Wednesday, April 20, 2011

Dilema Opsi Kebijakan Pemerintah Terhadap BBM

Sejak setahun terakhir harga minyak dunia naik dua kali lipat dari sekitar $60 dollar per barrel menjadi sekitar $111 per barrel pada bulan Maret 2011. Sedangkan harga BBM dalam cenderung negeri tidak berubah sejak Oktober 2005.

Tim pengkaji yang terdiri dari peneliti yang dibentuk oleh pemerintah sudah telah mengajukan tiga opsi terkait dengan kebijkan pemerintah atas BBM.

Opsi yang pertama adalah dengan menaikan harga premium menjadi Rp. 500. Dengan menaikan harga BBM pemerintah bisa menghemat anggaran negara. Namun hal ini dalam jangka pendek akan menyebabkan inflasi termasuk dalam meningkatnya harga komoditi pertanian yang berimbas pada meningkatnya harga pangan. Selain itu kebijakan ini dapat memicu protes dari rakyat sehingga kebijakan cenderung tidak menjadi pilihan utama dikalangan pemerintah.

Opsi kedua adalah perpindahan konsumsi dari premium ke pertamax bagi kendaraan pribadi. Secara rasional orang akan lebih memilih lebih menggunakan premium, mengingat harga pertamax dua kali dari harga premium. Mekanisme dalam kebijakan ini akan sangat sulit karena diperlukan suatu mekanisme atau sistem dalam mendukung kebijakan ini. Selain itu masyarakat belum terbiasa untuk mengkonsumsi pertamax yang tanpa subsidi.

Sedangkan opsi ketiga, adalah melakukan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali. Penjatahan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan umum tapi juga untuk kendaraan bermotor. Arah dari kebijakan lebih mengarah kepada pengefektifan pemberian subsidi bbm. Selama ini subsidi 70% subsidi BBM dinikmati oleh keluarga menengah keatas (40% rumah tangga terkaya), sementara rakyat yang kurang mampu hanya menikmati subsidi secara tidak langsung dengan cara menggunakan transportasi umum. Namun untuk menjalankan kebijakan ini tentunya diperlukan suatu mekanisme dan pembangunan infrastruktur untuk memastikan penjatahan dengan sistem kendali. Selain menambah biaya lagi kebijakan ini harus mempunyai kejelasan dalam menjalankan dan membagi penjatahan.

Ketiga bijakan yang menjadi opsi untuk masalah BBM dalam menjalankannya lebih baik untuk disosialisasikan secara baik terlebih dahulu kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami maksud dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Opsi pertama lebih merupakan yang paling mudah dijalankan dalam jangka pendek dengan merubah harga BBM itu sendiri. Sementara itu untuk opsi kedua dan ketiga lebih mengarah kepada efektifitas penggunaan subsidi BBM. Pada opsi kedua pengefektifan arah subsidi BBM dilakukan dengan cara memindahkan konsumen menengah keatas dari menggunakan premium menjadi pertamax. Pada opsi ketiga dilakukan aturan yang lebih rigid dengan menggunakan sistem kendali agar subsidi yang tersalurkan lebih tepat sasaran. Namun dalam menentukan arahan kebijakan pemerintah seharusnya lebih melihat jangka panjang dan melihat potensi kearfian lokal yang ada. Seperti pengembangan energy alternatif dari sumber daya alam fosil selain minyak atau memanfaatkan energy alternatif dengan memanfaatkan komoditi pertanian yang melimpah di Indonesia. Namun dalam kenyataanya kebijakan seperti ini baru bisa dinikmati dalam waktu jangka panjang.

Pada akhirnya dalam menentukan kebijakannya pemerintah haruslah melibatkan rakyat dan arah kebijakannya pun harus lebih komperhensif. Alokasi subsidi pun harus lebih diefktifkan lagi untuk kesejahteraan rakyat menengah kebawah.

