Wednesday, January 30, 2008

Menyikapi Peraturan BI Tentang Modal Minimum Bank Rp 100 Miliar

Musim berburu bank, itulah julukan media terkait kondisi dunia perbankan akhir tahun 2007 kemarin. Hal ini terkait dengan peraturan BI tentang penerapan modal inti minimum bank sebesar Rp 80 Miliar pada awal tahun 2008 dan Rp 100 Miliar pada awal tahun 2011. Jika hal ini tidak terpenuhi hukumannya adalah penurunan kelas (downgrade) dari Bank Umum menjadi Bank Pekreditan Rakyat (BPR) yang kegiatannya lebih terbatas. Akhirnya banyak bank-bank umum bermodal kecil yang menjadi buruan para pemodal untuk “menyelamatkan” bank-bank itu dari penurunan kelas.

Peraturan tentang modal minimum bank ini mengharuskan bank memenuhi permodalannya sesuai peraturan BI dengan berbagai cara, baik melalui penambahan modal sendiri, diakuisisi bank lain maupun merger dengan sesamanya. Namun dari tren menyusutnya jumlah bank di tanah air terlihat bahwa bank-bank kita cenderung tidak mampu menambah modal secara mandiri. Dan jika dilihat lebih jauh lagi ternyata bank-bank itu lebih banyak diakuisisi oleh bank-bank asing ketimbang melakukan konsolidasi (merger) dengan sesama bank domestik. Sampai Desember 2007 daftar pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank kecil telah berkurang, dari 51 menjadi 6 Bank. Pengurangan tersebut lebih didominasi oleh akuisisi yang dilakukan oleh bank asing, contohnya Bank Indomonex diakuisisi oleh Bank dari India, yaitu State Bank of India, lalu Bank of India mengakuisisi Bank Swadesi. Bank Haga dan Bank Hagakita dibeli oleh Rabobank International, bank koperasi asal Belanda. Bank Nusantara Parahyangan oleh ACOM Ltd, Bank Halim Indonesia diakusisi oleh Bank of Tokyo-Mitsubishi-UFJ Ltd. Industrial & Commercial Bank of China, terakhir Bank Australia membeli Bank ANK Tbk.

Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekhawatiran tentang struktur permodalan perbankan kita nantinya akan lebih banyak dimiliki oleh pihak asing. Padahal idealnya adalah perbankan kita dapat berkonsolidasi dan melakukan merger sesama bank-bank kecil itu sendiri agar modalnya dapat bertambah, namun kenyataannya justru bank-bank kecil itu dikuasai asing. Untuk menghindari ketidakstabilan BI membuat peraturan yang mewajibkan pemodal asing untuk mempertahankan kepemilikannya di bank-bank tersebut minimal selama 5 tahun.

Sebenarnya tujuan BI menerapkan peraturan modal minimum bank tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan bank umum untuk meng-cover risiko-risiko yang ada baik risiko pribadi bank maupun systemic risk yang sulit untuk dihindari. Risiko pribadi bank adalah risiko yang timbul dari kegiatan pribadi bank yang bersangkutan, misalnya risiko akibat penyaluran kredit. Sedangkan systemic risk adalah risiko yang menimpa sistem, yang bersifat eksternal dan tidak dapat dikendalikan oleh bank yang bersangkutan. Mengingat risiko-risiko tersebut maka modal perbankan haruslah kuat untuk meng-cover berbagai risiko tersebut.

Penerapan peraturan ini juga dapat meningkatkan efisiensi bank karena selama ini bank yang modalnya di bawah Rp 100 miliar cenderung tidak efisien, memiliki rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) yang tinggi yaitu 136,8%. Jika dilihat dari rasio tersebut bisa dikatakan bank telah ’merugi’, dimana biaya operasional lebih besar dibandingkan pendapatan operasional. Akhirnya bank menutupi kerugian tersebut dari pendapatan bunga dengan menetapkan spread yang tinggi dan memberatkan sektor riil. Pendapatan atas aset yang dimiliki oleh bank-bank kecil itu juga tidak begitu besar (Return On Assets-nya hanya 1,3% padahal ROA industri perbankan nasional adalah 2,2%). ROA bank-bank bermodal kecil itu rendah karena mereka cenderung menyalurkan dananya di instrumen-instrumen yang relatif aman seperti SBI ataupun penanaman antar bank. Sedangkan untuk aktivitas pemberian kredit justru sangat kecil, padahal pendapatan dari bunga kredit ini biasanya cukup besar, namun karena risiko yang dihadapi juga cukup besar maka bank dengan modal kecil itu biasanya tidak berani menyalurkan kredit terlalu besar.

