Polemik
migas tak henti-hentinya “mewarnai” kehidupan bangsa Indonesia sepanjang tahun
2012 ini. Dimulai dari gemparnya masyarakat Indonesia terkait isu kenaikan BBM
serta kontrak kerjasama migas yang didominasi asing dan merugikan masyarakat di
lingkungan penghasil migas. Ujung
pangkal permasalahan ini adalah tingginya permintaan akan minyak sebagai akibat
dari meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia serta semakin
mudahnya sistem perkreditan kendaraan di Indonesia. Di sisi lain, kapasitas
produksi minyak Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan minyak dalam negeri
sehingga kebijakan impor diberlakukan oleh pemerintah.
Solusi
lain adalah menaikkan kapasitas produksi minyak Indonesia melalui industri yang
bergerak di sektor perminyakan. Hal ini tidak gampang dilakukan oleh industri
dalam negeri mengingat industri minyak merupakan industri yang padat modal. Berdasarkann
alasan tersebut, Indonesia menjadi
ladang empuk bagi investor asing melakukan aksinya. Pemerintah melalui UU Migas
seolah membebaskan bagi siapa saja tindak “pencurian” migas tersebut. Seperti yang dikatakan Dr. Kurtubi dalam kesempatannya membedah UU
Migas di Gedung DPR RI, dia memberi contoh yaitu pasal 12 UU Migas No 22/2001
yang menyatakan bahwa kuasa pertambangan boleh diserahkan ke pihak asing. Namun
pasal 12 ini sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Walaupun pasal tersebut telah dicabut, masih ada cara lain untuk
melegalkan para investor asing “menggaruk’’ ladang tambang dan minyak kita,
yaitu dengan membentuk suatu badan yang bukan merupakan perusahaan pengelola
minyak yaitu BP Migas. BP Migas secara gamblang menyatakan dukungannya terhadap
investor asing karena dinilai menyelamatkan produksi minyak Indonesia.
Pernyataanya dalam kuliah umum (18/10/12) di Auditorium UNS menerangkan bahwa
mereka tidak anti nasionalis, tetapi berpikir realistis. Realistis karena
industri minyak merupakan industri yang membutuhkan dana besar sedangkan
pemerintah dirasa tidak mampu menanggung biaya tersebut.
Investor asing seolah merupakan solusi realistis yang dijadikan
alasan untuk mendapatkan modal tanpa peduli apakah kerjasama yang dilakukan
menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama masyarakat di lingkungan
penghasil migas atau tidak. Pasal lain yang dinilai bermasalah menurut D. Kurtubi adalah UU
Migas No. 22/2001 yang menjelaskan bahwa kontraktor asing boleh memperpanjang
kontrak 20 tahun berikutnya. UU ini semakin
menguntungkan asing karena dikuatkan oleh Pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP)
No.35/2004 dimana pengajuan perpanjangan itu boleh diajukan 10 tahun sebelum
sebuah kontrak kerjasama selesai.
Indonesia memiliki potensi kekayaan migas hanya
saja belum bisa memakmurkan bangsa ini karena regulasi yang justru memungkinkan
“perampokan” secara legal.Indonesia perlu berbenah.
Baik dari segi regulasi, pelaksanana/ pengelola produksi migas maupun pengguna
(masyarakat). Regulasi harus dibuat sebagaimana mestinya, pengelola juga tidak
hanya berpikir relalistis tetapi juga berpikir nasionalis karena bagaimanapun
juga Indonesia perlu mandiri; berpijak di kaki sendiri; serta bagi masyarakat
hendaknya mampu menghemat penggunanaan minyak, terlebih lagi yang bersubsidi
karena sejatinya juga akan berpengaruh pada tidak sehatnya APBN. Kerjasama
semua pihak mutlak diperlukan.
HIDUP
MAHASISWA!
Oleh
Dewi
Adhayanti
Kastrat
BEM FE UNS
No comments:
Post a Comment