Wednesday, December 26, 2007

APBN 2008 (baca : Politik Anggaran 2008)


Tidak peduli seberapa indah janji-janji yang diucapkan politisi ketika berkampanye, pembuktiannya adalah pada anggaran. Politik anggaran suatu pemerintahan pasti mencerminkan keberpihakan dan orientasi pembangunan pemerintahan tersebut, seberapa besar kue pembangunan yang akan dialokasikan kepada masing-masing komponen masyarakat tentunya memperlihatkan keberpihakan dan orientasi tersebut. Karenanya selalu menarik memerhatikan bagaimana anggaran itu disusun, karena dengan memahaminya kita akan mengetahui kemana pemerintahan akan berjalan setahun kedepan. Karena sifatnya yang strategis itu pula, maka seringkali pertimbangan dalam menyusun anggaran bukan berdasarkan pertimbangan ekonomi semata, tetapi juga pertimbangan politik. Maka tidak heran ketika R-APBN diajukan oleh pemerintah selalu saja banyak kritikan yang dilontarkan dari berbagai pihak, yang ekonom protes karena logika ekonomi mereka kadang bertentangan dengan anggaran tersebut, sementara yang politisi protes karena logika politik mereka kadang juga tidak bisa mengerti, ”mengapa kepentingan saya kurang diakomodasi dalam anggaran?” Di APBN 2008 ini ada beberapa hal yang menarik terkait perkembangan terakhir berbagai peristiwa yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional yang akhirnya memengaruhi politik anggaran yang dijalankan pemerintah seperti Pemilu 2009 yang sudah di depan mata dan kenaikan harga minyak dunia yang tidak wajar. Di APBN 2008 kita akan melihat bagaimana pemerintah bereaksi terhadap berbagai stimulus tadi, yang juga akan memperlihatkan keberpihakan dan orientasi pembangunan pemerintah. Setidaknya di APBN 2008 ini politik anggaran pemerintah dapat kita lihat dari berbagai asumsi yang dipakai yang memperlihatkan bahwa pertimbangan dalam penyusunan APBN bukan pertimbangan ekonomi semata, melainkan juga pertimbangan politik.

1. Asumsi Harga Minyak Dunia
Di APBN 2008 asumsi harga minyak dunia dipatok di angka US$ 60/barel, padahal harga minyak mentah dunia saat ini berfluktuasi pada kisaran US$ 90/barel. Ada beberapa alasan kenapa pemerintah tidak mengubah asumsi harga minyak. Yang pertama karena asumsi harga minyak yang dipakai akan menentukan besarnya Dana Perimbangan yang harus diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemda. Dana perimbangan itu sifatnya block grant dan diberikan di awal tahun, jadi jika asumsi harga minyak terlalu tinggi sementara realisasinya selama tahun 2008 ternyata rendah Pemerintah Pusat akan rugi karena harus membayar lebih mahal kepada Pemda. Disini kita melihat tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah.


Yang kedua karena harga fundamental minyak dunia saat ini memang berada pada kisaran US$60-70/barel. Sementara kenaikan sampai menembus level US$90/barel adalah karena faktor non-fundamental. Faktor fundamental adalah genuine supply dan genuine demand terhadap minyak, sedangkan faktor non-fundamental adalah faktor geopolitik. Secara fundamental permintaan minyak mengalami kenaikan akibat pesatnya pertumbuhan China dan India yang meminta banyak energi. Juga dimulainya musim dingin di negara-negara subtropis yang tentunya memakan banyak energi. Secara non-fundamental, kenaikan harga minyak disebabkan oleh isu-isu yang terus digelindingkan di kawasan timur tengah. Kerugian investasi di kredit perumahan akibat krisis subprime mortgage membuat para spekulan mencari cara untuk mengompensasi kerugian tersebut, diantaranya dengan bermain di pasar future minyak di Amerika. Transaksi-transaksi future yang mereka lakukan memungkinkan mereka menangguk untung ketika harga minyak naik, akhirnya hal itu terefleksikan dari kebijakan luar negeri Amerika yang selalu mengacak-acak Iran dan Irak yang mengakibatkan harga minyak naik. Disini dapat kita lihat betapa dekat hubungan antara pengusaha dengan penguasa di Amerika, tidak mengherankan mengingat Presiden Bush pun seorang pengusaha minyak. Jadi harga minyak tinggi ataupun rendah sebenarnya merupakan faktor eksternal bagi kita, yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha meningkatkan lifting/produksi minyak kita sehingga mampu menambah penerimaan negara. Jadi, karena berharap faktor non-fundamental menghilang di tahun 2008, pemerintah tetap tidak menaikkan asumsi harga minyak di APBN 2008.


