Sunday, May 9, 2010

Sudah Efektifkah Remunerasi

Remunerasi telah dijalankan di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) kementrian keuangan sejak enam tahun silam. Remunerasi telah dijadikan sebagai simbol reformasi birokasi di kementrian tersebut. Remunerasi sendiri berasal dari kata dalam bahasa inggris remuneration yang berarti gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja dan memberikan prestasi yang cermelang. Diharapakan dengan adanya remunerasi dapat mewujudkan sebuah birokrasi yang bersih dari Korupsi,Kolusi dan Nepotisme.

Remunerasi telah ada di masa kepemerintahan presiden Soeharto, yang pada saat itu menteri keuangannya dijabat oleh Ali Wardhana. Kebijakan Ali Wardhana saat itu merupakan pelaksanaan dari Keppres No 15/1971 yang mengatur tentang bagaimana membuat tunjangan bagi pegawai DEPKEU. Bahkan gaji pegawai DEPKEU saat itu dinaikkan sampai sembilan kali lipat.

Pada tangal 6 Agustus 2007, Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR periode 2004-2009, akhirnya menyetujui usulan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengalokasikan dana sebesar Rp 5,46 Triliun yang akan digunakan untuk reformasi birokrasi dalam kementrian keuangan.

Tetapi dalam pelakanaannya banyak sekali masalah yang timbul akibat diterapkannya kebijakan remunerasi di tiga lembaga yaitu Kementrian Keuangan, BPK dan MA. Banyak kalangan yang mempertanyakan tentang keefekifan kebijakan remunerasi ini. Beberapa masalah yang akhirnya timbul mulai membuat banyak dari kalangan masyarakat yang menyangsikan keefekifan kebijakan remunerasi dalam upaya pereformasian birokrasi yang dicanangkan oleh Sri Mulyani.

Beberapa dampak yang ditimbulkan akibat adanya remunerasi ini antara lain :

Dari segi sosial
Akan terjadi Kecemburuan sosial dan juga perlakuan diskriminatif terhadap instansi lain yang tidak memperoleh remunerasi. Dengan adanya selisih yang besar antara gaji pegawai DEPKEU dengan gaji pegawai lain pasti akan menimbulkan gap antar sesama PNS. Dengan adanya kecemburuan ini, bisa saja PNS dari instansi yang tidak memperoleh remunerasi akan menurun kinerjanya. Sebab mereka akan berpikir kalau kerja yang selama ini telah mereka lakukan kurang mendapat apresiasi dari pemerintah, dikarenakan remunerasi hanya diberikan pada lembaga tertentu saja.

Lihat saja pada Departemen keuangan sebagai perintis remunerasi 100% sejak 2007, diluar gaji bulanan PNS pegawai DEPKEU menerima tunjangan antara Rp 1,3 juta hingga Rp 46,9 juta sesuai dengan grade atau tingkatan pegawai terseut. Hal ini jauh apabila dibandingkan dengan UMK pekerja sektor indstri yang hanya memperoleh upah anatara Rp 500 ribu sampai Rp 1,5 juta perbulan.

Dari segi ekonomi
Berdasarkan data empiris, realisasi penerimaan pajak tahun 2006 dan 2007 tidak mencapai target. Dalam enam bulan pertama di tahun 2007 realisasi penerimaan pajak hanya mencapai netto Rp 155 triliun dari target Rp 411 triliun yang secara proporsional seharusnya pencapaian target penerimaan pajak semester 1 tahun 2007. Seharusnya penrimaan pajak paling tidak harus menapai 50% dari target awal yang seharusnya dicapai atau sebesar 205,5 triliun. Itu berarti shortfall sekitar Rp 50 triliun dari target awal. Demikian juga dalam APBN Pertambahan TA 2007 yang telah diputuskan dalam rapat kerja Panitia Anggaran dengan Menteri Keuangan tanggal 6 Agustus 2007 penerimaan pajak turun Rp 20,04 triliun.

Dari data diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa reformasi birokrasi yang dijalankan tidak bekerja dengan baik. Pemberian remunerasi dari APBN menjadikannya deficit, seperti di tahun 2007 defisit APBN sebesar 1,54% terhadap PBD di tahun 2007.
Dari data diatas tentunya kita berpikir kalau APBN-nya saja sudah defisit bagaimana cara pemerintah untuk memberikan remunerasi kepada pegawai DEPKEU dan juga beberapa lembaga lain yang juga mendapat remunerasi???

Jawabannya mudah ditebak, tentunya dari utang negara. Kita lihat berapa utang Indonesia saat ini. Pada tahun 2004 sebesar Rp 662 triliun, dan tahun 2005 Rp 656 triliun, sedangkan tahun 2006 Rp 748 triliun, tahun 2007 Rp 801 triliun, tahun 2008 Rp 906 triliun dan tahun 2009 Rp 920 triliun (sumber : Direktor Jenderal Penelolaan Utang / www.dmo.or.id//).

