Sunday, February 19, 2012

Inefisiensi Perekonomian Akibat Mahalnya Ongkos Birokrasi

Salah satu masalah terbesar perekonomian Indonesia adalah inefisiensi. Penyebabnya adalah mahalnya ongkos birokrasi tingkat nasional maupun daerah. Misalnya untuk membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), kita harus meminta surat keterangan ke RT dan RW serta mengeluarkan uang, lalu meminta perizinan dari kelurahan dan bayar, lalu kecamatan dan bayar, terakhir ke kepolisian dan bayar juga. Rumitnya jalur birokrasi juga dirasakan ketika orang miskin ingin meminta jaminan kesehatan pengobatan di RS. Banyak proses yang harus dilalui seorang pasien tapi pasien yang bersangkutan sudah sakit dan butuh pertolongan secepatnya. Contoh diatas merupakan gambaran kecil mahalnya ongkos birokrasi di Indonesia.

Borosnya ongkos birokrasi bisa dilihat dari total RAPBN di tahun 2012 yang sebesar Rp1.418,5 triliun. Selain subsidi, biaya yang paling mahal dikeluarkan pemerintah adalah gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebesar Rp 104,9 triliun atau sebesar 7,4% dari total anggaran. Padahal jumlah PNS di Indonesia hanya 4.732.472 orang atau hanya sekitar 0,25 persen dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang sebanyak 119,39 juta orang. Terlihat bahwa PNS sebetulnya minoritas dengan biaya yang sangat mahal dibanding angkatan kerja non-pemerintah. Ongkos tersebut harus ditanggung oleh rakyat tak hanya lewat belanja APBN yang besar, tetapi juga biaya birokrasi dan biaya lainnya yang menyebabkan tidak efisiennya perekonomian Indonesia.

Bisa kita lihat, Pegawai Departemen Pendidikan Nasional selain guru berjumlah lebih dari 200 ribu orang dan Pegawai Departemen Agama berjumlah sekitar 180 ribu orang. Pada tingkat daerah, Pemda DKI Jakarta yang memperkerjakan lebih dari 90.000 orang pegawai hanya untuk mengurusi wilayah yang luasnya 65.000 hektar. Data-data tersebut menunjukkan betapa birokrasi di Indonesia sangat mahal dan sangat jauh dari efisiensi. Apakah Indonesia membutuhkan birokrat sebanyak itu untuk mengurusi masalah-masalah yang tidak kunjung selesai?

Oleh karena itu, mengurangi jumlah PNS adalah langkah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dengan cara membatasi input pegawai baru dengan sangat ketat. Memakai sistem kontrak bisa membuat PNS menjadi terpacu mengejar target dan meningkatkan kinerja. Jika gagal, PNS bisa diberhentikan. Sistem aman kepegawaian PNS yang ada selama ini cenderung melumpuhkan kreativitas dan kinerja PNS. Jadi, dengan sistem ini motivasi PNS tidak lagi disibukkan dengan bagaimana meningkatkan pendapatan tambahan dari sistem birokrasi yang ada tetapi disibukkan dengan peningkatan kinerja dan produktivitas.

Selain itu yang tidak kalah penting, aturan kepegawaian bahwa PNS tidak bisa dipecat harus dihapuskan. Hal ini harus disertai dengan memperkuat jabatan fungsional dan memotong jabatan struktural. Dengan ini, pegawai yang punya kinerja bagus bisa dipromosikan sementara yang kinerjanya buruk bisa dipecat. Dengan ini pemerintah bisa menghemat puluhan triliun APBN. Efek lainnya, berkurangnya PNS berarti memudahkan pengawasan dan pencegahan terhadap KKN. Dengan berkurangnya jumlah PNS, belanja atribut juga bisa dihemat dan aset yang berlebih saat ini bisa disumbangkan pada yang membutuhkan.

