Wednesday, December 30, 2009

Pemulihan Ekonomi Pasca Krisis

Sebagai negara yang berada di area yang sangat kaya akan sumber daya alam, Indonesia juga dianugerahi sebagai negara yang berada di zona yang sangat rentan terhadap bencana. Kelilingi oleh gugusan gunung berapi dan lempengan benua yang aktif bergerak setiap tahun, serta laut samudera hindia yang menyimpan begitu banyak misteri membuat Indonesia selalu berada pada posisi siaga menghadapi bencana.
Seperti kita ketahui, beberapa waktu lalu salah satu provinsi di Indonesia yaitu Sumatera Barat mengalami bencana yang sangat dahsyat. Gempa berukuran besar menghantam provinsi di pesisir pulau Sumatera itu. Perekonomian menjadi lumpuh dan aktivitas penduduk menjadi terbengkalai.
Efek dari gempa bumi tersebut akan sangat dirasakan oleh masyarakat setempat, mereka tidak hanya akan mengalami trauma paska musibah tetapi juga harus memulai dari nol seluruh kehidupan mereka, termasuk kehidupan di sektor perekonomian.
Hal yang harus diperhatikan oleh segenap stakeholder tidak hanya menyangkut rehabilitasi kehidupan sosial para korban tetapi juga bagaimana agar daerah yang terkena bencana tersebut dapat menggeliatkan kembali perekonomian mereka.
Pemerintah dapat membuat beberapa kebijakan agar dapat mendukung pemulihan ekonomi pasca bencana, diantaranya:
1. Kebijakan pemberian kredit lunak kepada masyarakat.
Masyarakat pada umumnya mau memulai aktivitas perekonomian namun mereka selalu terkendala oleh modal. Dengan bantuan Kementerian Usaha Kecil dan Menengah serta Koperasi dan beberapa program pemerintah seperti PNPM Mandiri dan bantuan krdit mikro dari perbankan yang dikuasai pemerintah, stimulus ini akan mendorong perekonomian untuk lebih cepat kembali normal
2. Pemberian insentif untuk investor
Investasi yang dilakukan oleh investor adalah salah satu komponen utama dalam perekonomian karena selain memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat seperti pekerjaan, transfer teknologi dan pengetahuan, investor juga dapat menjadi sarana yang ampuh untuk mempromosikan potensi dari suatu daerah kepada investor lainnya. Reformasi birokrasi dan pemotongan waktu untuk mengurus perizinan dapat menjadi alternatif pemerintah, selain itu, bantuan fiskal seperti kebijakan tax holiday juga dapat dijadikan opsi yang tidak boleh dikesampingkan.
3. Pengawasan Bantuan
Bencana datang, bantuan mengalir. Sayangnya tidak seluruh bantuan mampu mengalir menuju tangan yang berhak mendapatkannya, oleh karena itu diperlukan sebuah pengawasan yang ketat agar segala hal yang tidak dinginkan seperti penggelapan bantuan serta korupsi dapat ditekan. Masyarakat dan pihak pemberi bantuan harus dilibatkan, apabila perlu pihak swasta dan mahasiswa juga dapat dilibatkan, apabila bantuan tepat sasaran maka pemulihan ekonomi pasca bencana akan menjadi lebih cepat.
4. Penciptaan lapangan pekerjaan dan keterbukaan akses
Masyarakat yang terkena musibah dan bencana tidak dapat dibiarkan terus menerus menerima bantuan karena hal itu akan membuat mereka bergantung pada pihak ketiga, pemerintah sebagai pemegang otoritas harus dapat menciptakan pekerjaan yang sebelumnya masyarakat miliki untuk menghidupi keseharian mereka. Libatkanlah penduduk sekitar dalam pembangunan daerah yang terkena bencana, sehingga mereka dapat terlibat dan merasakan keseriusan pemerintah dalam memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat yang terkena bencana. Uang ratusan milyar hingga triliunan yang dikucurkan pemerintah harus dapat dirasakan oleh masyakarat sekitar juga.
5. Revitalisasi sektor transportasi
Transportasi adalah salah satu hal paling krusial dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, oleh karena itu segenap stakeholder harus turut serta memperhatikan hal ini. Daerah yang terkena bencana biasanya sektor transportasinya juga mengalami akibat yang cukup parah seperti jalanan yang retak akibat gempa, longsor atau jalan yang berlubang. Arus barang yang keluar dan masuk akan terganggu sehingga aliran modal akan menjadi terhalang. Pada akhirnya investor akan malas untuk masuk karena cost yang dibayarka akan semakin besar dengan sendirinya. Pemerintah harus segera memperbaiki sektor transportasi sebagai penopang pertumbuhan ekonomi

Sesungguhnya seluruh lapisan masyarakat menginginkan perubahan dan perbaikan hidup. Yang mereka perlukan adalah komitmen bersama dari seluruh lapisan elemen yang terkait. Sehingga para korban bencana dapat kembali tersenyum pada akhirnya.

