Indonesia perlu bekerja keras untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 7 persen pada 2014. Direktur Economist Corporate Network Ross O'Brien menyatakan, target ini bisa dicapai apabila Pemerintah Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi di bidang perbaikan institusi dan lingkungan hukum guna menggalakkan investasi di sektor infrastruktur publik.
Korupsi berkaitan erat dengan investasi publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pejabat-pejabat strategis di Indonesia sering korupsi dengan jalan penggelembungan dana proyek-proyek yang menyangkut masyarakat luas. Bisa saja, sekilas kelihatannya alokasi dana untuk pendidikan meningkat tajam, tetapi kualitas dari dana itu justru menurun tajam. Anggaran pendidikan keseluruhan dalam anggaran pendapatan belanja negara 2010 mengalami lonjakan signifikan sebesar Rp11,9 triliun menjadi Rp221,4 triliun, dari sebelumnya Rp209,5 triliun di tahun 2009. Hal yang menarik adalah justru pada tahun ini anggaran pendidikan di RAPBN 2011 mengalami penurunan secara nominal rupiah dibandingkan APBN 2010 lalu. Alasannya adalah ada perubahan mekanisme penyaluran dana yang asalnya menggunakan sistem sentralisasi di kemendiknas menjadi langsung ke daerah-daerah. Menurut saya informasi ini secara tidak langsung mengatakan bahwa sistem yang dulu dipakai tidak efisien atau mungkin sarat akan korupsi. Ini menunjukkan bahwa besarnya kenaikan dana investasi dari pemerintah tidak berbanding lurus dengan kenaikan dampak positif dari dana tersebut, dikarenakan korupsi.
Kasus lainnya, selama 2008 lalu, persekongkolan pemenangan tender pemerintah menjadi satu-satunya kasus terbesar yang masuk dalam laporan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Perwakilan Surabaya. Dari 17 kasus yang masuk dalam laporan, 80% diantaranya adalah persekongkolan tender pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa serta pembangunan proyek infrastruktur. Sisanya, 10% tentang monopali pasar dan 10% lainnya tentang diskriminasi konsumen. Hal ini kembali menegaskan jika korupsi sudah sangat mengakar di birokrasi pemerintahan kita.
Hal berikutnya yang akan muncul setelah “macetnya investasi pemerintah” adalah rendahnya penerimaan negara. Karena macetnya investasi-investasi tersebut mengakibatnya hal-hal yang memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia juga terhambat. Seperti dalam kasus pendidikan tadi, sumber daya manusia yang harusnya menjadi berkualitas tinggi akan tidak sesuai ekspetasi awal. Bisa saja kualitasnya lambat naiknya atau bahkan turun. Dalam kasus tender infrastruktur jalan, distribusi bahan baku ke pabrik lalu selanjutnya ke konsumen pun akan terhambat karena hal yang terkesan sepele, jalanan rusak. Permasalahan-permasalahan kecil (mikro) ini akhirnya akan menjadi permasalah negara juga (makro).
Efek ketiga yang akan muncul adalah rendahnya daya beli pemerintah dalam membeli barang-barang produksi. Tidak ada uang, tidak ada barang. Akhirnya BUMN-BUMN akan kesulitan dalam memproduksi barang-barang. Belum lagi memikirkan bagaimana bersaing dengan kompetitor-kompetitor swasta di bidang yang sama. Dampak kedua adalah untuk menutupi itu, pemerintah pun pasti berpikir untuk mengajukan utang, dengan harapan kondisi darurat ini teratasi dan selanjutnya keuntungan dari BUMN akan dipakai membayar utang kelak. Tetapi kenyataannya, korupsi kembali berbicara, sehingga bukannya untung tetapi BUMN akhirnya mengemis subsidi pemerintah.