Departemen Polkastrad
BEM FEM IPB

Wednesday, April 13, 2011

Kebijakan Subsidi BBM : Kontradiksi Antara Kebijakan Populis dan Efektif

Polemik pengambilan kebijakan mengenai subsidi BBM merupakan isu yang sangat penting saat ini. Kebijakan ini dinilai sangat penting karena mempengaruhi banyak hal. Salah satunya adalah mekanisme penganggaran subsidi BBM pada APBN. Pengambilan kebijakan pembatasan subsidi BBM ini didasarkan pada naiknya harga minyak mentah global sebagai akibat dari krisis politik di daerah timur tengah. Hingga saat ini, harga minyak mentah jenis light sweet dan brent terus merangkak mendekati angka 100 US$/ per barrel. Jika tidak dibatasi, maka anggaran belanja pemerintah berpotensi semakin defisit. Hal ini dikarenakan tingginya harga minyak mentah yang berlaku secara global dan pola konsumsi masyarakat pada BBM bersubsidi yang semakin bertambah. Anggaran BBM bersubsidi saat ini dibatasi sejumlah 38,5 juta kiloliter per tahunnya, hal ini mengacu pada pernyataan Menteri ESDM, Darwin Zahedy Saleh ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/03/2011) . Jumlah kuota subsidi tersebut bisa saja tidak dibatasi, namun excess dari kebijakan tersebut berpotensi menambah kuota subsidi BBM hingga mencapai 42,5 juta kiloliter, jumlah ini setara dengan Rp 7 trilliun. Realisasi dari kebijakan penetapan kuota subsidi BBM hingga saat ini semakin menjauhi ekspektasi 38,5 juta KL (Kiloliter) per tahun ini. Pada kenyataannya, jumlah konsumsi solar dan premium yang disubsidi terus saja merangkak naik dari kuota yang disubsidi oleh pemerintah. Selain itu kebijakan pembatasan subsidi BBM dapat menyebabkan naiknya tingkat inflasi hingga mnecapai 6,4%-6,5% tahun ini. Meleset 1,4% dari proyeksi pemerintah sebesar 5% yoy.

Kebijakan subsidi BBM terdiri dari subsidi tiga jenis bahan bakar yang dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu premium, minyak tanah, dan solar. Ketiganya diasumsikan merupakan jenis BBM yang dikonsumsi oleh kalangan menengah kebawah. Premium dipatok dengan harga Rp 4500,-/ liter, minyak tanah dipatok dengan harga Rp 6500,-/ liter, sedangkan solar dipatok dengan harga Rp 4500,-/ liter. Kebijakan tersebut diambil dengan maksud melindungi konsumen kalangan menengah kebawah dan para pelaku industri yang masih memanfaatkan BBM dengan jenis-jenis tersebut. Alih-alih melindungi konsumen, konsumsi BBM bersubsidi justru salah sasaran. Mobil mewah dan kendaraan berpelat merah masih saja mengkonsumsi BBM jenis ini. Akibatnya kuota subsidi BBM semakin bertambah, namun permasalahannya pemerintah tak kunjung mengambil kebijakan dan hanya terus menunggu dan mengawasi pola konsumsi BBM masyarakat.

Kebijakan yang direncanakan pemerintah adalah menghimbau masyarakat kelas menengah atas yang menggunakan mobil mewah dianjurkan untuk mengkonsumsi jenis BBM lain yang tidak disubsidi yaitu Pertamax. Pertamax dipatok dengan harga Rp 7500,-/ liter dan berfluktuasi harganya sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan arus distribusi BBM bersubsidi akan mengalir pada sektor industri dan masyarakat kalangan menengah kebawah yang kurang mampu. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk membuat masyarakat mengkonsumsi pertamax cukup beragam. Opsi yang pertama adalah mengganti nama premium menjadi “bensin miskin”. Tentunya hal ini ditujukan untuk membentuk paradigma konsumsi masyarakat, namun pada kenyataannya penggantian nama ini bukanlah kebijakan yang efektif untuk dilakukan. Karena penggantian nama premium juga akan memakan biaya penggantian nama yang berlaku di seluruh SPBU yang ada di Indonesia, dan tentunya kebijakan ini justru merendahkan konsumen premium. Opsi kedua yang akan diambil oleh pemerintah yaitu pencabutan subsidi pada BBM jenis premium. Dampak dari kebijakan ini mampu menaikkan harga premium hingga hanya berselisih Rp 100-150,-/ liter dari BBM jenis pertamax. Kebijakan ini tentunya bukan kebijakan yang populer secara politik di mata masyarakat dan pemerintah. Karena kebijakan ini berpotensi menuai protes dari masyarakat dan menambah tingkat inflasi hingga 1,4% per tahun. Namun, kebijakan ini efektif karena mampu mengurangi potensi membengkaknya anggaran pemerintah sebesar 7 trilliun rupiah dan mampu merealisasikan target pembatasan BBM bersubsidi hingga 38,5 juta KL per tahun.