Departemen Kajian Strategis BEM FE Unpad 2009/2010

MEMBANGUN KEBIJAKAN EKSPOR YANG MENDUKUNG POTENSI INDONESIA AGAR MAMPU BERSAING DI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Apabila kita tangkap realita bahwa Indonesia dewasa ini mengalami eskalasi yang cukup pada kegiatan ekspor, namun ternyata masih menyisakan potensi besar yang masih belum tersentuh oleh kita. Indonesia harus berkompetisi dengan negara lain di bidang perdagangan, baik negara maju maupun negara berkembang. Perdagangan bebas membuka peluang bagi produsen Indonesia untuk menjual produknya ke luar negeri dan sebaliknya. Nah di sini akan dipaparkan sekelumit kebijakan yang berpotensi untuk memajukan Indonesia di persaingan dagang internasional.
- Penghapusan kebijakan bea Impor 0%

Kebijakan pemerintah mengenai bea impor sebesar 0% ini membuat para importir merasa diuntungkan dan imbasnya sangat negatif pada eksportir Indonesia yang terancam lesu kegiatan produksinya jika kebijakan ini terus dilanjutkan.

- Reformasi birokrasi di tubuh perundangan internasional

Dalam perdagangan internasional, banyak negara yang terlihat membuat aturannya sendiri. Contoh Amerika yang membuat kebijakan untuk produk kayu dan udang. Amerika menerapkan penyelidikan keaslian dengan melihat barang secara asal. Mereka menangkap 40 kontainer udang Indonesia, namun disisipi udang dari China. Itu menyebabkan pengenaan bea masuk anti-dumping dari China, padahal Indonesia tidak terkena bea masuk dari China. Belum ada batasan-batasan birokrasi yang jelas mengenai hal ini.

- Pemberlakuan sistem NSW
NSW (National Single Window), dengan sistem ini Lead Time waktu penanganan barang impor dan ekspor akan terawasi dengan baik dan tidak memakan waktu terlalu lama. Kontrol terhadap lalulintas barang ekspor-impor secara lebih baik, terutama yang terkait dengan isu terorisme, trans-national crime, drug trafficking, illegal activity, Intelectual Property Right dan perlindungan konsumen.

- Percepat penanggulangan kasus ekspor, teruntuk Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian.

Fokus dalam percepatan penanggulangan kasus ekspor ini dikhususkan Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian, karena banyak menghadapi kebijakan proteksi dari negara lain. Sebaiknya hal ini diselesaikan dengan peningkatan peran perwakilan diplomatik dan pendekatan bilateral antar negara yang bersangkutan, dengan itu kita bisa mendapatkan informasi tentang kebijakan proteksi pasar domestik di negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.

- War Trade atau memberi ancaman terhadap produk asing yang masuk ke Indonesia

Ini merupakan solusi ekstrem yang harus dilakukan pemerintah apabila situasi mencapai titik kulminasi kesenjangan, dimana dalam perdagangan bilateral sudah tidak memenuhi asas keadilan lagi. Seperti yang kita tahu, Indonesia merupakan surga bagi importir untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, oleh karena itu kedua belah pihak diharapkan memiliki kepentingan yang tidak berat sebelah satu sama lain.

- Mengecam keras keanggotaan WTO

Api globalisasi yang semakin mendidih, menjadikan kesenjangan antara negara dunia ketiga dengan negara maju terlihat semakin melebar. negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara berkembang tidak memiliki otoritas mengeluarkan suara untuk pengambilan keputusan.

- Peningkatan kualitas barang produksi

Berinovasi lebih dalam hal memproduksi suatu barang dan meningkatkan kualitas produk dengan standar yang sudah ditetapkan di negara tujuan ekspor merupakan kunci yang paling substansial dalam meraup keuntungan ekspor.

- Mempercepat pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan internasional dan jalan raya (tol).

- Pemberian fasilitas kredit untuk pengusaha lokal.