Bagaimana dengan penghasilan PNS yang kontraknya selesai? Apakah akan menimbulkan pengangguran baru? Solusinya adalah pelatihan wirausaha secara berkala bagi para PNS sejak awal bekerja. Pelatihan wirausaha ini bisa disesuaikan dengan bisnis-bisnis yang modalnya sesuai dengan besarnya penghasilan yang diberikan pemerintah. Dengan ini, PNS yang setelah habis masa kontraknya bisa langsung memulai bisnisnya. Jadi, dengan mengatasi masalah yang baru pemerintah tidak menimbulkan masalah yang baru lagi, tapi memuncukan alternatif baru yang solutif. Anggaran gaji PNS yang dikurangi bisa digunakan untuk infrastruktur, pendidikan, dan sektor lainnya yang lebih produktif. Selain itu, jumlah wirausaha di Indonesia bisa meningkat dan lapangan kerja yang baru bisa tersedia.

Referensi:

http://www.pengumuman-cpns.com

http://cpnsindonesia.com

http://economy.okezone.com

http://www.bappedajakarta.go.id

http://www.anggaran.depkeu.go.id

http://www.antaranews.com

BEM Kema FE Unpad

Saturday, February 18, 2012

Bagaimana Wajah Birokrasi Kita?

“The only thing that saves us from the bureaucracy is inefficiency. An efficient bureaucracy is the greatest threat to liberty.”
Eugene McCarthy

“Bureaucracy is the art of making the possible impossible.”
Javier Pascual Salcedo

Manusia di dunia ini hidup dalam sebuah sistem. Terbentuknya sistem yang seharusnya memudahkan itu biasanya dijalankan oleh pegawai pemerintah di suatu negara dan amat bergantung pada hirarki atau jenjang jabatan. Itulah yang disebut dengan birokrasi. Salah satu definisi harafiahnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Dari pengertiannya saja birokrasi dapat dikategorikan cukup rumit. Coba perhatikan ungkapan di atas, birokrasi adalah seni membuat sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin, dengan kata lain penuh permainan, kotor, dan tidak beradab. Benarkah seperti itu?

Di Indonesia sendiri, permasalahan birokrasi masih menjadi kendala utama bagi masyarakat dalam mendapatkan kemudahan berusaha, pembuatan identitas, hingga pengurusan perizinan. Semua hal tersebut memerlukan sebuah proses panjang yang bisa dikatakan kurang efisien. Buruknya citra birokrasi Indonesia tercermin dalam rendahnya pelayanan publik dewasa ini. Berbagai program dan langkah telah dilakukan pemerintah, perlahan memang ada kemajuan namun belum signifikan. Bahkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara ditambahkan fungsinya menjadi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi semata untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.

Sebenarnya, secara kebermanfaatan, birokrasi adalah upaya terbaik dalam mensistematiskan, mempermudah, mempercepat, mendukung, mengefektifkan, dan mengefisienkan pencapaian tujuan-tujuan pemerintahan. Salah satunya dengan memudahkan masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk memperoleh layanan dan perlindungan. Indikator inilah yang nantinya dapat menjelaskan apakah birokrasi menjadi penyebab inefisiensi pemerintah, utamanya pemerintah daerah. Banyak variabel yang diperlukan untuk menjabarkannya. Menurut Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia menempati peringkat ke-155 dari 183 negara untuk memulai sebuah usaha dan peringkat ke-131 dari 183 negara dalam kemudahan pembayaran pajak. Peringkat ini jauh dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Malaysia yang telah bertengger di peringkat dua puluh besar. Selain itu, baru-baru ini World Economic Forum (WEF) mempublikasikan laporan tahunan mengenai daya saing global, yaitu The Global Competitiveness Report 2011-2012, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 4 dari 6 negara di Asia Tenggara yang masuk dalam perhitungan survey. Salah satu kelompok indikatornya adalah kelompok penopang efisiensi, dengan elemen institusi sebagai salah satu di dalamnya.

