Friday, April 1, 2011

Buah Simalakama Kebijakan BBM

Tujuan rencana kenaikan harga BBM adalah untuk mengurangi beban pemberian subsidi BBM dalam jumlah besar, yang selama ini dianggap selalu salah sasaran. Diperkirakan sejumlah 70 persen dari subsidi tersebut dinikmati oleh orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar sebagai konsumen BBM. Namun apakah dengan kenaikan harga BBM menjadi solusi yang baik dalam menghadapi kenaikan harga minyak mentah yang cukup tinggi di pasar dunia apalagi dengan adanya pergolakan besar di negara-negara Timur Tengah yang notabene sebagai pemproduksi minyak terbesar di dunia.

Tim independen yang dibentuk pemerintah untuk mengkaji dan meneliti hal ini mengajukan tiga opsi kebijakan atas BBM kepada pemerintah. Pertama, opsi pemerintah untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp500,00. Opsi ini merupakan opsi yang paling mudah mekanismenya dan potensi anggaran yang bisa di hemat juga paling besar, sekitar 7 trilyun rupiah. Namun tentu hal ini akan menyebabkan inflasi. Ditengah gejolak harga pangan dan angka inflasi yang cukup tinggi di awal tahun maka patut juga dipertimbangkan efeknya terhadap inflasi di akhir tahun. Potensi kebocoran dari kebijakan ini juga sangat rendah. Dari kebijakan publik yang ada dapat dikatakan bahwa kebijakan inilah yang paling efektif, dalam bahasa ekonomi dead weight loss yang terjadi tidak besar. Namun secara politis kebijakan ini tidak popular.

Kedua, yaitu opsi untuk melakukan pengalihan konsumsi premium sepenuhnya ke pertamax yang tidak di subsidi. Namun, dengan melihat harga minyak yang melambung tinggi. Sehingga pertamax di pasaran telah menembus harga Rp 9000,00/Liter, dua kali harga premium. Maka agaknya akan jadi sangat sulit untuk di implementasikan. Yang jadi pertanyaaan juga adalah bagaimana mekanisme dari kebijakan ini?? Bagaimana bisa membuat orang mengkonsumsi barang yang lebih mahal demi nasionalisme?? Akan sangat susah untuk dilakukan. Belum lagi jika ternyata kebijakan ini memerlukan biaya, penghematan anggaran pun juga belum seberapa.

Ketiga, yaitu opsi untuk melakukan pembatasan penggunaan BBM. Pasalnya, implementasi opsi kebijakan ketiga tersebut cukup sulit. Dibutuhkan pengembangan infrastruktur, sistem, dan peraturan yang jelas dalam distribusi dan pembelian BBM. Opsi pembatasan merupakan upaya yang “mudah diucapkan, tetapi susah diterapkan”. Upaya untuk mengurangi volume BBM bersubsidi melalui program Kartu Kendali (smart card), selain mahal ongkosnya dan secara teknis susah diterapkan secara nasional, juga tidak menutup kemungkinan memicu perilaku moral hazard masyarakat akibat adanya disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi. Opsi pembatasan juga dianggap tidak efektif, karena biayanya juga tidak sedikit dan penghematan yang terjadi tidak banyak. Belum lagi jika melihat potensi kegagalan yang besar,masih ingat tentu tentang bagaimana carut marutnya kebijakan Bantuan Langsung Tunai.

Dalam mengatasi masalah bbm, opsi pertama dan kedua adalah opsi yang cukup mudah dan cepat dilakukan, harga menjadi suatu faktor yang cukup cepat ditanggapi oleh pasar ketimbang pembatasan kuantitas. Namun juga menjadi faktor yang berisiko karena harga juga menjadi faktor yang paling cepat mendorong kenaikan inflasi. Jika inflasi tinggi maka jelas akan mempengaruhi faktor-faktor agregat yang lain. Opsi-opsi kebijakan pemerintah tersebut seharusnya diimbangi dengan pengembangan infrastruktur dan sarana trasportasi umum yang baik, sehingga masyarakat memiliki alternatif pilihan ketika BBM naik atau dibatasi. Dalam kondisi didera kenaikan harga minyak dunia secara berkelanjutan, sudah saatnya bagi pemerintah untuh mengubah paradigma kebijakan yang selama ini cenderung responsif, parsial dan jangka pendek. Seharusnya, paradigma kebijakan pemerintah lebih antisipatif, komprehensif dan jangka panjang. Tidak bisa lagi pemerintah hanya mengembangkan kebijakan responsif dan parsial, seperti penghematan BBM saja atau kenaikan harga BBM saja atau lifting produksi BBM saja untuk merespon setiap kali terjadi kenaikan harga minyak dunia. Semestinya pemerintah mulai sekarang harus mengembangkan kebijakan yang lebih terencana. Perencanaan kebijakan itu mulai dari Program Perubahan Perilaku Hemat Energi, Lifting Produksi BBM, hingga Pengembangan BBM Alternatif yang lebih komprehensif dalam jangka panjang. Memang penerapan paradigma kebijakan tersebut tidak akan memberikan hasil instan dalam jangka pendek. Namun diharapkan pada saatnya nanti bangsa ini tidak akan “kelimpungan” lagi setiap kali dihadapkan pada permasalahan kenaikna harga minyak dunia yang cenderung semakin liar saja.

Pada akhirnya, kebijakan-kebijakan tersebut tidak lepas dari kesadaran dan ketertiban pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Jika ketidaktepatan sasaran penyaluran dana kompensasi kenaikan BBM dan penyunatan dana proyek infrastruktur masih terjadi lagi, maka tujuan penyaluran subsidi yang berkeadilan tidak akan pernah tercapai. Bahkan kebijakan pengurangan subsidi tersebut justru malah berpotensi untuk merealokasikan penyaluran subsidi kepada pihak-ppihak yang tidak berhak secara illegal.

Departemen Kajian Strategis

BEM FEB UGM

No comments: