Setelah kurang lebih 18 bulan pada level 6.5 %, Jum’at 4 Februari 2011 akhirnya Bank Indonesia memutuskan untuk menaikan BI rate 25 basis poin menjadi 6.75 %. Kebijakan ini diambil sebagai langkah antisipatif terhadap ekpektasi inflasi yang meningkat. Ekspektasi inflasi yang naik di dorong oleh volatilitas komoditas pangan membuat BI sebagai otoritas kebijakan moneter melakukan tindakan antisipati dengan menaikkan suku bunga acuan.
Tekanan terhadap nilai tukar karena derasnya arus modal keluar juga menjadi pertimbangan dari Bank Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan suku bunga acuan. Seperti kita tahu kebijakan Quantitative Easing yang dikeluarkan oleh The Fed dengan mengucurkan USD 600 M ke pasar terbukti dapat membuat keadaan ekonomi membaik. Tercatat pertumbuhan ekonomi Amerika pada 2010 berada di level sekitar 3%. Negara-negara zona eropa juga mulai menunjukkan proses recovery. Selain itu arus modal keluar juga terjadi karena tekanan inflasi yang tinggi. Di 2010 inflasi tercatat meleset dari ekspektasi karena tekanan dari harga komoditas.
Namun kebijakan ini bukan tanpa masalah. Kebijakan ini berpotensi untuk meningkatkan biaya modal. Jika menilik semakin tingginya biaya yang harus ditanggung para pengusaha karena cuaca buruk dan kondisi infrastruktur maka kenaikan suku bunga acuan yang nanti akan menaikan suku bunga pinjaman berpotensi menaikkan biaya modal yang harus di tanggung oleh pengusaha. Meskipun beberapa bank besar sudah mengkonfirmasi bahwa tidak akan menaikkan suku bunga pinjaman tetapi pengusaha tetap tidak bisa lepas dari biaya-biaya yang mulai tinggi. Penyebab utama kenaikan biaya ini adalah buruknya infrastruktur sehingga menghambat proses distribusi. Tekanan terhadap produk impor juga disinyalir akan semakin menyulitkan pengusaha karena produk impor tidak menemui banyak hambatan dalam biaya.
Undisbursed loan tahun 2010 yang mencapai IDR 554,7 trilyun, jumlah ini meningkat sebesar IDR 230.9 trilyun dari tahun sebelumnya. Melihat jumlahnya yang begitu besar tentu menjadi pertanyaan apa kendala yang dihadapi pengusaha sehingga jumlah kredit yang tidak di cairkan sampai begitu besar. Dalam sebuah acara di sebuah televisi swasta Sofyan Wanandi sebagai ketua APPINDO berpendapat tingginya undisbursed loan disebabkan oleh buruknya infrastruktur serta hambatan-hambatan birokrasi yang dihadapi oleh pengusaha. Transparansi terhadap spread yang dinikmati juga mulai menjadi wacana ditengah tingginya biaya modal. Hal ini bisa membuat pengusaha memilih secara lebih jeli kepada bank mana mereka akan mengajukan kredit.
Kebijakan kenaikan suku bunga tentu tidak selamanya efektif. Kebijakan suku bunga sebagai kebijakan tunggal yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk mencapai ekspektasi inflasi bisa saja meleset seperti tahun lalu. Hal ini terjadi karena banyaknya variabel di luar kekuasaan BI yang berpengaruh besar terhadap inflasi. Karena itu koordinasi antar lembaga yang berwenang menjadi kunci dari tercapainya target inflasi. Setiap lembaga dengan tugas dan wewenangnya sendiri harus bisa mengambil perannya masing-masing dalam mengendalikan inflasi. Porsi yang diambil BI dengan menaikkan suku bunga acuan merupakan langkah antisipatif yang cukup tepat tetapi perlu menjadi catatan pengendalian suku bunga kredit dan perbankan juga harus diperketat agar tidak ada distorsi biaya modal.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
No comments:
Post a Comment