Modal minimum Rp 100 miliar juga memungkinkan bank umum untuk meningkatkan daya saingnya. Suatu hasil studi empiris menyebutkan bahwa bank akan efisien dalam melakukan kegiatannya jika aset yang dimiliki sebesar US$ 2 miliar sampai dengan US$ 10 miliar, untuk itu diperlukan modal sekitar US$ 130 juta (kurang lebih Rp 1 triliun). Jika disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat ini tentu sangat sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu ketentua modal minimum bank Rp 100 miliar merupakan hasil penyesuaian terhadap kondisi Indonesia.

Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, modal minimum bank Rp 100 miliar terlihat masih sangat kurang. Korea memiliki modal minimum bank Rp 700 miliar, Malaysia dan Thailand Rp 4 triliun, bahkan Singapura Rp 7 triliun. Jelas sekali terlihat tingkat permodalan bank di Indonesia masih sangat rendah. Padahal kedepannya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 6% per tahun Indonesia membutuhkan kredit sebesar 22% (sejauh ini baru terpenuhi 16%) sehingga dibutuhkan lebih banyak penambahan modal.

Sederhananya BI meyakini bahwa dengan modal yang besar bank akan memiliki kapasitas yang lebih untuk melaksanakan kegiatannya karena industri perbankan adalah industri yang bersifat capital intensive. Sementara pihak yang kontra menyatakan bahwa penerapan modal minimum bank Rp 100 miliar sangat tidak berpihak pada golongan kecil dan justri akan memberatkan bank–bank kecil. Padahal bank-bank kecil tersebut tidak pernah membebani pemerintah, contohnya adalah ketika krisis moneter dimana yang berjatuhan dan membutuhkan biaya rekap justru bank-bank besar.
HASIL KAJIAN INTERNAL
DEPARTEMEN KAJIAN STRATEGIS
SENAT MAHASISWA FEUI


Tuesday, January 29, 2008

kastrat bem fe unpad

Pengaruh Konsolidasi Perbankan
Terhadap Kinerja Sektor Riil
Departement Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Perbankan merupkan sebuah industri yang memiliki karakteristik khusus. Kekhususannya industri perbankan dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, bank merupakan lembaga yang berfungsi sebagai financial intermediary, dimana karakteristik bisnis perbankan merupakan bisnis intermediasi. Hal ini berbeda dengan industri manufaktur atau industri jasa lainnya. Bank memiliki kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau menyalurkan dana dari pihak surplus kepada pihak defisit.
Kedua, karakteristik struktur keuangan bank juga berbeda dengan industri lainnya. Sisi aset bank sebagian besar terdiri dari piutang kepada kreditur yang berjangka panjang, dan sisi kewajiban berupa deposit (tabungan, deposito, dan lainnya) dari para nasabah yang berjangka pendek. Mismatch aset dan kewajiban menyebabkan bank harus mampu melakukan manajemen risiko dengan lebih baik dibandingkan perusahaan manufaktur atau jasa lainnya. Dalam menjalankan perannya, perbankan Indonesia harus selalu berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian (prudential banking).
Ketiga, sisi kewajiban bank melibatkan sangat banyak pihak (nasabah), sehingga bila sisi kewajiban tidak mampu terbayar maka akan berefek sangat luas pada perekonomian. Kita mengenal istilah bank run, yang menunjukan adanya penarikan besar-besaran dana para nasabah yang selanjutnya dapat menjadi bank panic (menimpa tidak hanya bank bersangkutan, namun juga bank yang masih sehat) dan memberikan efek berantai (contagion effect) pada perekonomian. Ketiga hal inilah yang antara lain mendorong industri perbankan harus diawasi dengan baik oleh Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia.


