Sungguh ironis negara Indonesia ini, dibalik kekayaan alamnya yang sangat melimpah ruah dari sabang sampai merauke, Indonesia justru dilanda kemiskinan yang tak kunjung usai. Indonesia yang dihiasi dengan berbagai macam suku, bangsa, adat, agama dan lain sebagainya, di wilayah Indonesia bagian timur justru terjadi banyak konflik dan peperangan. Indonesia yang dianugerahkan kekayaan hasil pangannya, namun Indonesia justru masih dilanda kelaparan dan banyak anak-anak kekurangan gizi. Lagi-lagi Indonesia yang dianugerahkan banyak sumber daya manusia yang tersebar di seluruh wilayah, namun justru sebanding pula dengan rakyat Indonesia yang tidak bisa mengenyam bangku sekolah. Ada apa ini Indonesia? Terlalu banyakkah dosa-dosamu? Mari kita menelisik ke Bapak-Bapak terhormat di Gedung DPR RI yang sebenarnya mengagendakan apa untuk seluruh rakyat Indonesia?
Baru-baru ini kita disodorkan berita terkait dengan agenda terdekat anggota DPR RI yang jika tidak ada aral melintang yaitu pembangunan gedung baru DPR yang akan diawali dengan peletakan batu pertaman pada Oktober mendatang. Bangunan yang super mewah berlantaikan 36 itu berbentuk gerbang, atau bingkai yang mencerminkan anggota DPR dari beragam latar belakang dan daerah. Selain itu berlandaskan filosofi air mengalir. Unsur air di samping sebagai elemen estetis, juga sebagai penghubung antara bangunan eksisting dengan gedung baru. Dalam agenda DPR RI 2010-2014, memang pembangunan gedung baru menjadi salah satu hal yang diprioritaskan. Terlihat dari renstra DPR RI 2010-2014 dimana didalamnya disebutkan bahwa “perencanaan pembangunan kawasan parlemen dan gedung DPR RI menjadi kepentingan yang mendesak untuk dilaksanakan…”[1]. Dari pernyataan tersebut, jelas kiranya bahwa pembangunan gedung baru ternyata bukanlah sebuah isu yang tiba-tiba muncul, tetapi memang sudah direncanakan sejak awal. Target yang ditetapkan oleh DPR, pembangunan gedung baru akan selesai pada pada tahun 2012. Bukan menjadi sebuah hal yang haram sebetulnya ketika para wakil rakyat menginginkan pembangunan gedung baru. Namun, akan menjadi haram ketika kinerja para wakil tidak memuaskan rakyat, komunikasi antara wakil dan terwakil tidak berjalan dengan baik, dan anggaran yang dihabiskan tidak masuk akal.
Walaupun telah masuk kedalam renstra DPR RI 2010-2014, tentu bukan menjadi alasan kuat mengapa pembangunan gedung harus terealisasi. Berdasarkan beberapa data yang penulis temukan, penulis menganggap bahwa belum saatnya DPR membutuhkan gedung baru, mengingat gedung yang sekarang sedang ditempati masih layak untuk digunakan, dan fasilitasnya pun memadai. Jika dianalisa, grand design pembangunan gedung baru nampaknya hanya berfokus pada penambahan fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh para anggota Dewan. Namun yang menjadi masalah, fasilitas baru ini bukanlah fasilitas yang secara langsung mendukung peningkatan kualitas kerja para anggota Dewan. Dengan kenyataan ini, maka argumen anggota Dewan yang menginginkan gedung baru untuk peningkatan kualitas kerja, dengan sendirinya akan terbantahkan.