Jika kita ingin memberikan contoh dimana letak buruknya birokrasi Indonesia, coba tengok proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) di daerah masing-masing. Biaya pembuatan yang seharusnya terjangkau menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dari seharusnya akibat ulah oknum maupun keinginan pengaju untuk menjalani proses yang lebih cepat. Sebenarnya, ada beberapa faktor yang membuat hal ini terjadi, diantaranya: “paksaan” dari petugas untuk mempersingkat proses melalui uang “pelicin” sehingga terjadilah suap. Inilah lemahnya birokrasi, membutuhkan proses yang panjang dan menjadi celah timbulnya KKN; masyarakat sendiri tak ingin bertele-tele dalam proses sehingga rela mengeluarkan biaya lebih untuk menempuh jalur pintas. Kesempatan ini digunakan dengan memposisikan diri sebagai penyuap yang otomatis turut menyuburkan korupsi; dan terakhir lemahnya pengawasan meskipun regulasi yang ada mungkin telah cukup jelas dan rinci. Disitulah letak “kecolongan” kembali birokrasi melalui SDM nya yang masih berkualitas bawah.

Marilah kita kembalikan lagi apa sebetulnya fungsi dari birokrasi. Mengefisienkan sebuah sistem pemerintahan. Terlihat dari indeks persepsi korupsi oleh Transparency International tahun 2011, Indonesia menempati peringkat ke-100 bersama sebelas negara lain dengan nilai 3,0 (skala 0 paling korupsi – 10 paling bersih) yang tergolong masih cukup parah. Dari penilaian ini, korupsi tercipta salah satunya dari proses birokrasi yang sulit dan disengajakan panjang untuk menambah pundi-pundi mereka yang tidak bertanggung jawab. Efisiensi pemerintah daerah perlu ditelaah lebih lanjut, melalui bagaimana penyaluran APBD nya, bagaimana pengelolaan keuangannya, dan lain sebagainya. Birokrasi hanya merupakan salah satu penentu yang diibaratkan kunci dari segala pintu.

Masalah ini tentunya dapat diselesaikan dengan berbagai langkah konkret dan konsisten. Misalnya, pembentukan layanan pengaduan yang lebih efektif, pengefektifan “meja” dalam sebuah alur pengajuan suatu permohonan, hingga tindakan sangat tegas kepada petugas yang berani melakukan tindakan melawan hukum atau di luar undang-undang. Transparansi publik dan akuntabilitas juga merupakan syarat mutlak yang dapat meningkatkan peranan kontrol sosial masyarakat demi menuju terciptanya sistem birokrasi ideal. Negeri ini memang membutuhkan sebuah gebrakan kuat yang tidak bisa lagi memaklumi sana-sini. Perlu dukungan riil dari berbagai pihak terutama masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dunia birokrasi. Dengan tekad, usaha, dan keyakinan yang bulat niscaya perwujudan sebuah negara yang lebih baik dan bersih akan tercipta. Birokrasi bukan masalah waktu ataupun materi tapi perihal kemauan untuk melayani dengan hati.


Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor

Wednesday, February 15, 2012

Birokrasi di Indonesia yang Makin Rumit

Patologi Birokrasi : Penyakit Pemerintah Daerah
Jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan di tahun 2011, jumlah PNS di pusat maupun di daerah kurang-lebih mencapai 4,7 juta. Dengan adanya kenaikan jumlah PNS tersebut diharapkan terjadi peningkatan kualitas akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, pada kenyataannya kenaikan jumlah PNS lebih berdampak pada proses penggemukan birokrasi pemerintah daerah tanpa adanya efektifitas kerja pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dari hasil survei integritas yang dilakukan oleh KPK bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia baru mencapai skor 6,31 dari skala 10 untuk instansi daerah. Indikator penilaian dalam survei integritas ini antara lain pengalaman korupsi, cara pandang terhadap korupsi, lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu dan pencegahan korupsi.
Berdasarkan Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia berada pada peringkat 121 dari 183 dalam kemudahan berusaha. Jauh tertinggal dengan Malaysia yang ada diperingkat 21 dan Thailand pada peringkat 19, atau bahkan Singapura yang menduduki peringkat 1. Padahal dengan kekayaan Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia, investor global dapat menjadi Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi.
Survey Doing Business mempunyai indikator survei yang mencakup kemudahan memulai usaha, menutup usaha, mendaftarkan properti, membayar pajak, melindungi investor, perdagangan lintas batas, perijinan konstruksi, mendapatkan pinjaman, dan pelaksanaan kontrak. Diperoleh data bahwa di DKI Jakarta sebagai representasi Indonesia, untuk memulai usaha harus melalui 9 prosedur dengan 60 hari kerja. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia terlalu berbelit dan membutuhkan waktu lama sehingga menjadi salah satu hambatan penanaman investasi di Indonesia.
Dalam pemerintahan daerah pun muncul beberapa macam patologi birokrasi. Terdapat 5 klasifikasi patologi birokrasi menurut Siagian yaitu persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi, tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan, manifestasi perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional, dan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan.
Bentuk dari Patologi persepsi dan gaya manajerial pejabat antara lain adalah penyalahgunaan wewenang dan jabatan, praktek KKN, serta rendahnya kredibilitas. Patologi kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi berbentuk rendahnya produktifitas, kurang cekatan, dan ketidaktelitian. Patologi tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundang-undangan sangat jelas berbentuk praktek korupsi, dan mark up anggaran. Konspirasi serta tidak disiplin adalah bentuk dari patologi manifestasi perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Sedangkan patologi akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan antara lain eksploitasi bawahan dan kondisi kerja yang kurang kondusif.
Patologi birokrasi yang muncul tersebut kemudian menunjukkan bahwa PNS memiliki kualitas SDM yang kurang. Dalam hal akademis mungkin PNS memang mempunyai kualitas yang baik, dapat dilihat dari kriteria CPNS yang ditetapkan oleh pemerintah. Namun dalam hal kualitas pribadi, bisa dibilang bahwa PNS masih perlu meningkatkan lagi kualitasnya. Dapat dilihat dari lima macam patologi birokrasi yang muncul, kesemuanya berkaitan dengan kualitas pribadi CPNS.
Dengan kualitas akuntabilitas yang kurang memuaskan serta patologi yang timbul, PNS tetap memperoleh alokasi dana yang cukup besar dalam APBD. Dana tersebut diperoleh melalui remunerasi, kenaikan gaji pegawai serta tunjangan pegawai daerah yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kenaikan jumlah PNS daerah tiap tahunnya terus meningkat, maka dana APBD juga akan meningkat.
Padahal menurut data Indonesian Corruption Watch pada tahun 2011, pegawai negeri menduduki peringkat pertama pelaku korupsi dengan 239 kasus. Pemerintah daerah juga ada di peringkat pertama 264 kasus. Demikian pula dengan jumlah kerugian paling banyak yang diderita oleh pemerintah daerah dengan jumlah kerugian mencapai 657,7 M. Ironi, bagaimana pemerintah daerah dapat menjadi tempat maraknya korupsi sedangkan alokasi dana APBD cukup besar untuk penghasilan serta berbagai tunjangan yang diperoleh PNS daerah yang terus meningkat tiap tahunnya.
Sesungguhnya solusi dari inefektifitas pemerintah daerah telah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Didalamnya terdapat metode pelaksanaannya, sasaran lima tahunan serta ukuran keberhasilan. Tujuan dari reformasi birokrasi tersebut adalah untuk mewujudkan Good Govermence di Indonesia, sehingga birokrasi dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan efektifitas kerja serta tidak lagi menjadi hambatan perkembangan daerah.
Maka dari itu, perlu adanya kesuksesan dari reformasi birokrasi sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025. Dengan suksesnya reformasi birokrasi tersebut, maka tujuan memberikan kontribusi nyata pada capaian kinerja pemerintahan dan pembangunan nasional dan daerah akan tercapai serta tercipta pemerintah daerah yang efektif.