Bagaimana dengan penerimaan pajak? Bukankah jumlahnya sangat fantastis sebesar Rp 649,042 triliun pada tahun 2010? Justru di pajak inilah ladang empuk bagi mafia pajak. Belum lepas dari ingatan kita bagaimana kasus Gayus Tambunan sempat berlarut-larut. Sulit sekali melacak siapa saja mafia pajak ini dan berapa dana yang telah dicuri. Hal ini dikarenakan mafia berbeda dengan koruptor biasa. Koruptor biasa mungkin bekerja sendiri-sendiri tanpa melibatkan pihak lain dalam sebuah permainan korupsi. Sehingga jika dilacak pun orang-orang yang berhubungan dengan kasus korupsi tersebut akan mudah diketahui. Informan pun cukup mudah didapat. Hal ini dikarenakan idealisme orang tersebut atau orang itu tidak mendapat bagian sama sekali dari hasil korupsi tersebut. Sehingga tidak ada rugi bagi dia untuk kooperatif dengan pihak berwenang. Beda kasusnya dengan mafia. Mafia adalah sekelompok koruptor yang punya posisi-posisi strategis di dalam sebuah kasus korupsi. Mereka sama-sama dapat bagian dalam menjalankan aksinya. Saat akan dilacak pihak berwenang pun, mereka akan saling melindungi satu sama lain. Kasus seperti ini yang sangat sulit didobrak pihak berwenang.
Dampak yang tak kalah mengerikan dari penggelapan pajak secara keseluruhan adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pengalokasian pajak. Bahkan dua tahun belakangan (2009 dan 2010) penerimaan pajak Indonesia belum pernah mencapai target yang ditetapkan. Pajak memang diwajibkan, tetapi saat masyarakat membayar pajak rutin dengan pikiran pajak itu pasti akan dikorupsi juga, hal itu akan mempengaruhi psikologis masyarat secara luas. Masyarakat akan merasa justru pajak itu cara oknum-oknum pejabat mencuri uang mereka secara legal dan sah menurut hukum.
Sekencang apapun kita berlari dalam menggenjot roda perekonomian agar target pertumbuhan ekonomi 2014 terpenuhi, jika korupsi masih merajalela, maka pada akhirnya kita akan terlihat seperti merangkak saja, bukan berlari. Harus ada reformasi hukum yang diterapkan di Indonesia, sehingga ada hukum yang sangat mengintimidasi para koruptor dan calon koruptor dalam aksinya. Agar mereka berpikir ulang jika ingin korupsi. Penerapan hirarki pemerintah yang ramping, efisien, dan efektif juga wajib diperhatikan. Dalam teori di dalam ilmu manajemen, jika suatu korporasi terlalu panjang rantai komandonya, maka instruksi pimpinan tertinggi akan semakin sulit disampaikan sampai jenjang hirarki paling bawah. Ini masih berbicara korporasi dengan rantai komando, yang kita hadapi lebih kompleks lagi, negara dengan pengawasan korupsi di tiap-tiap rantai komando. Ketiga, selain memperbaiki dari atas, harus ada perbaikan dari bawah. Contoh, penerimaan PNS harus melalui uji kelayakan dan kepatutan yang sangat ketat, meskipun hanya menyeleksi pekerja-pekerja di tingkat hirarki yang rendah. Kemudian saat para PNS melakukan kesalahan, kurang produktif, atau bahkan korupsi, beri hukuman yang sangat berat. Sehingga sumber daya pekerja yang dihasilkan oleh “seleksi alam” ini adalah pribadi-pribadi jujur dan berkualitas. Jika sudah demikian, maka para PNS ini akan lebih peka dan sensitif jika atasan mereka ada yang korupsi. Mereka tidak akan segan-segan melaporkan kepada pihak berwajib. Cara ini akan memperbaiki secara perlahan tetapi pasti dan memberikan fondasi yang kuat. Masalah PNS yang sering dikeluhkan sebagai pengangguran terselubung pun teratasi. Cara-cara korporasi memang tidak semua bisa diterapkan dalam pemerintahan, tetapi bukan berarti seluruh metode berkualitas yang ada di korporasi kita tolak bukan?
Jika setiap elemen masyarakat dan pemerintah mau berbenah diri, mau berpikir terbuka dengan inovasi-inovasi yang ada, tidaklah mustahil kita akan terbebas dari korupsi. Memang korupsi adalah penyakit bervirus yang ditularkan Belanda sejak kita dijajah dulu. Hirarki pemerintahan kita pun warisan Belanda. Hukum pun warisan Belanda. Kita serasa dikepung oleh penyakit bervirus dari setiap lini yang dibawa Belanda sejak dulu. Tetapi bukanlah hal mustahil memperbaiki itu semua. Belum terlambat. Bahkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2014 yang sebesar 7 persen bukan hal yang mustahil untuk diraih.
Kementerian Kajian Ekonomi
BEM FE Unpad
Daftar pustaka:
www.kabarbisnis.com
www.okezone.com
www.kompas.com
No comments:
Post a Comment