Yang ketiga karena dengan menaikkan asumsi harga minyak sama saja pemerintah mengakui bahwa defisit anggaran akan membengkak karena status Indonesia saat ini adalah net importer minyak. Jika demikian, maka konsekuensinya tentu saja kita harus memerbesar sumber pembiayaan untuk menutupi defisit anggaran tersebut yang diantaranya adalah dengan penambahan utang luar negeri, privatisasi BUMN maupun penerbitan SUN. Nah, hal inilah yang tidak disukai pemerintah karena pilihan untuk menambah utang luar negeri maupun memprivatisasi BUMN sangat tidak populis dan ongkos politiknya terlalu besar menjelang Pemilu 2009, semangat memertahankan kekuasaan tampaknya akan mencegah pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populis, sehingga mungkin pilihan rasionalnya adalah penerbitan SUN. Namun penerbitan SUN yang berlebihan nantinya akan menimbulkan crowding out effect, yaitu kondisi ketika investasi di sektor swasta, yang pastinya memiliki risiko, menjadi berkurang jumlahnya akibat dananya tersedot ke pembiayaan negara yang bersifat bebas risiko. Hal ini tentunya tidak baik untuk pertumbuhan investasi domestik Indonesia dan jika pemerintah tidak menyalurkan dana itu untuk membiayai investasi yang dapat menyerap tenaga kerja maka dapat memicu meluasnya pengangguran dan kemiskinan. Dalam skenario asumsi harga minyak dinaikkan jelas dana itu tidak digunakan pemerintah untuk membiayai investasi, melainkan untuk konsumsi minyak. Selain itu ada pula risiko dari peningkatan defisit anggaran, yaitu meningkatnya Debt to GDP Ratio (Rasio Utang dibanding PDB) Indonesia yang akan memengaruhi peringkat risiko Indonesia di mata investor. Lagi-lagi masalahnya investasi, pembukaan lapangan kerja, angka kemiskinan dan pertumbuhan. Jadi pemerintah ingin menghindari asumsi harga minyak tinggi karena asumsi itu akan membawa pada asumsi yang lain, yaitu bahwa mereka harus memerbanyak sumber-sumber pembiayaan yang seluruhnya tidak populer di mata masyarakat. Sebenarnya bisa saja defisit anggaran tidak bertambah, yaitu dengan menaikkan harga minyak di masyarakat, namun sekali lagi hal itu terlalu mahal ongkos politiknya menjelang 2009.

2. Asumsi Lifting Minyak
Di APBN 2008 pemerintah mengasumsikan lifting/pengangkatan minyak mentah Indonesia sebesar 1,034 juta barel/hari, padahal akhir-akhir ini tren lifting minyak Indonesia hanya sebesar 950 ribu barel/hari. Asumsi ini jika tidak tercapai dikhawatirkan akan menambah defisit anggaran akibat berkurangnya pemasukan dari produksi minyak. Efek dari meningkatnya defisit anggaran sudah disebutkan sebelumnya. Alasan pemerintah mempertahankan asumsi ini adalah karena ada optimisme bahwa beberapa sumur minyak seperti blok Cepu sudah dapat beroperasi tahun depan. Namun jika dilihat dari tren lifting minyak selama delapan tahun terakhir, kecenderungannya selalu terkoreksi kebawah artinya tidak memenuhi target. Disini terlihat lagi bahwa pemerintah berusaha menghindari skenario APBN 2008 defisit terlalu banyak, hal ini jelas untuk menjaga citra pemerintahan saat ini sebagai pemerintahan yang tidak banyak utang dan tidak suka menjual BUMN.

3. Asumsi Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 sebesar 6,8% dari sebelumnya 6,3% pada tahun 2007. Sedangkan inflasi tahun 2008 diasumsikan sebesar 6% dari sebelumnya 6,5% pada tahun 2007. Hal ini berarti pemerintah menginginkan pertumbuhan naik sementara inflasi turun, sebuah hal yang sulit diterima secara logika ekonomi. Kenaikan pertumbuhan diharapkan mampu didorong dari pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur yang anggarannya diperbesar di APBN 2008 ini. Pengerjaan proyek-proyek infrastruktur yang menyerap banyak tenaga kerja ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun tidak pasti juga berapa besar efek injeksi pemerintah tersebut terhadap pertumbuhan.


Sementara itu masih sulit juga untuk melihat jalur mana yang memungkinkan inflasi bisa turun, apalagi peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur dan subsidi di APBN 2008 ini pastinya akan meningkatkan daya beli masyarakat yang dapat mengerek harga-harga juga. Namun jika pembangunan berbagai infrastruktur tersebut tidak memakan banyak waktu (dilakukan di awal tahun) dan dapat memperlancar arus barang kemungkinan dapat menekan laju inflasi di tahun 2008. Tapi melihat tren yang terjadi di Indonesia, sulit rasanya mengharapkan hal itu terjadi.


Entah apa yang menyebabkan pemerintah berani membuat asumsi pertumbuhan dan inflasi yang ”menentang” logika ekonomi itu, apakah hal ini terkait politik citra menjelang 2009 juga atau bukan. Dimana-mana ketika pertumbuhan diharapkan meningkat kita juga harus bersiap dengan inflasi yang meningkat, apalagi ini Indonesia, dimana pertumbuhan 60%-nya didukung oleh konsumsi. Yang jelas peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur dan subsidi (yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat) jelas dapat dipandang sebagai politik citra pemerintah menjelang Pemilu 2009.



Hasil Kajian Internal
Departemen Kajian Strategis SM FEUI