- Peningkatan promosi pada pasar (negara) lain.

- Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan mengenai standar produk kepada eksportir.

- Mengurangi pungutan liar.

Komitmen dan upaya pemerintah yang perlu didukung adalah:
- Revitalisasi pertumbuhan ekspor produk utama Indonesia.
- Perundingan penghapusan proteksi produk ekspor Indonesia di pasar ekspor sampai tahun 2014.
- Dari 2010 sampai 2019, pemerintah secara bertahap bisa mengurangi proteksinya untuk memenuhi komitmen AFTA dan APEC yang sudah ada.
- Pengurangan biaya transaksi dan ekonomi biaya tinggi dengan penuntasan deregulasi, birokrasi, dan prosedur perijinan.
- Menjamin kepastian usaha & peningkatan penegakan hukum dengan tujuan mengurangi konflik antar pengusaha dan per-lindungan utama terhadap konsumen.
- Harmonisasi peraturan perundangan antara Pusat dan Daerah.
- Peningkatan akses, perluasan pasar ekspor, dan penguatan kinerja eksportir atau calon eksportir.

Departemen Kajian Strategis BEM FE Unpad 2009/2010

Wednesday, December 16, 2009

Innovation Business Packaging dalam Mengatasi Global Warming

Sebuah persoalan bersama bumi ini, bukan hanya persoalan Ameriksa Serikat, Uni Eropa, atau China. Bumi ini sudah hampir berada di masa senjanya. Tidak hanya oleh perilaku tak bertanggung-jawab manusia, tak hanya oleh keserakahan dan klaim semena-mena atas sumber daya planet biru ini, namun juga oleh kenaikan pancaran energy dari matahari.
Sebagai homoeconomicus, kita telah melakukan kesalahan fatal dimana selama ini kita tidak memikirkan hal ini. Ternyata selama ini kita mengkonsumsi barang-barang lebih murah dari seharusnya, atau mungkin juga kita menghirup oksigen yang sebenarnya memilki harga. Setiap barang yang kita konsumsi pasti melewati minimal sebuah rantai emisi, baik itu dari pembuatannya maupun ketika pendistribusiannya, ketika menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil sebagai alat transportasinya. Bahkan sayuran yang kita konsumsi pun memakan cukup banyak bahan bakar untuk dapat sampai di meja makan kita. Rantai emisi yang dilewati setiap barang yang kita konsumsi seringkali kita anggap tidak ada, bahwa setiap gram karbon yang dihasilkan rantai tersebut tidak menimbulkan konsekuensi bagi hidup kita. Bila karbon-karbon itu menutup tirai langit lalu mengungkung panas matahari di atmosfer ini, begitu banyak konsekuensi yang harus kita tanggung. Melelehnya es di kutub yang mengganggu kestabilan ekosistem ikan di laut, meningginya permukaan air laut yang suatu saat akan menggenangi pelabuhan-pelabuhan di seluruh tepi benua, dan beribu-ribu multiplier effect lainnya dari pemanasan global yang terjadi akan menimbulkan biaya ekonomi, social, bahkan politik yang sangat tinggi. Atau di sisi yang lain, selama ini kita tidak menyadari bahwa setiap oksigen yang kita hirup adalah hasil dari fotosintesis pohon-pohon yang ada di bumi ini, di hutan-hutan, atau bahkan di pekarangan tetangga kita. Setiap pohon tersebut memerlukan lahan untuk dapat hidup, setiap lahan yang ditanami pohon memiliki opportunity cost. Bisa saja tetangga kita menebangnya lalu menggantinya dengan rumah untuk disewakan, bisa saja hutan-hutan tersebut digunduli lalu digantikan dengan perumahan dan pusat perdagangan. Setiap senyawa oksigen yang kita hidup mengandung sebuah biaya yang selama ini tidak kita bayar.
Pekerjaan besar menyelematkan bumi ini, atau lebih tepatnya menyelematkan “eksistensi manusia” telah menjadi tanggung jawab setiap negara. Setiap negara saling menekan negara lain untuk mengurangi emisinya, setiap negara memaksa setiap industrinya untuk menggunakan sumber energi terbaharui. Setiap aktivis lingkungan mengajak untuk mengurangi konsumsi listrik, mengurangi konsumsi daging, mengurangi penggunaan kendaran berbahan bakar fosil. Bukan maksud saya mengatakan berbagai tindakan tersebut buruk atau tidak tepat, bukan maksud saya untuk menghakimi bahwa kegiatan-kegiatan tersebut tidak efektif maupun solutif. Kegiatan, paksaan, dan