Konsolidasi Perbankan Indonesia
Jumlah bank yang banyak berpotensi membuat industri perbankan tidak efisien. Selain itu, jumlah bank yang banyak juga mempersulit pengawasan oleh Bank Indonesia (BI). Untuk itu, Bank Indonesia amat fokus terhadap permasalahan ini. Berbagai aturan telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam rangka untuk mendorong konsolidasi perbankan untuk menciptakan industri perbankan yang lebih sehat, kokoh, dan efisien.
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi.
Proses konsolidasi perbankan yang tengah berlangsung di Indonesia tidak hanya mengenai akuisisi dan merger di antara bank-bank kecil, tetapi juga bank-bank papan atas. Tak hanya sekadar ingin bertumbuh, bank-bank besar memanfaatkan momentum konsolidasi untuk meraih posisi baru dalam peta persaingan antar bank di masa mendatang. Tak ayal, akhir-akhir ini bank-bank besar banyak memburu bank-bank kecil yang memiliki kinerja yang sehat untuk dilakukan akuisisi. Akuisisi menjadi penting karena seluruh bank papan atas kini tengah mereposisi peran mereka dalam peta persaingan bisnis perbankan di Tanah Air. Bank yang tak melakukan akuisisi dipastikan akan menurun daya saingnya. Beberapa bank bahkan menjadikan konsolidasi sebagai momentum untuk melakukan transformasi bisnis menjadi bank dengan daya saing lebih tinggi.
Aturan yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang telah mendorong bank saling berkonsolidasi. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) meupakan program untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang kokoh, sehat, dan efisien dalam beberapa tahun ke depan. Dalam API, Bank Indonesia (BI) membagi bank dalam empat kategori. Pertama, bank internasional dengan modal di atas Rp 50 triliun. Kedua, bank nasional dengan modal antara Rp 10 triliun-Rp 50 triliun. Ketiga, bank fokus dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun. Keempat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp 100 miliar. Untuk memicu terjadinya konsolidasi, Bank Indonesia mewajibkan bank memiliki modal minimum Rp 100 miliar pada akhir 2010 nanti. Faktor inilah yang memicu para pemilik bank kecil menawarkan sahamnya kepada investor baru yang lebih kuat.
Selain itu, langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP), dimana kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/16/PBI/2006. Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk kepemilikan saham bank oleh pemegang saham pengendali yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka pemegang saham pengendali bank yang telah mengendalikan lebih dari satu bank umum pada saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya.
Untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan saham bank dimaksud pemegang saham pengendali dapat memilih dari beberapa alternatif cara penyesuaian yang disediakan oleh ketentuan ini. Beberapa alternatif cara penyesuaian tersebut diberikan dengan mengacu pada tujuan kebijakan kepemilikan tunggal, yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, dengan tetap memperhatikan kepentingan para pemegang saham pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia. Alternatif penyesuaian itu yaitu:
mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu Bank; atau
melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; atau
membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (Bank Holding Company), dengan cara :
mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company;
atau menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.
Penerapan kebijakan kepemilikan tunggal, termasuk kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah mengendalikan lebih dari satu bank, memberikan pengecualian bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum World Trade Organization (WTO) untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank). Demikian juga pengecualian diberikan bagi pemegang saham pengendali yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinisp syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis bank dimaksud lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah.

