“Perjuanganku
lebih muda karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri” (Soekarno)
Gejolak krisis tahun
1998/1999 masih terbayang dalam benak bangsa Indonesia, krisis multidimensional
akibat dari seluruh sistem yang remuk oleh bad
management dalam birokrasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang lengket
pada era orde baru tersebut juga sebagai salah satu penyebabnya. Krisis yang terjadi
utamanya merupakan krisis moneter dan merusak perbankan Indonesia. Oleh karena
itu ,muncul gagasan untuk membuat lembaga khusus yang berwenang dan mengawasi
perbankan nasional. Hal ini dikarena pada waktu itu Bank Indonesia masih dalam
intervensi pemerintah sehingga penetuan kebijakan moneter kurang leluasa dan cepat.
Dengan demikian ide pembentukan lembaga pengawas khusus yang disebut Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) menjadi kenyataan
setelah munculnya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan.
Keberadaan Otoritas
Jasa Keuangan dengan kepungurusan yang baru dilantik pada tanggal 20 Juli 2012
dengan menobatkan Bapak Muliaman D.
Hadad sebagai ketua Dewan Komisioner OJK (
DK-OJK). Sebagai mantan petinggi Bank Indonesia, maka pengalaman tak akan
menjadi kendala dalam memimpin OJK, tetapi yang masih diperdebatkan adalah
mengapa harus ada OJK, apakah selama ini BI dan Bapepam LK tidak mampu dalam
melakukan tugas sebagai pengawas lembaga keuangan dan pasar modal? Dan
independensi dari OJK dalam melakukan tugas dan wewenangnya.
Dalam
menjelaskan latar belakang keberadaan dari OJK, kita bisa melihat diagram
dibawah ini.
(Sumber:
Presentasi Tim Sosialisasi OJK, di Surakarta, Juni 2012)
Intinya adalah
ada tiga sebab, yaitu perkembangan sistem keuangan, permasalahan di sektor
keuangan dan amanat Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebutlah
OJK muncul sebagai lembaga yang memiliki fungsi penyelenggaraan sistem
pengaturan & pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan. Melalui OJK tersebut harapan untuk kasus Bank
Century dan permainan nilai tukar oleh bank-bank asing pada tahun 1998/1999
tidak terjadi kembali.
Namun sebagai
lembaga baru merupakan tantangan yang utama adalah membentuk kerangka
organisasi dan kelembagaan yang utuh. Para pejabat yang diberikan amanah di OJK
harus secara cepat melakukan konsolidasi internal dalam membentuk habbit dalam lingkungan kelembagaan.
Mengingat semua pejabat di OJK memiliki basis kelembagaan yang lain dan
tentunya masih dapat terpengaruh oleh kebudayaan dan sistem lembaga lama.
Menurut, kacamata saya ini adalah salah satu kesempatan dalam mewujudkan
birokrasi kelembagaan yang baru, sehingga efek domino dari perubahan system dan
birokrasi lembaga-lembaga dan instansi di Indonesia bisa terwujud. Moral hazard yang masih menjadi permasalahan dalam
lembaga perlu dikembalikan pada fungsi dan tujuan awal dari lembaga. Korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang telah mengakar bisa terkelupas.
Namun disamping peluang untuk menciptakan
sebuah lembaga yang bersih birokrasinya,tetapi di lain pihak kewaspadaaan diperlukan.
Melihat struktur kepengurusan OJK ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi.
Sebagai lembaga yang independen tentunya keterpengaruhan dari pihak-pihak lain
harus bisa tiadakan. Sebagaimana yang diungkapkan Umar Juoro, Ekonom Center Indonesia for Development and Studies
(Cides) dalam Kompas.com posisi
wamenkeu yang menjadi ex officio rawan melanggar konstitusi sebagaimana pasal 10 ayat 4i Undang-Undang
OJK memang menyebutkan bahwa seorang anggota ex
officiodari Kementerian Keuangan merupakan pejabat setingkat eselon satu
Kementerian Keuangan, padahal putusan Risalah Sidang Perkara dari Mahkamah
Konstitusi nomor 79/PUU-IX/2011 tanggal 5 Juni 2012 menyebutkan bahwa jabatan
wakil menteri bukanlah jabatan struktural ataupun jabatan fungsional, melainkan
jabatan politis. Namun terlepas dari permasalahan tersebut, menurut kami
independensi dari OJK dipertanyakan, karena keberadaanya merupakan saran dan
rekomendasi dari Internasional Monetary
Fund (IMF) ketika krisis moneter terjadi di Indonesia. Walaupun kebijakan
dan program kerja OJK belum terkerjakan tetapi bukannya kami berburuk sangka
dan anti terhadap IMF terhadap keberadaan OJK, tetapi seperti yang perlu
dikatakan awal, kita tetap wasapada.
Masalah yang sering muncul ketika dua
lembaga berkoordinasi yaitu dalam hal ini bank Indonesia dan Kementrian
Keuangan, adalah sinergisitas komunikasi dan koordinasi yang baik. Karena
melihat sektor finansial yang semakin pesat tentunya membutuhkan perangkat yang
lebih kompleks yang dapat menjangkau semua sektoral. Keterkaitan yang mendasar
adalah kebijakan lembaga keuangan dapat sejalan dengan keadaan pasar modal.
Namun, harapan besar adanya OJK adalah perkembangan dan pertumbuhan yang tidak
hanya di sektor keuangan tetapi sektor riil sebagai pengejawantahan kesuksesan
sebuah kebijakan finansial.
Sektor riil dan
sektor finansial yang tak terpisahkan, maka keberadaan OJK dapat dijadikan
perangkat yang mendorong kemajuan sektor riil di Indonesia, melalui tugasnya
pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan,dan lembaga jasa
keuangan lainnya. Dengan demikian kehadiran OJK dapat dirasakan oleh golongan
menengah ke bawah dan UMKM yang membutuhkan kebijakan dan birokrasi yang mudah
dalam berurusan dengan lembaga keuangan. Hidup Mahasiswa!
“Sebagai mahasiswa, peran aktif dalam pembelajaran dan studi
kritis dalam setiap kebijakan untuk mencarikan solusi yang konstruktif.”
Anam Lutfhi
Kajian
Strategis BEM FE UNS
Kajian Strategis BEM FE UNS
No comments:
Post a Comment