Pemerintah, melalui Ditjen Migas menyatakan bahwa sudah tidak mempunyai cara lain untuk menghemat penggunaan BBM. Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dinilai merupakan satu-satunya cara penghematan energi di Indonesia. Pembatasan tersebut dilaksanakan dengan menaikkan harga premium dan solar menjadi Rp 7350-7400,-/liter sehingga masyarakat mulai beralih ke pertamax dan meninggalkan premium. Badan Pusat Statistik juga menyampaikan bahwa pengambilan kebijakan tersebut tepat jika dilaksanakan pada bulan Maret-April, mengingat momentum level inflasi Indonesia masih rendah. Selain itu, negara tetangga yang sudah mengambil kebijakan menaikkan harga BBM mendesak pemerintah Indonesia melakukan hal yang serupa karena kebijakan tersebut mampu menunjukkan tingkat respon pemerintah terhadap kondisi global.
Memang pada dasarnya kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi seperti solar dan premium akan memberatkan beberapa kalangan masyarakat. Namun, kebijakan ini merupakan kebijakan paling rasional yang harus diambil. Mengingat harga minyak dunia yang terus meroket dan adanya potensi membengkaknya APBN. Pemerintah hendaknya mengambil langkah cepat dalam mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan cara segera mengambil kebijakan yang tepat sasaran dan efisien. Kebijakan tersebut satu-satunya adalah pencabutan subsidi BBM jenis premium dan solar. Kebijakan populis seperti penggantian nama dan sekedar menunggu sebetulnya sangat tidak tepat dilakukan oleh pemerintah, karena sifatnya yang tidak menyelesaikan masalah. Terlepas dari polemik kedua kebijakan tersebut, Indonesia seharusnya masih punya banyak pilihan. Yaitu dengan merevisi MoU kontraktor ladang-ladang minyak di Indonesia. Sehingga Indonesia mendapat keuntungan produksi minyak mentah lebih banyak daripada kesepakatan yang sebelumnya telah dilakukan. Hal ini harus disadari oleh semua masyarakat, karena mengingat potensi Indonesia sebagai produsen minyak mentah, sangat konyol apabila nanti kenyataannya justru Indonesia yang mengalami kelangkaan minyak dan berbagai masalah mengenai BBM.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEUI 2011

Tuesday, April 12, 2011

Licinnya Geliat Bahan Bakar Minyak

Membahas bahan bakar minyak merupakan suatu hal “rutin” dan tentunya tidak akan ada habisnya. Sumber energi yang satu ini posisinya benar-benar strategis untuk memperkuat atau sebaliknya menghancurkan nasionalisme. Mana yang dipilih, Pemerintah selaku regulator dan Masyarakat selaku customer lah yang menentukan.

Akhir 2010 lalu, peramalan dari petinggi negara maupun pakar keenergian menyatakan bahwa di awal 2011 akan terjadi kenaikan harga BBM (bukan BlackBerry Messenger, melainkan bahan bakar minyak) baik subsidi maupun non-subsidi. Prediksi tersebut muncul karena harga minyak dunia di akhir 2010 sudah mencapai 93,46 dolar AS dan terus menerus bergerak naik setiap harinya.

Memasuki tahun 2011, harga bahan bakar minyak di Indonesia terus merangkak naik seiring dengan pergerakan harga minyak dunia yang juga mengalami kenaikan yang kini berada pada kisaran di atas 100 dolar AS. Apalagi dengan terjadinya krisis politik dan kemanusiaan di beberapa negara penghasil utama minyak dunia di Timur Tengah yang kini justru makin meluas ke negara lain, bukan tidak mungkin jika di pertengahan tahun 2011 nanti minyak dunia menembus angka 145 dolar AS.

Kembali pada persoalan BBM di Indonesia, kenaikan signifikan tersebut menyebabkan harga BBM non subsidi meningkat pesat hingga di atas Rp 8.500 per liternya yang mengakibatkan masyarakat sebagai konsumen pada akhirnya lebih banyak mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Pada Maret 2011 lalu berdasarkan data BPMIGAS, penggunaan bensin premium mencapai 2,07 juta kiloliter (KL), atau naik 2,68% dibanding Februari 2011. Sementara konsumsi total BBM bersubsidi sampai Maret 2011 mencapai sekitar 9,26 juta KL, dari total kuota konsumsi BBM subsidi di 2011 yang jumlahnya 36,8 juta KL. Pada momen inilah kita dapat melihat kecermatan Pemerintah, karena jika harga minyak mencapai US$ 100 per barel, pemerintah bisa menombok subsidi untuk Premium hingga Rp 15 triliun.

Namun begitu, untuk sementara ini Pemerintah mengaku sedikit terselamatkan oleh penguatan rupiah terhadap dolar Amerika. Nilai tukar rupiah terpantau menguat dan parkir di level Rp 8.692 per USD. Namun sayangnya, masyarakat membutuhkan kepastian secepatnya terkait kondisi ini. Dan tentunya Pemerintah seharusnya tidak mau menombok hingga Rp 15 triliun.