Dari data diatas terlihat kalau utang Indonesia dari tahun ketahun rata-rata meningkat. Penurunan hanya terjadi di tahun 2005 sebesar 6 triliun. Sedangkan tahun-tahun berikutnya mengalamai pelonjakan yang sangat besar. Berdasarkan data dari Ditjen Pengelolaan Utang Depkeu, 8 februari 2010, pemerintah memiliki utang US$ 169,13 miliar atau setara dengan Rp 1.589,78 triliun. Utang terdiri dari pinjaman US$ 64,93 miliar dan surat berharga $104,2 miliar.Sedangkan, pada tahun 2010 ini, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 8,270 miliar atau sekitar Rp 80 triliun. Angka ini terdiri pokok utang US$ 5,754 miliar dan bunga $ 2,517 miliar.Untuk tahun 2011, pemerintah harus membayar utang luar negeri US$ 7,474 miliar, yang terdiri pokok utang US$ 5,127 miliar dan bunga US$ 2,347 miliar.

Ironisnya, begitu besar bunga yang harus dibayar oleh pemerintah atas utang Negara tersebut. Salah satu penyebab adanya utang tersebut adalah pemberian remunerasi. Dalam APBN tahun 2010 saja utang Indonesia kepada Bank dunia sebesar Rp 12,9 triliun untuk pembiayaan remunerasi. Hal ini sungguh tragis, hanya untuk memberikan tunjangan kepada para pegawai DEPKEU dan lembaga lain yang memperoleh remunerasi pemerintah harus mengutang uang sebesar Rp 12,9 triliun kepada Bank Dunia. Tentunya utang tidak gratis dan pemerintah harus menanggung bunga atas utang tersebut.

Pemberian remunerasi juga menyebabkan adanya pengurangan dana terhadap pembangunan dan kurangnya timbal balik yang diberikan oleh pemerintah kepada para pembayar pajak. Sebab sumber pemasukan untuk APBN dari sektor pajak sebesar 70%.S ementara 60% lainnya dialokasikan untuk belanja pegawai. Dengan adanya remunerasi ini anggaran Negara untuk pembangunan tentu berkurang banyak.



Melihat realitas ini, sebaiknya perlu dikaji ulang sistem remunerasi di jajaran Kementerian Keuangan. Dan juga perlunya pembenahan internal di kementrian keuangan itu sendiri yang sampai saat ini masih mendapatkan stigma negatif di masyarakat. Selain itu pemerintah juga harus mempertimbangkan kenaikan standar gaji PNS di semua departemen sesuai dengan prinsip kelayakan dan kepatutan publik.

Dari segi hukum
Remunerasi sebenarnya sudah melanggar Tata tertib DPR pasal 37 ayat 2 huruf e , f , dan juga g. Pertama,pemberian remunerasi hanya didasarkan pada Keppres no 15/1971 yang berlaku pada masa kepemimpinan presiden soeharto. Sedangkan saat ini Keppres tersebut tidak berlaku lagi. Kedua, usulan untuk pemberian remunerasi DEPKEU RAPBN-P 2007 belum melalui pembahasan di komisi XI. Padahal komisi XI merupakan mitra kerja DEPKEU.

Selain itu pemberian remunerasi juga masih belum tepat apabila dilaksanakan saat ini di Indonesia. Sebab beberapa lembaga yang memperoleh remunerasi belum menunjukkan prestasi kinerja yang baik. Bahkan di DEPKEU yang notabene merupakan salah satu lembaga yang memperoleh remunerasi tidak menunjukkan prestasi kerja yang bagus ,malahan terjadi banyak tindak korupsi dan penyelewangan. Padahal seyogyanya remunerasi diberikan kepada para pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang baik, bukan di berikan kepada mereka yang melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang.

Dan pada akhirnya, reformasi birokrasi adalah salah satu solusi mencegah perilaku korupsi. Remunerasi merupakan salah satu aspek/bagian dari reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi tidak boleh hanya fokus pada remunerasi saja karena masih ada aspek lain dari reformasi birokrasi yaitu rekruitmen, sistem kerja, penempatan staf dan monitoring. Reformasi menyangkut semua aspek ini akan cukup efektif mencegah perilaku korupsi. Dalam reformasi birokasi harus diubah pola pikir para Pegawai Negeri Sipil. Kalau mindsetnya belum dibenahi, berapapun kenaikan gaji yang mereka peroleh akan terjadi penyelewengan juga.

By nizar al
(kastrat bem fe ub)