Lalu apa dampak yang dikeluarkan kebijakan ini terhadap kinerja sektor riil?
Perekonomian Indonesia digerakan oleh 2 motor perekonomian yakni sektor keuangan dan sektor riil. Tetapi beberapa tahun belakangan, terutama setalah krisis ekonomi menerpa bangsa kita, perekonomian Indonesia mengalami sebuah ketimpangan, dimana sektor keuangan berkembang dengan amat pesat sedangkan sektor riil berkembang dengan lambat.
Perbaikan makroekonomi diakui memang telah dicapai oleh pemerintah. Lihat saja indikator-indikator perekonomian seperti inflasi, tingkat suku bunga, kurs rupiah, cadangan devisa serta tak ketinggalan indeks yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terus membuat rekor baru. Semua angka-angka itu memperlihatkan adanya kondisi ekonomi yang membaik dan stabil. Namun jika kita telisik lebih jeli, ternyata kondisi makro tersebut bukanlah cerminan dari sektor riil ditingkatan mikro. Banyak kalangan mengeluhkan keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit.
Keadaan ini memang cukup menyedihkan mengingat perbankan saat ini memiliki dana yang melimpah dilihat dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan sekitar Rp 1.453,656 triliun sampai November 2007. Namun penyaluran kreditnya baru mencapai Rp 953,259 triliun. Walaupun loan to deposit ratio (LDR) terdorong sedikit mencapai 65,58 persen, namun jumlah ini dirasa masih jauh dari porsi idealnya. Alih-alih meningkatkan penyaluran kreditnya, bank-bank malah lebih senang menempatkan dananya ke instrument Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tidak mengherankan kalau jumlah SBI terus meningkat. Dana yang dianggap oleh bank sebagai idle money ini mengisi instrument SBI hingga mencapai Rp312,8 triliun per 17 Januari 2008. Jumlah ini disinyalir sudah mendekati jumlah uang yang beredar (base money) di masyarakat. Ekses likuiditas yang terjadi itu dianggap merupakan imbas dari iklim yang kurang bersahabat bagi sektor riil dan perbankan. Rendahnya penyerapan dana oleh sektor riil tersebut disebabkan beberapa indikator yakni daya beli masyarakat masih lemah serta hambatan sektor riil berupa pasar tidak sempurna, infrastruktur lemah, birokrasi, kepastian hukum, otonomi daerah dan ketenagakerjaan.