Tidak tanggung-tanggung, besarnya biaya yang dibutuhkan untuk membangun gedung baru DPR RI berada pada angka triliunan. Dana sebesar kurang lebih 1,2 triliun siap digelontorkan untuk menjalankan proyek tersebut. Dana APBNP 2010 sebesar Rp 250 miliar juga akan segera di gunakan setelah peletakan batu pertama. Sungguh dana yang sangat besar dan tidak masuk akal, sehingga memancing nalar kita untuk bertanya-tanya, untuk apa dana sebesar itu? Secara umum, BURT DPR secara normatif ingin membangun sebuah gedung yang bisa diapakai untuk beratus-ratus tahun ke depan. Penambahan fasilitas pun menurut mereka dibutuhkan untuk mendukung kinerja para wakil rakyat. Namun satu hal yang harus digaris bawahi adalah tidak ada jaminan bahwa peningkatan fasilitas berarti peningkatan kinerja. Kinerja ditentukan oleh kapabilitas dan kualitas para wakil, bukan ditentukan oleh seberapa banyak fasilitas yang ada di sekelilingnya. Satu catatan penting yang masih harus dikritisi dan dikaji ulang terkait dengan pembangunan gedung baru DPR RI.
Jelas sekali kiranya ada unsur pragmatisme yang begitu kental dalam hal ini. Para anggota dewan lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang rakyatnya, dan seolah acuh terhadap kondisi rakyatnya. Betapa banyak rakyat yang masih kelaparan dan membutuhkan bantuan. Betapa banyak rakyat yang masih belum bisa mengenyam bangku sekolah. Apakah para anggota Dewan tahu akan hal ini, atau hanya pura-pura tidak tahu? Alih-alih membangun gedung baru untuk meningkatkan kinerja, namun yang terjadi justru meningkatkan “kenyamanan” para wakil rakyat sebagai pejabat negara, dan semakin “menyengsarakan” rakyat sebagai entitas yang diwakilinya. Dikatakan “menyengsarakan” karena uang triliunan tadi diambil dari APBN dalam beberapa tahun terakhir ini, dan bisa dikatakan bahwa penerimaan yang didapat dari APBN adalh uang rakyat. Jadi bisa dibilang bahwa rakyatlah yang membiayai pembangunan gedung baru DPR seharga 1,3 triliun. Ironis rasanya.
Jika kita melihat struktur lembaga perwakilan di Indonesia, maka bisa dikatakan bahwa ada dua unsur keterwakilan yang coba diakomodir dalam lembaga perwakilan kita, yaitu perwakilan demografis (DPR), dan perwakilan geografis (DPD). Dari kedua unsur tersebut, agaknya yang harus mendapat sorotan tajam adalah unsur perwakilan demografis, karena sejatinya para wakil dari unsur keterwakilan ini harus merepresentasikan kepentingan rakyat, Karena itu, pola hubungan yang seharusnya dipakai adalah delegate atau politico karena wakil tidak bisa terlepas dan otonom terhadap terwakil, yang dalam hal ini adalah rakyat. Namun yang terjadi justru sebaliknya, wakil bertindak sangat otonom terhadap terwakilnya. (hasil kajian Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia)
Berikut kronologi rencana pembangunan gedung yang di dalamnya terdapat fasilitas rekreatif seperti spa dan kolam renang, sebagaimana dilansir di website DPR.
- Didasarkan atas perubahan jumlah anggota dewan yang tiap periode bertambah, serta tidak mencukupinya Gedung Nusantara I untuk dapat menampung aktivitas anggota DPR RI.
- Saat ini tiap anggota DPR RI di Gedung Nusantara I menempati ruang seluas ± 32 m2, diisi 1 anggota, 1 sekretaris, dan 2 staf ahli. Kondisi ini dianggap tidak optimal untuk kinerja dewan.
- Dalam rangka penataan Kompleks DPR, maka BURT menyusun TOR Grand Design Kawasan DPR RI. Pada Tahun 2008, Setjen DPR RI melakukan Lelang untuk Konsutan Review Masterplan, AMDAL, dan Audit Struktur Gedung Nusantara, yang menghasilkan Blok Plan Kawasan DPR/MPR RI (Oktober 2008).
- Pada 2 Februari 2009, PT. Virama Karya (Konsultan Masterplan, AMDAL, dan Audit Struktur) memaparkan Blok Plan Kawasan MPR/DPR RI pada Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi serta Pimpinan BURT. Rapat meminta Konsep Blok Plan disempurnakan.