Melihat kenyataan tersebut, muncullah beberapa wacana kebijakan, di antaranya menaikkan harga BBM atau pengalihan masyarakat kepada penggunaan Pertamax atau yang kerap diperhalus dengan pembatasan BBM bersubsidi.

Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM sama-sama akan berdampak terhadap inflasi.

Terkait pembatasaan konsumsi BBM bersubsidi, jika masyarakat biasanya membeli premium Rp 4.500 kemudian harus beralih ke Pertamax yang Rp 8.500 per liter, itu juga kenaikan yang justru lebih besar. Saat ini sekitar 50% BBM bersubsidi dikonsumsi oleh sepeda motor, padahal direncanakan sepeda motor bukan termasuk yang akan dibatasi konsumsinya. Sementara untuk angkutan umum perkotaan (angkot) hanya akan dijatah sekitar 40 liter per hari. Jumlah itu sangat minim sehingga akan mendorong awak angkot enggan bekerja. Jumlah yang dihemat relatif tidak sebanding dengan dampak buruk akibat kebijakan ini.

Sedangkan untuk wacana yang lain, misalkan Pemerintah memberi kenaikan Rp1.000 per liter, ini dapat menyebabkan subsidi turun sehingga ada penghematan sekitar Rp20 triliun. Kenaikan Rp1.000 per liter bagi sepeda motor relatif kecil dibandingkan dengan kenaikan harga beras yang terjadi akhir-akhir ini.

Fenomena berkelanjutan seperti ini sesungguhnya dapat diatasi dengan penentuan kanijakan yang jelas serta maintenance daripada kebijakan tersebut. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini sesungguhnya dapat menjadi pilihan terakhir dengan cara melakukan realokasi subsidi, belanja barang, dan modal, serta diintegrasikan dengan peningkatan penerimaan negara dari winfall profit akibat adanya kenaikan harga minyak internasional. Pemerintah pasti berpikir menaikkan harga BBM dilakukan untuk menyelamatkan anggaran negara. Penyelamatan anggaran menjadi krusial karena kemampuan belanja modal pemerintah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan menjadi harapan satu- satunya di tengah kelesuan perekonomian yang sedang melanda. Tetapi, kembali lagi seluruhnya harus disikapi dengan cermat.

Selain terkait realokasi anggaran, ada 1 hal kecil yang sesungguhnya dapat membantu meringankan beban Pemerintah. Turunnya produksi dan tidak tercapainya target lifting minyak dan gas (migas) Indonesia tahun 2011 tentunya telah memukul APBN 2011 dengan sangat telak. Target produksi minyak sebesar 970.000 barrel/hari, patut diduga hanya mencapai sekitar 860.000 barrel/hari. Hal ini tentunya harus segera diselesaikan Pemerintah bersama BPMIGAS selaku penanggungjawab hulu dan hilir migas sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Memang nampaknya ada suatu keresahan pada Pemerintah jika harus menaikkan harga BBM subsidi jika dikaitkan dengan pencitraan maupun hal sejenisnya. Namun setiap keputusan pasti ada resikonya. Dan jika tidak membuat keputusan atau menunda-nunda saja justru ongkosnya lebih mahal, apalagi denugan harga minyak dunia yang semakin meningkat.

Kementerian Jaringan Lembaga
Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Friday, April 1, 2011

Buah Simalakama Kebijakan BBM

Tujuan rencana kenaikan harga BBM adalah untuk mengurangi beban pemberian subsidi BBM dalam jumlah besar, yang selama ini dianggap selalu salah sasaran. Diperkirakan sejumlah 70 persen dari subsidi tersebut dinikmati oleh orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar sebagai konsumen BBM. Namun apakah dengan kenaikan harga BBM menjadi solusi yang baik dalam menghadapi kenaikan harga minyak mentah yang cukup tinggi di pasar dunia apalagi dengan adanya pergolakan besar di negara-negara Timur Tengah yang notabene sebagai pemproduksi minyak terbesar di dunia.

Tim independen yang dibentuk pemerintah untuk mengkaji dan meneliti hal ini mengajukan tiga opsi kebijakan atas BBM kepada pemerintah. Pertama, opsi pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp500,00. Opsi ini merupakan opsi yang paling mudah mekanismenya dan potensi anggaran yang bisa di hemat juga paling besar, sekitar 7 trilyun rupiah. Namun tentu hal ini akan menyebabkan inflasi. Ditengah gejolak harga pangan dan angka inflasi yang cukup tinggi di awal tahun maka patut juga dipertimbangkan efeknya terhadap inflasi di akhir tahun. Potensi kebocoran dari kebijakan ini juga sangat rendah. Dari kebijakan publik yang ada dapat dikatakan bahwa kebijakan inilah yang paling efektif, dalam bahasa ekonomi dead weight loss yang terjadi tidak besar. Namun secara politis kebijakan ini tidak popular.