Bank Indonesia selaku otoritas moneter dituntut mendorong industri perbankan agar proaktif dalam menggerakan perekonomian, terutama di daerah yang memiliki potensi yang amat besar tetapi belum tergarap optimal. Selama ini, perbankan Indonesia cenderung hanya ingin beroperasi di daerah yang telah berkembang. Bank jarang sekali menjadi lokomotif pembangunan di suatu daerah. Data membuktikan, 50 persen dari total kredit nasional yang besarnya mencapai Rp 953,259 triliun tersalurkan di DKI Jakarta, sedangkan 50 persen sisanya terbagi di 33 provinsi. Situasi ini jelas menjadi salah satu penyebab buruknya pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pemerataan dan penyerapan tenaga kerja.
Kebijakan konsolidasi perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dibuat untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat, kokoh, serta efisien. Melalui konsolidasi ini pula sebuah bank dapat meningkatkan daya saingnya. Merger atau akuisisi yang menjadi salah satu pilihan dalam melaksanakan kebijakan ini, akan meningkatkan aset dari bank tersebut yang melakukan hal ini. Dengan demikian, daya saing bank akan meningkat dalam memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) dari para nasabah. Single presence policy/SPP merupakan salah satu aturan yang dibuat untuk mendorong perbankan melakukan konsolidasi. Bank-bank yang terkena aturan ini kebanyakan adalah bank-bank besar di Indonesia yang memiliki aset dan modal yang kuat juga.
Berharap dari dikelurkan kebijakan dan aturan ini, sektor riil ingin mendapakan perhatian lebih dari dunia perbankan. Dengan bersatunya bank-bank besar yang menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar perbankan umum di Indonesia, nilai dari capital adequacy ratio (CAR) dan aset yang dimiliki sebuah bank akan membengkak sehingga keberanian perbankan dalam menyalurkan kredit akan lebih besar lagi. Sehingga fungsi dari sebuah bank yakni sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan lebih optimal dan tentunya kinerja dari sektor riil akan lebih baik lagi.
Selain itu, Bank Indonesia akan mengeluarkan paket program kebijakan untuk mendorong terciptanya Banks Leading the Development. Pertama, mewajibkan bank membina pengusaha produktif di suatu wilayah yang progresif ataupun sektor tertentu yang selama ini memiliki potensi, tetapi belum dikembangkan. Kedua, menurunkan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR) untuk kredit usaha rakyat (KUR) dari 85 persen menjadi 30 persen. Jadi, dengan modal yang sama, bank memiliki kemampuan menyalurkan kreditnya lebih besar lagi. Ketiga, mengarahkan penyaluran kredit bank pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah produktif dalam suatu porsi tertentu terhadap total kedit. Keempat, mewajibkan bank menerapkan program tanggung jawab sosial dalam suatu rasio yang akan disepakati.
Dalam hal penurunan bobot resiko kredit dari 85 persen menjadi 30 persen saat ini, tentunya hal ini akan amat menguntungkan bagi sektor riil terutama para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, apalagi bila aturan kepemilikan tunggal perbankan telah berjalan. Dengan berbarengannya diberlakukannya aturan ini, bank akan mengalami peningkatan nilai dari capital adequacy ratio/CAR karena melakukan konsolidasi dan dengan diturunkannya nilai ATMR menjadi 30 persen, bank akan dapat melakukan penyaluran kredit hampir dua kali lipat dari sebelumnya. ATMR merupakan nilai eksposur kredit dikalikan bobt resiko. ATMR digunakan dalam perhitungan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR).
Misal, bank dengan modal Rp 85 miliar diperkenankan memiliki ATMR maksimal Rp 850 miliar agar CAR tetap sebesar 10 persen. Hal itu dengan asumsi tidak ada resiko-resiko lain. Jika bobot resiko setiap kreditnya sebesar 100 persen, total kredit yang dapat tersalurkan adalah sebesar ATMR, yaitu Rp 850 miliar. Akan tetapi, bila bobot dari resiko dari keseluruhan kreditnya sebesar 50 persen, bank tersebut dapat menyalurkan kreditnya hingga dua kali lipat, yakni sebesar Rp 1,7 triliun.
Kebijakan kepemilikan tunggal perbankan akan meningkatkan kesehatan serta kecukupan modal dunia perbankan, sedangkan penurunan nilai ATMR akan membantu meningkatkan penyaluran kredit. Kita tunggu saja bagaimana selanjutnya dengan diberlakukannya aturan-aturan tersebut dengan kondisi sektor riil kedepannya.

Tuesday, January 15, 2008

POLEMIK APBN 2008
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang menjadi salah satu penggerak laju perekonomian nasional. APBN menjadi penjabaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja ekonomi. Oleh karena itu, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang cukup penting dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.

APBN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perekonomian secara agregat. Setiap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel ekonomi makro akan berpengaruh pada besaran-besaran APBN. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan APBN pada gilirannya juga akan mempengaruhi aktivitas perekonomian.

Pada prinsipnya APBN merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap aktivitas perekonomian dalam rangka menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Adapun fungsi pokok kebijakan anggaran Pemerintah adalah; (i) fungsi alokasi, (ii) fungsi distribusi, dan (iii) fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan kebijakan anggaran Pemerintah dalam rangka memberikan stimulasi kepada perekonomian baik melalui instrumen penerimaan (insentif) maupun belanja (anggaran sektoral). Fungsi distribusi berkaitan dengan upaya Pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat (pemerataan). Sementara itu fungsi stabilisasi berkaitan dengan peran kebijakan anggaran Pemerintah dalam rangka mengurangi gejolak perekonomian (counter-cyclical) yang dilakukan baik melalui kebijakan belanja maupun penerimaan negara. Hal ini terkait erat dengan fungsi kebijakan fiskal sebagai instrumen pengelolaan ekonomi makro (macroeconomic management) dari sisi permintaan agregat (aggregate demand).

