkebunan yang telah ditanami sawit selama 25-30 tahun tersebut akan kehilangan banyak unsur hara dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan kesuburannya. Selama proses regenerasi alamiah tersebut, produktivitas lahan tentunya akan berkurang.
Masalah-masalah diatas merupakan faktor utama yang mengancam ketersediaan pangan kita dalam jangka panjang. Siklus iklim dan anomali cuaca juga berpengaruh, namun dalam jangka waktu yang relatif pendek, dan seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya jika ada langkah konkret yang dapat mengatasi masalah struktural diatas.
Aplikasi Teknologi dan Sokongan Kebijakan Agraria sebagai jawabannya
Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris ―ataukah negara maritim?― sudah selayaknya menempatkan perhatian lebih bagi masalah-masalah ini. Ketahanan pangan nasional, baik dari sisi pertanian, perkebunan, peternakan dan hasil laut serta industri pengolahannya haruslah didukung dengan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih mutakhir, sehingga dapat meningkatkan efesiensi dan produktifitas sektor pangan. Pengaturan ketat akan penggunaan lahan dan tata kelolanya serta pengendalian alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan yang masih produktif harus segera diberlakukan untuk menghindari dampak krisis pangan lebih lanjut. Adalah ironi, jika rakyat dari bangsa yang dulu jadi rebutan penjajah karena kekayaan alam dan kesuburan tanahnya harus menderita ditengah mahalnya harga kebutuhan pokok akibat kelangkaan pangan. Ketersediaan pangan yang merata bagi lebih dari 230 juta penduduk Indonesia adalah hal mutlak bagi kemajuan bangsa ini kedepan. Bukan tidak mungkin, ketahanan pangan dalam negeri justru akan memberikan peluang bisnis yang menjanjikan bagi kita untuk menjadi negara industri pangan pemasok kebutuhan dunia ditengah ancaman krisis pangan dimasa mendatang.
Usaha untuk meningkatkan pembangunan sektor industri dan mengukuhkan diri sebagai negara industri tidak boleh melupakan takdir kita sebagai negara agraris dan maritim yang telah dikaruniakan tanah subur dan lautan yang luas. Kelalaian dalam mengelola potensi tersebut mungkin saja termasuk dalam sikap tidak bersyukur akan nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, sehingga menimbulkan murka. Semoga saja banyaknya bencana yang datang menghampiri, baik itu bencana alam maupun bencana kemanusiaan seperti kelaparan dan gizi buruk bukan karena adanya kesalahan dalam mengurusi negeri yang berupaya melawan kodratnya.
Rudy Y.H.
Staf Kastrat BEM FEB UGM
Daftar Pustaka
1 Rusman, Erna Zetha, Laporan Ekonomi Bulanan Jan. 2008, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
2 Natsir Mansyur, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) dalam wawancara bersama detik Finance, 21 September 2010
3 http://www.suarapembaruan.com/News/2006/11/27/index.html Bahaya Alih Fungsi Lahan Persawahan
No comments:
Post a Comment