ajakan tersebut adalah sesuatu yang tetap harus dilaksanakan, tapi mari sedikit kita evaluasi…Kegiatan-kegiatan tersebut, ajakan-ajakan tersebut biasanya tidak akan bertahan lama. Ketika isu global warming marak, memang terjadi penurunan signifikan terhadap penggunaan bahan bakar, plastik, dan daging, namun sebagian hanya rabun senja. Hanya beberapa orang yang tetap terus menjaga idealism itu. Mari kita juga evaluasi pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan pemerintah negara-negara ini terhadap tingkat konsumsi bahan bakar dan listrik. Jika pengurangan konsumsi bahan bakar fosil dan listrik hanya dilakukan di satu sisi tanpa ada insentif di lain sisi maka hanya akan menjadi penurunan kinerja perekonomian, memperlambat pemulihan krisis global, dan sangat mungkin akan menimbulkan berbagai permasalahan ekonomi dan sosial lainnya. Pemaksaan penggunaan energi alternatif tanpa ada persiapan yang matang dan jaminan yang jelas hanya akan menimbulkan penolakan dan resisten dari masyarakat. Hanya menggantungkan penyelamatan bumi ini pada semangat cinta lingkungan merupakan sesuatu yang sangat riskan.
Perlu ada suatu sistem yang menjamin seseorang mau dan mampu melakukan penyelamatan bumi ini. Inilah yang harus menjadi perhatian bagi kita. Suatu hal yang susah bila kita memaksa setiap tumah tangga untuk menggunakan panel surya sebagai pengganti listrik konvensional. Sebuah contoh yang menarik bila kita melihat kebijakan kelistrikan Jerman. Jerman membuka suatu peluang investasi bagi penyediaan kelistrikan negara tersebut. Investasi tersebut berupa investasi terhadap pemasangan sel fotovoltaik pada atap-atap rumah dan bangunan. Setiap watt yang dihasilkan sel fotovoltaik tersebut akan dikonsumsi oleh rumah tangga tersebut dan sisanya akan dialirkan ke perusahaan penyedia listrik. Listrik yang dialirkan ke perusahaan listrik akan dibeli oleh perusahaan tersebut lebih tinggi dari harga pasar selama 20 tahun, nilai pembelian tersebut senilai dengan return 8%tahun selama 20 tahun nilai investasi pemasangan sel surya yang mereka lakukan. Alhasil saat ini telah banyak terpasang sel surya pada atap-atap rumah dan gedung di Jerman. Inilah perbedaan dari kebijakan penanganan global-warming di Jerman dengan di Amerika Serikat. Di Amerika, pemerintah mengajak kaum pecinta lingkungan untuk menyelamatkan bumi ini, tapi di Jerman pemerintah mengajak para investor, rumah tangga, dan masyarakat homoeconomicus untuk membuat solusi bersama atas global-warming.
Kebijakan seperti di atas lah yang sekarang ini diperlukan bumi. Daripada membeli listrik tenaga fosil dari swasta dengan harga tinggi dan menyubsidinya ke rakyat, langkah ini jauh akan lebih tepat sasaran dan sekaligus mengembangkan perekonomian masyarakat langsung. Inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah, yaitu dalam membangun sebuah innovation business packaging. Dimana setiap inovasi harus selalu dibingkai dalam konsep bisnis yang baik sehingga menarik untuk direalisasikan. Seiringkali inovasi yang berhasil ditemukan dari sisi ilmiah dan teknologi hanya menjadi onggokan di museum atau hilang begitu saja . Disinilah seharusnya peran kita untuk dapat membangun sebuah bisnis plan pada setiap inovasi yang telah berhasil dikembangkan. Produk-produk ilmiah seperti sel fotovoltaik yang mahal tentu tidak akan menjadi barang konsumsi umum bila tidak adanya manage bisnis yang baik. Mouse tidak akan menjadi seperti sekarang bila Steve Jobs tidak membeli penemuan yang diabaikan oleh Microsoft tersebut dan membingkainya dalam konsep yang berbeda unik, dan yang paling penting dapat dijual. Sebenarnya telah cukup banyak inovasi yang dilakukan untuk dan sebagai solusi krisis energy dan global warming yang tengah melanda bumi ini namun begitu sedikit yang akhirnya menjadi tidak terealisasi akibat kurangnya dana. Inilah sebenarnya tugas pemerintah untuk dapat concern dalam innovation business packaging terutama yang menyangkut energy dan lingkungan.