Mengingat kebijakan anggaran negara melalui APBN merupakan bagian integral dari perilaku perekonomian secara keseluruhan, maka besaran-besaran pada APBN secara langsung maupun tak langsung akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum, dampak kebijakan APBN terhadap ekonomi makro dapat diamati dari pengaruhnya terhadap tiga besaran pokok berikut ini:
(i) sektor riil (permintaan agregat)
(ii) moneter, dan
(iii) neraca pembayaran (cadangan devisa)

Selain mengacu pada RKP tahun 2008, penyusunan RAPBN Tahun 2008 dilakukan dengan mempertimbangkan: (i) faktor-faktor eksternal, seperti kinerja perekonomian internasional dan harga minyak mentah internasional yang mempengaruhi perkembangan berbagai indikator ekonomi makro sehingga pada gilirannya berpengaruh terhadap besaran pendapatan nasional, belanja negara, dan pembiayaan anggaran, (ii) berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi, (iii) penilaian (assessment) terkini atas kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam negeri pada tahun berjalan, serta perkiraan prospek pada tahun mendatang, serta (iv) perkiraan realisasi pelaksanaan APBN tahun berjalan.

Prospek kinerja perekonomian nasional dalam tahun 2008 khususnya beberapa indikator utama ekonomi makro, merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penentuan besaran-besaran RAPBN tahun 2008. Indikator-indikator utama ekonomi makro tersebut yang mendasari perhitungan besaran-besaran RAPBN Tahun 2008 adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan volume lifting minyak mentah Indonesia.

Berikut adalah hasil kajian internal BEM FE Unpad terhadap RAPBN 2008 yang diajukan oleh pemerintah, terutama mengkritisi beberapa hal “aneh” yang terkait dengan gejolak harga minyak dunia:

Dalam sebuah reportase, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan bahwa lonjakan harga minyak mentah dunia yang terus mendekati level US$ 100 per barel telah mendongkrak Pajak Penghasilan (PPh) migas tahun ini sebesar 4 –5 triliun rupiah. Menurut Darmin Nasution, kenaikan harga minyak mentah otomatis mendorong kenaikan PPh migas, khususnya pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Soalnya, kenaikan harga minyak dunia turut mengangkat harga komoditas lain seperti batubara, gas, dan minyak sawit mentah (CPO). "Penerimaan PPh migas tahun ini bisa naik Rp 4 – 5 triliun dari target APBN-P 2007. Peningkatan paling besar terjadi pada PNBP," tuturnya. Dia menambahkan, besaran penerimaan negara dari PPh migas dan pungutan ekspor (PE) CPO tetap lebih besar dibanding subsidi BBM dan listrik yang naik akibat tekanan harga minyak dunia. "Walaupun subsidi BBM dan listrik naik akibat pelonjakan harga minyak mentah, penerimaan migas masih lebih tinggi dari kenaikan subsidi," ujarnya.

Mungkin itulah yang mendasari pemerintah tetap menggunakan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barel pada RAPBN 2008. Mungkin pemerintah menggunakan data tersebut sehingga dengan hitungan matematis kenaikan penerimaan migas masih lebih tinggi dibandingkan kenaikan subsidi akibat “selisih yang disengaja”. Dikatakan demikian karena walaupun harga minyak dunia masih berada di level tinggi bahkan mencapai US$ 98 per barel, pemerintah tetap keukeuh menggunakan asumsi US$ 60 per barel.
Ini adalah sebuah hal yang aneh karena pemerintah tidak belajar dari pengalaman tahun 2007. Data di sebuah media menyebutkan bahwa dengan asumsi yang sama (US$ 60 per barel), tahun 2007 kemarin pemerintah harus mengeluarkan subsidi BBM tambahan dari Rp 55,6 triliun menjadi Rp 91 triliun, dan subsidi listrik dari Rp 32,4 triliun menjadi Rp 50 triliun. Sekarang mari kita bandingkan dengan pernyataan ditjen pajak yang mengatakan kenaikan penerimaan PPh migas sebesar Rp 4 – 5 triliun. Sudah jelas ada hal yang sangat kontradiktif terjadi di sini. Bagaimana mungkin angka satu digit dapat dikatakan lebih besar dari angka dua digit?
Dan semakin aneh lagi, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa walaupun Indonesia adalah negara pengekspor minyak, namun ironinya saat ini kita adalah tergolong negara net-importir minyak. Ya, hal ini karena kita walaupun memang mengekspor minyak mentah, tetapi mengimpor minyak siap konsumsi yang harganya tentu lebih mahal. Lalu dimanakah keuntungan yang didapat dari kenaikan harga minyak tersebut? Kemudian pemerintah dalam nota keuangan 2008 mengatakan: Harga rata-rata minyak ICP dalam tahun 2008 diperkirakan berada pada US$60 per barel. Harga ini tidak berbeda apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi rata-rata harga minyak ICP dalam RAPBN-P Tahun 2007 yang mencapai US$60 per barel. Perkiraan harga minyak mentah ICP dalam RAPBN Tahun 2008 terkait dengan perkiraan menurunnya permintaan minyak mentah internasional sejalan dengan perkiraan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 2008 dan masih tingginya harga minyak mentah internasional dalam tahun 2007.

