Education is a better safeguard of liberty than a standing army - Edward Everett
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi per 1 April 2012 kandas sudah paska keputusan pada Sidang Paripurna di DPR 31 Maret 2012 yang lalu. Meskipun tak sedikit yang menganggap bahwa kenaikan BBM bersubsidi ini dinilai wajar dan harus dilakukan tetapi ternyata kepentingan politis lebih unggul di atas kepentingan ekonomi rakyat sekalipun. Bisa jadi kenaikan BBM bukanlah solusi terbaik di antara opsi-opsi lain yang berpeluang diambil, namun tetap saja drama di ruang kehormatan itu seakan hanyalah pencitraan semata yang dilakukan para elit politik menuju pesta demokrasi 2014. Sebenarnya, alasan pemerintah sendiri mengurangi subsdi BBM ialah karena peruntukkannya yang tidak tepat sasaran dan kenyataan harga minyak dunia yang terus meroket. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan APBN dari defisit anggarannya yang bisa melampaui lebih dari tiga persen dan berarti melanggar konstitusi.
Dampak yang ditimbulkan pasca kenaikan BBM nantinya tentunya akan cukup serius. Mengingat kondisi perekonomian beberapa bulan ke depan tidak bisa diprediksi secara mendetil. Melihat fakta harga minyak dunia yang terus melambung, pemerintah bisa menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sesuai pasal 7 ayat 6a jika selisih antara realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dengan asumsi sebesar 15 persen pada enam bulan terakhir. Sekarang ini, rata-rata realisasi ICP dalam enam bulan terakhir masih sekitar 11 persen. Berikut penuturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang ada, cobalah kita telaah dampak kenaikan BBM bersubsidi nantinya terhadap sektor pendidikan. Pemerintah telah menyepakati beberapa paket kompensasi paska kenaikan sebesar Rp 25,6 triliun. Perinciannya, bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 17,08 triliun, bantuan pembangunan infrastruktur pedesaan Rp 7,88 triliun, dan tambahan anggaran program Keluarga Harapan Rp 591,5 miliar. Dengan penundaan kenaikan BBM bersubsidi, program kompensasi sejumlah Rp 25,6 triliun belum bisa dicairkan dan akan direalokasikan pemerintah untuk menyubsidi BBM. Lantas bagaimana nasib perbaikan pendidikan di Indonesia yang masih terkatung-katung? Apakah harus menunggu naiknya BBM bersubsidi baru kemudian mendapat tambahan “cipratan” anggaran? Jutaan anak-anak masih menggantungkan nasibnya pada negara alias tidak memiliki jaminan cukup biaya menempuh pendidikan. Ibaratnya, sudah terbebani dengan biaya hidup, masa depan juga harus digadaikan. Padahal, di pundak merekalah harapan bangsa ini tumbuh nantinya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memutuskan menunda penambahan jumlah penerima dana Subsidi Siswa Miskin (SSM) akibat penundaan dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh. Tahun ini, Kemendikbud berencana menambah jumlah penerima subsidi siswa miskin dari 6 juta siswa menjadi 14 juta siswa. Jumlah itu dengan 12 persen jumlah siswa miskin di Indonesia. Ada penambahan jumlah penerima yang ditunda tetapi bukan dibatalkan. Penundaan itu bergantung pada kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menurut sumber yang sama, kenaikan besarannya, untuk siswa sekolah dasar, pemerintah menaikkan dari Rp 360 ribu menjadi Rp 450 ribu per siswa per tahun. Untuk siswa sekolah menengah pertama, dari Rp 550 ribu menjadi Rp 750 ribu. Untuk siswa sekolah menengah atas, dari Rp 780 ribu menjadi Rp 1 juta. Dan untuk mahasiswa, dari Rp 12 juta menjadi Rp 13,67 juta. Selain itu, kompensasi dari subsidi BBM seharusnya juga diprioritaskan untuk infrastruktur pendidikan, yaitu pembangunan sekolah dan fasilitas sekolah serta beasiswa pendidikan tinggi bagi anak yang berprestasi.
Angka-angka di atas memang terlihat manis di kertas dan sangat mungkin berbeda dengan fakta di lapangan nantinya. Kenaikan BBM bersubsidi barang pasti juga akan meningkatkan biaya pendidikan terutama pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Masyarakat ekonomi rendah akan sulit untuk melanjutkan pendidikan karena terbatasnya pendapatan sementara harga-harga terus merangkak naik. Fasilitas sekolah yang tidak memadai serta bangunan sekolah yang rusak juga masih sangat banyak. Belum lagi proporsi jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah penduduk di beberapa daerah. Kebijakan pemerintah dengan memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebenarnya sudah tepat, sayangnya para pelaksana di tingkat yang lebih rendah masih saja bertindak tidak pantas dengan menyelewengkannya. Belum lagi adanya pungutan liar yang bersebrangan dengan Peraturan Menteri No. 60/2011 terkait dengan larangan melakukan pungutan di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) negeri untuk biaya operasional dan investasi.
Subsidi yang luar biasa besar itu ketika digunakan untuk sektor pendidikan tentunya akan sangat bermanfaat bagi rakyat. Dana penghematan tersebut bahkan mampu membuat program pendidikan gratis yang tidak hanya sembilan tahun tetapi dua belas tahun seperti amanat undang-undang. Kontradiktif, pernyataan optimisme ini sebaliknya dapat menjadi bumerang jika melihat ternyata masih banyak kepentingan-kepentingan gelap di balik kebijakan pengurangan subsidi BBM. Ditambah lagi, sektor pendidikan adalah lahan sejuk bagi para koruptor di negeri ini, bahkan di tingkat terbawah sekalipun. Untuk itu, perlu dipersiapkan berbagai langkah dan strategi agar dampak kenaikan harga BBM di sekor pendidikan dapat diminimalisasi.
Apabila nantinya program-program tersebut benar-benar bisa terlaksana, harapannya dukungan datang dari kita pula sebagai masyarakat. Tanggung jawab terhadap pendidikan sesungguhnya milik kita bersama meskipun kekuasaan ada di tangan pemerintah. Perbaikan sektor pendidikan bukan lagi hal yang bisa ditunda-tunda sebab harus dilakukan sekarang juga. Negeri ini merindukan generasi emas yang akan memimpin perjalanan bangsa yang penuh tantangan. Berawal dari pendidikan sebagai pelabuhan anak-anak Indonesia sebelum nantinya lepas ke lautan samudera. Jika masih ada yang meragukan pentingnya pendidikan dan bahkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongan, sesungguhnya merekalah yang sebenarnya membutuhkan ”pendidikan”.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB 2012
No comments:
Post a Comment