Thontowi Ahmad Suhada
Kepala Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
FEB UGM

PEMANTIK API CENTURY

Century gate, sebuah kasus yang sudah menjadi bahan pembicaraan dari tingkat akar rumput hingga elit politik. Sebagai seorang akademisi, bukan pada kapasitas saya untuk melihat kasus ini sebagai sebuah konspirasi politik. Sebagai seorang akademisi saya hanya ingin mencoba mengedukasi masyarakat untuk melihat kasus ini dari koridor ekonomi dan kebijakan. Penting bagi kita ketika sudah sampai pada tingkat ini untuk kembali menilik kebelakang, untuk mencari pemicu dari berkembangnya kasus ini. Century mulai marak digunjingkan ketika begitu banyak nasabah yang merasa tertipu akibat penjualan produk keuangan Century yang ternyata illegal. Rasa kecewa terhadap manajemen Century yang tidak bertanggung jawab terhadap perbuatannya ini menarik simpati dari berbagai kalangan masyarakat. Ketika manajemen Century lepas tangan, masyarakat meminta pertanggungjawaban dari BI sebagai badan pengawas perbankan. BI berdalih bahwa mereka melarang reksadana antaboga tersebut sejak 2005 namun hal ini justru menimbulkan pertanyaan besar,mengapa suatu produk perbankan yang telah dilarang tetap bisa dijual oleh Century, bahkan untuk jangka waktu yang cukup panjang(2005-2008)?Hal inilah yang menjadi sumber prejudice awal masyarakat terhadap buruknya kredibilitas BI sebagai badan pengawas dan pengambil kebijakan perbankan, Hal inilah yang menjadi alasan untuk mempertanyakan kebijakan BI yang menyatakan Century sebagai bank gagal sistemik. Sebenarnya keputusan KSSK dan BI untuk menyatakan Century sebagai bank gagal sistemik adalah suatu hal yang wajar mengiangat kondisi perekonomian yang sedang genting saat itu. Perlu diketahui bahwa hingga saat ini, di seluruh dunia belum ada panduan baku untuk memutuskan bank gagal sistemik saat kondisi krisis1. Expert Judgement menjadi sebuah elemen yang penting dalam memutuskan suatu bank merupakan bank gagal sistemik atau bukan disaat kondisi ekonomi yang tidak stabil. Hal inilah yang menjadi kecacatan ketika Expert Judgement menjadi dipertanyakan akibat kredibilitas pengambil keputusan yang selama ini tidak dibangun dengan baik.
Pemulihan kembali kredibilitas BI adalah kunci pengungkapan kasus Century ini. Pemulihan ini hanya bisa dilakukan dengan menelusuri sumber api yang menjadi awal berkobarnya api Century, yaitu menelusuri mengapa transaksi “reksadana bodong” Century masih bisa berlangsung hingga menimbulkan banyak korban seperti ini. Jika memang ada oknum BI yang lalai atau bermain disini, segera tindak tegas dan ungkap ke publik. Hal ini penting untuk mengembalikan kepercayaan terhadap BI sehingga penjelasan dari institusi ini dapat kembali diterima masyarakat. Penjelasan rasional BI hanya akan menjadi angin lalu bila masyarakat masih menganggap BI sebagai badan yang korup dan bermasalah dan selama itu pula tindakan untuk mengungkap kasus Century ini tidak akan pernah bisa memuaskan masyarakat.
Ketika riak-riak air mulai dapat dihilangkan sehingga air menjadi jernih, maka kita akan mulai dapat melihat dasar dari kolam tersebut. Ketika prejudice-prejudice dapat mulai kita tepis maka benang merah kebenaran pun akan semakin terlihat dengan jelas. Tugas dari pemerintah adalah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga, sistem, maupun tokoh yang berperan dalam kasus Century ini, segera adili yang salah, dan buktikan bahwa semua prejudice yang timbul memang tidak terbukti kebenarannya. Menutupi kebenaran dengan sebuah kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan selanjutnya. Jika suatu kebijakan diambil memang hanya untuk kepentingan negara maka buktikan hal itu!
1Panduan yang ada hanyalah MoU dari EU(European Union) tentang penentuan sistemik, namun dari EU pun mewanti-wanti untuk tidak menerapkan panduan ini secara letter lux karena masih banyak pertimbangan yang harus dilakukan.