Kedua, yaitu opsi untuk melakukan pengalihan konsumsi premium sepenuhnya ke pertamax yang tidak di subsidi. Namun, dengan melihat harga minyak yang melambung tinggi. Sehingga pertamax di pasaran telah menembus harga Rp 9000,00/Liter, dua kali harga premium. Maka agaknya akan jadi sangat sulit untuk di implementasikan. Yang jadi pertanyaaan juga adalah bagaimana mekanisme dari kebijakan ini?? Bagaimana bisa membuat orang mengkonsumsi barang yang lebih mahal demi nasionalisme?? Akan sangat susah untuk dilakukan. Belum lagi jika ternyata kebijakan ini memerlukan biaya, penghematan anggaran pun juga belum seberapa.

Ketiga, yaitu opsi untuk melakukan pembatasan penggunaan BBM. Pasalnya, implementasi opsi kebijakan ketiga tersebut cukup sulit. Dibutuhkan pengembangan infrastruktur, sistem, dan peraturan yang jelas dalam distribusi dan pembelian BBM. Opsi pembatasan merupakan upaya yang “mudah diucapkan, tetapi susah diterapkan”. Upaya untuk mengurangi volume BBM bersubsidi melalui program Kartu Kendali (smart card), selain mahal ongkosnya dan secara teknis susah diterapkan secara nasional, juga tidak menutup kemungkinan memicu perilaku moral hazard masyarakat akibat adanya disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi. Opsi pembatasan juga dianggap tidak efektif, karena biayanya juga tidak sedikit dan penghematan yang terjadi tidak banyak. Belum lagi jika melihat potensi kegagalan yang besar,masih ingat tentu tentang bagaimana carut marutnya kebijakan Bantuan Langsung Tunai.

Dalam mengatasi masalah bbm, opsi pertama dan kedua adalah opsi yang cukup mudah dan cepat dilakukan, harga menjadi suatu faktor yang cukup cepat ditanggapi oleh pasar ketimbang pembatasan kuantitas. Namun juga menjadi faktor yang berisiko karena harga juga menjadi faktor yang paling cepat mendorong kenaikan inflasi. Jika inflasi tinggi maka jelas akan mempengaruhi faktor-faktor agregat yang lain. Opsi-opsi kebijakan pemerintah tersebut seharusnya diimbangi dengan pengembangan infrastruktur dan sarana trasportasi umum yang baik, sehingga masyarakat memiliki alternatif pilihan ketika BBM naik atau dibatasi. Dalam kondisi didera kenaikan harga minyak dunia secara berkelanjutan, sudah saatnya bagi pemerintah untuh mengubah paradigma kebijakan yang selama ini cenderung responsif, parsial dan jangka pendek. Seharusnya, paradigma kebijakan pemerintah lebih antisipatif, komprehensif dan jangka panjang. Tidak bisa lagi pemerintah hanya mengembangkan kebijakan responsif dan parsial, seperti penghematan BBM saja atau kenaikan harga BBM saja atau lifting produksi BBM saja untuk merespon setiap kali terjadi kenaikan harga minyak dunia. Semestinya pemerintah mulai sekarang harus mengembangkan kebijakan yang lebih terencana. Perencanaan kebijakan itu mulai dari Program Perubahan Perilaku Hemat Energi, Lifting Produksi BBM, hingga Pengembangan BBM Alternatif yang lebih komprehensif dalam jangka panjang. Memang penerapan paradigma kebijakan tersebut tidak akan memberikan hasil instan dalam jangka pendek. Namun diharapkan pada saatnya nanti bangsa ini tidak akan “kelimpungan” lagi setiap kali dihadapkan pada permasalahan kenaikna harga minyak dunia yang cenderung semakin liar saja.

Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan tersebut tidak lepas dari kesadaran dan ketertiban pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Jika ketidaktepatan sasaran penyaluran dana kompensasi kenaikan BBM dan penyunatan dana proyek infrastruktur masih terjadi lagi, maka tujuan penyaluran subsidi yang berkeadilan tidak akan pernah tercapai. Bahkan kebijakan pengurangan subsidi tersebut justru malah berpotensi untuk merealokasikan penyaluran subsidi kepada pihak-ppihak yang tidak berhak secara illegal.

Departemen Kajian Strategis

BEM FEB UGM