NAMUN dalam nota keuangan yang sama di halaman yang berbeda, dikatakan: Relatif masih kondusifnya kinerja perekonomian internasional memberikan harapan positif bagi prospek perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia, harga minyak mentah internasional yang relatif stabil, serta kecenderungan kebijakan moneter global yang cenderung bias netral. Ada 2 hal yang patut dikritisi:

1. Di satu sisi pemerintah mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat. Namun di sisi lain ternyata pemerintah pun menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia masih menguat. Hal ini menjadi paradoks, karena tentu saja pemerintah tetap bertahan di angka US$ 60 per barel adalah karena asumsi pertama. Tapi hal tersebut langsung dipatahkan oleh asumsi ke dua. Mana yang sebenarnya lebih dipercaya oleh pemerintah? Jika memang yang ke dua, maka pemerintah tidak boleh bertahan di asumsi US$ 60 per barel, karena pertumbuhan ekonomi dunia yang kuat tentunya akan membutuhkan konsumsi energi yang tetap tinggi.
2. Pemerintah mengatakan bahwa asumsi US$ 60 per barel adalah ada hubungannya dengan tingginya harga minyak mentah internasional tahun2007. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa harga minyak mentah internasional relatif stabil. Bila demikian, seharusnya asumsi US$ 60 per barel tidak digunakan, karena harga di tahun 2007 mendekati angka US$ 100 per barel. Akan lebih wajar dan konsisten bila pemerintah menggunakan asumsi yang lebih dekat dengan harga minyak mentah di tahun 2007 tersebut.