Thontowi Ahmad Suhada
Kepala Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
FEB UGM

CENTURY : BUKAN LAGI SEKEDAR MASALAH EKONOMI

Skandal pengucuran dana bailout bank century yang sempat meredup dari pemberitaan kini mulai ramai diperbincngkan kembali. Masyarkat kembali bertanya-tanya kenapa untuk bank sekelas century yang notabene hanya bank kecil dogelontorkan dna yang tidak sedikit untuk menyelamatkannya yaitu sekitar 6,7 trilyun rupiah. Hal ini seakan menjadi kontra social di kala banyak bencana dan msih tingginya angka kemiskinan pemerintah justru mengucurkan dana yang besar untuk hal-hal yang ternyata peruntukannya juga kurang jelas. Berbagai spekulasi mulai muncul mengenai hal ini mulai Dari aliran kucuran dana yang sekarang sudah mulai ramai diperbincangkan sampai pada RI 1.
Bahkan msalah ini sudah merambah kea rah politik praktis yang dijadikan momentum.

Dilihat dari mekanisme penggelontoran dana bail out ini secara ekonomi maupun hukum memang tidak ada pelanggran yang dilakukan. Mulai dari menteri keuangan, deputi gubernur BI sampai para ekonom pun ada yang berpendapat bahwa memang dana ini diperlukan untuk menyelamatkan century pada khususnya dan stabilitas perbankan pada umumnya. Dalam Forum Studi dan Diskusi Ekonomi Yang diadakan oleh Himpunan mhasiswa Ilmu Ekonomi UGM, A. Tony Prasetyantono ( Chief Economist BNI ) mengatakan bahwa penilaian tentang sebuah bank apakah mempunyai dampak sistemik atau tidak tergantung pada keadaan perekonomian pada masa itu. Beliau menganalogikan bahwa orang yang berkendara dengan “ngebut” (kencang)itu sangat relative penilaiannya kepada keadaan dimana ia sedang berkendara, begitu pula dengan ksus bank century, walaupun dilihat baik dari kewajiban terhadap bank lain maupun jumlah assetnya juga share terhadap kreditny masih tergolong kecil tetapi kalah kliring bank century terbukti menimbulakn rush yang tentu dapat mengancam stabilitas system moneter. Jadi bank century memang perlu untuk diselamatkan. Beliau juga mengatakan bahwa di dalam asset century yang senilai 14 trilyun tersebut ada nasabah yang mempunyai dana tabungan sebesar 2 trilyun. Secara hukum kejaksaan agung mengatakan bahwa tidak ada pelanggran hukum dalam hal ini.

Politisasi kasus ini yang belakangan ternyata melibatkan juga orang nomor satu dan dua di negeri ini juga menteri keuangan agaknya hanya sebuah manuver dari lawan politik mereka. Secara politis presiden wapres dan menkeu memang punya tanggung jawab terhadap hal ini tetapi, jika dilihat dari mekanismenya akan tidak nyambung. Ada dugaan bahwa penyalahgunaan wewenang bukan terletak pada menteri keuangan atau gubernur BI tetapi pada para pejabat-pejabat eselon baik 1,2,maupun 3 sampai 4 di depertemen keuangan dan BI ada sinyalir bahwa merekalah yang menyetir hingga akhirnya dana ini keluar. Mungkin merekalah yang punya kepentingan.

Pengalaman BLBI di 97/98 yang merugikan Negara sekitar 600 trilyun memeng menjadi momok besar saat hal yang sama terulang pada century. JIka dilihat dari sisi perbankan agaknya pbank-bank yang ada di Indonesia belum terbiasa dengan mekanisme penyelamatan semacam ini sehingga akhirnya dana yang harus dikeluarkanpun juga membengkak. Manajemen dari bank apalagi bank-bank kecil masih belum siap unutk mengelola bantuan ini. Sehingga perbaikan manajemen menjadi hal yang mutalk diperlukan. Diluar kontroversi baik seara politis maupun ekonomis dari kasus ini agaknya bangsa kita memang harus lebih banyak belajar untuk mengelola uang Negara. Masih banyak kebocoran-kebocoran ekonomi yang terjadi, dan injeksinya pun tidak dimanfaatkan dengan baik karena kurangnya SDM manajemen yang baik. Sehingga injeksinya pun menjdi berlebihan karena kebocoran belum dapat tertutup.

Haris Darmawan
Departermen Kajian Strategis
BEM FEB UGM