- Pada 18 Mei 2009, diadakan Rapat Dengar Pendapat antara Steering Committee Penataan Ulang dengan IAI, INKINDO dan PT. Yodya Karya memutuskan untuk mengadakan lokakarya dalam rangka mendapatkan masukan-masukan mengenai Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI.
- Pada 24-25 Juni 2009 diadakan Lokakarya Penataan Ulang Komplek MPR/DPR/DPD RI dan hasil Penyempurnaan Master Plan telah disampaikan ke BURT.
- Dalam rangka penataan Kompleks Kantor DPR RI, maka pada tahun 2008 dilakukan lelang untuk Konsultan Perencana (PT. Yodya Karya) dan Manajemen Konstruksi (PT. Ciria Jasa), dengan hasil pekerjaan adalah konsep disain Gedung Baru dengan dasar perhitungan berdasar kebutuhan dari 540 orang anggota dewan.
- Ruang untuk tiap anggota dewan seluas 64 m2, meliputi 1 anggota dewan, 2 staf ahli, dan 1 asisten pribadi.
- Hasil konsep perencanaan adalah Konsep Rancangan Gedung Baru 27 lantai termasuk P dan S dan DED untuk pekerjaan pondasi.
- Pada tahun 2009, dilakukan penyusunan DED Gedung Baru 27 lantai berupa Desain Upper Structure, plat, kolom, balok, dan Core untuk Lt. 1,2 dan 3.
- Luas total bangunan tersebut (27 Lt) ± 120.000 m2.
- Pada masa bakti Anggota Dewan periode 2009 -2014, ada keinginan penambahan jumlah staf ahli yang semula 2 menjadi 5, serta penambahan fasilitas berupa ruang rapat kecil, kamar istirahat, KM/WC, dan ruang tamu.
- Berdasarkan kebutuhan baru tersebut, perhitungan untuk ruang masing-masing anggota menjadi 7 orang, meliputi 1 anggota dewan, 5 staf ahli, dan 1 asisten pribadi seluas ± 120 m2.
- Perhitungan luas total bangunan berubah dari ±120.000 m2 (27 Lt) menjadi ±161.000 m2 (36 lt). Perhitungan ini tidak bertentangan dengan Master Plan yang telah disusun oleh PT. Virama Karya (KDB dan KLB masih memenuhi peraturan DKI)
Sebagai penutup, izinkan penulis kembali menegaskan mengenai standing point penulis diawal bahwa pembangunan gedung baru DPR masih belum layak untuk dilaksanakan. Pertama, karena memang gedung DPR yang ada sekarang masih layak untuk digunakan, dan biaya untuk membangun gedung baru sangat besar dan boros anggaran. Pun tidak ada jaminan bahwa dengan dibangunnya gedung baru akan meningkatkan kualitas kerja para anggota Dewan, malah yang kemungkinan terjadi adalah sebaliknya karena pembangunan gedung lebih diarahkan untuk menambah fasilitas-fasilitas yang tidak berkaitan langsung dengan peningkatan kinerja.
Kemudian, penulis juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh terperangkap menjadi insan-insan yang reaktif yang hanya akan beraksi jika ada masalah. Kita perlu secara tajam melihat dan menganalisa bahwa sebetulnya dibalik semua isu yang diberitakan di media, ada masalah lain yang agaknya terlupakan, namun sebetulnya lebih substantif. Dalam hal lembaga perwakilan, masalahnya bukanlah sekadar pembangunan gedung baru yang memakan biaya triliunan, namun lebih besar daripada itu yaitu masalah mengenai siapa yang diwakili oleh para wakil kita di DPR, dan bagaimana kedudukan wakil terhadap terwakilnya, yaitu rakyat Indonesia. Disini kita harus lebih jeli dan lebih tajam untuk melihat sebuah fenomena. Jangan lihat “kulitnya” namun lihatlah “isinya”.
Penulis:
Anggel Dwi Satria
Kepala Divisi Jaringan dan Lembaga
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
No comments:
Post a Comment