Sekarang, mari kita lihat dari tinjauan logika ilmu ekonomi. Secara logika ekonomi, kenaikan harga suatu komoditi bisa disebabkan permintaan yang meningkat melebihi persediaan. Naiknya permintaan minyak dunia disebabkan karena meningkatnya kebutuhan minyak bumi untuk konsumsi maupun produksi. Di sisi persediaan, secara global cadangan minyak bumi sudah mulai menipis. Amerika bahkan mengumumkan cadangannya menurun sebesar 800 juta barel. Demikian juga dengan negara – negara produsen minyak lainnya, termasuk Indonesia.
Pemerintah jelas berharap permintaan energi dunia akan berkurang di tahun 2008 sehingga mampu menurunkan harga minyak, namun tidakkah seharusnya kita menyadari bahwa justru konsumsi energi akan banyak digunakan di tahun 2008. Sebutlah event olimpiade dunia yang akan diselenggarakan di China, sementara kita mengetahui bahwa China banyak menggunakan sumber energi dari luar negaranya. Begitu pula akan ada event euro di eropa yang juga tentunya akan menyerap energi banyak. Belum lagi siklus musim dingin dan salju yang akan tetap hadir rutin setiap tahunnya di eropa, amerika, rusia, maupun berbagai belahan dunia lainnya (dan ini disinyalir cukup membawa pengaruh kuat dalam peningkatan harga minyak).
Jika kita berbicara faktor dalam negeri, dampaknya diperparah menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia (sisi supply) yang tidak diikuti oleh menurunnya sisi permintaan (konsumsi minyak). BAHKAN pemerintah (Bappenas) pun BELUM begitu yakin apakah TARGET PRODUKSI MINYAK Indonesia sebesar 1.034 juta barel per hari bisa diwujudkan untuk meningkatkan sisi penerimaan dari pos ekspor minyak bumi. Data yang ada menunjukkan bahwa bahkan dalam APBN-P 2007 sekalipun yang menggunakan asumsi lifting sebesar 950 ribu barel per hari, ternyata hanya dapat terealisasi 910 ribu barel per hari. Lalu dari mana pemerintah mendapatkan keyakinan produksi 1 juta barel per hari?
Patut juga dicermati apa yang dikatakan oleh ekonom Faisal Basri, yang mengatakan “ Setiap kenaikan harga minyak US$ 10 per barel akan meningkatkan defisit Rp 0,4 – 0,5 triliun. Kalau tahun 2008 lifting minyak dinaikkan menjadi 1,034 juta barel per hari, akan memicu defisit yang lebih besar lagi.” Di samping itu, meningkatnya penjualan otomotif (akibat sinergi perusahaan otomotif dengan perusahaan leasing) malah makin meningkatkan konsumsi minyak bumi Indonesia. Data dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menyebutkan pada tahun 2007 sekitar 80% - 90% pembelian kendaraan dilakukan secara kredit. Hal ini berarti akan memudahkan setiap orang untuk memiliki motor ataupun mobil dan selanjutnya meningkatkan konsumsi BBM.
Pemerintah pun tampaknya harus berpikir ulang tentang inflasi yang akan terjadi. Asumsi penurunan inflasi yang terus terjadi tampaknya harus dikaji ulang. Banyak hal memang yang terkait dengan inflasi. Namun jika ditinjau dari hubungannya dengan gejolak harga minyak dunia, maka kita dapat melihat bahwa program konversi minyak tanah ke gas merupakan salah satu pemicu inflasi. Dan program tersebut merupakan tindakan pemerintah mengamankan anggaran karena tentunya akan mengurangi konsumsi minyak bumi dalam negeri dan subsidi yang diberikan. Namun ironisnya justru hal ini akan menjadi penyebab inflasi dan ketidakmakmuran masyarakat yang telah lama bergantung pada minyak tanah.
Sebagai penutup, ada beberapa hal yang pada akhirnya BEM FE Unpad sarankan:
1. Mengubah asumsi – asumsi APBN dalam besaran yang lebih realitis, terutama yang terkait dengan gejolak harga minyak dunia. Dengan mengambil asumsi yang lebih realitis, pemerintah dapat mempersiapkan rencana pemasukan dan alternatif sumber pembiayaan dengan lebih baik dan lebih awal, sehingga tidak akan menimbulkan kepanikan nantinya ketika defisit anggaran tiba – tiba membengkak.
2. Alternatif sumber pembiayaan hendaknya tidak memberatkan masyarakat. Dan tidak juga dengan merekayasa sesuatu yang pada akhirnya pun merugikan masyarakat. Tidak juga dengan memperbesar hutang berlebihan yang suatu saat nanti justru akan merugikan generasi masa depan.
3. Tingkatkan kemampuan teknologi anak bangsa sehingga minyak Indonesia tidak berharga murah di pasar internasional.
4. Tingkatkan produksi komoditas pertanian, karena ternyata saat harga minyak melambung, harga komoditas pertanian Indonesia pun melambung di pasaran dunia. Tantangan Indonesia adalah mendorong produktivitas komoditas unggulan ini.
5. Tingkatkan efisiensi pasar dan hapus ekonomi biaya tinggi. Jika efisiensi pasar baik dan supremasi hukum berjalan dengan baik, maka dampak dari kenaikan harga minyak tidak akan sebesar kalau efisiensi pasar tidak dijalankan serta berbagai pungutan liar dibiarkan begitu saja.
6. Tutup kebocoran anggaran. Pemerintah mengatakan akan melakukan penghematan anggaran departemen / lembaga pemerintah sebesar Rp 11,7 triliun, tapi tahun 2003 BPK melaporkan bahwa kebocoran APBN mencapai 150 trilliun.

JAYALAH INDONESIAKU....

- BEM FE UNPAD -