Reformasi Birokrasi demi Terciptanya Good Local Governance
Birokrasi. Suatu kata yang sederhana namun mencerminkan berbagai macam kerumitan, tidak terkecuali di Indonesia dan provinsi-provinsi di dalamnya. Birokrasi merupakan salah satu inti permasalahan yang menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan di pusat maupun di daerah tidak berjalan dengan semestinya.
Pada pemerintahan daerah misalnya, demokrasi yang menuntut pemda untuk bisa menjalankan pemerintahannya secara mandiri dan lebih dekat dengan masyarakat itu terkendala masalah birokrasi yang menyebabkan pelaksanaanya tidak efektif dan efisien. Bagaimana tidak? Konsep desentralisasi yang digadang-gadang akan mampu melahirkan masyarakat yang aspiratif dan apresiatif tersebut justru memberikan peluang bagi para aparatur daerah untuk menyalahgunakan wewenang, misalnya dengan cara korupsi dan suap-menyuap. Masalah lain yang kita hadapi adalah kinerja pelayanan publik yang buruk akibat berkurangnya kredibilitas birokrat terkait etos kerja yang rendah dan tindakan indisipliner mereka. Belum lagi masalah birokrasi yang berbelit-belit dan prosesnya yang lama, hal itu sudah tidak relevan lagi dengan masyarakat yang menginginkan proses yang mudah dan cepat.
Birokrasi yang buruk itu tadi akan mempengaruhi berbagai macam kegiatan fundamental yang bisa berdampak pada kerugian daerah itu sendiri. Misalnya, birokrasi yang koruptif, rumit, dan lama akan mengurangi daya tarik investor untuk menginvestasikan modalnya ke daerah tersebut, mereka tidak mau menghabiskan sebagian besar dananya hanya untuk ‘mempermulus’ jalan mereka dalam berinvestasi. Akibatnya, daerah itupun tidak bisa berharap banyak pada investor luar daerah untuk membantu pembangunan ekonomi daerah tersebut. Selain itu, dari internal daerah pun, masyarakat akan sulit berkembang karena setiap kegiatan mereka terhambat oleh masalah birokrasi, entah itu dalam dunia usaha maupun keperluan lainnya. Masyarakat akhirnya mengalami kesan negatif dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah akibat pelayanan publiknya yang tidak memuaskan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama terkait dengan aspek-aspek kelembagaan, tata laksana, dan sumber daya manusia aparaturnya atau dengan kata lain: reformasi birokrasi. Dalam mewujudkan reformasi birokrasi ini, ada banyak langkah yang harus ditempuh, antara lain: menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola good governance agar birokrasinya pun lebih tepat dan tidak berbelit-belit; optimalisasi penggunaan IT untuk menciptakan sistem yang lebih terintegrasi, cepat, dan mudah; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menjalankan mekanisme kontrol yang efektif guna melahirkan aparatur yang kompeten dan disiplin. Apabila pengembangan SDM aparatur mampu berjalan dengan baik, akan terbentuk perilaku aparat yang bertanggung jawab, berintegritas tinggi, dan mampu memberikan pelayanan yang terbaik.
Memang, reformasi birokrasi ini harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, tidak bisa secara instant menginginkan untuk mengubah sistem yang sudah mengakar kuat. Tetapi, secara keseluruhan, apabila reformasi birokrasi ini benar-benar sukses merombak birokrasi lama yang buruk itu, maka bukan mustahil apabila di pemerintahan akan bisa tercipta birokrasi yang bersih, efisien, efektif, responsible, transparan, dan benar-benar melayani masyarakat. Dengan begitu, pemerintah daerah pun bisa menjalankan fungsinya sebagai fasilitator masyarakat sesuai amanah otonomi daerah dengan semestinya.

Government as Entrepreneur: Solusi Mengatasi Inefisiensi Birokrasi
Ketika saya membaca salah satu surat kabar yang saat itu menyajikan data mengenai komponen anggaran suatu pemerintah daerah, saya mencoba melihat komponen pengeluaran pemerintah daerah tersebut. Saat itu saya melihat bahwa porsi pengeluaran pemerintah daerah untuk anggaran belanja pegawai mencapai 75%. Saat itu saya belum begitu mengetahui apa itu anggaran belanja pegawai, saya berpikir bahwa itu positif, berarti pemerintah memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Setelah itu saya mencoba googling, mengidentifikasi apa yang telah saya baca di surat kabar tadi. Betapa mengejutkannya setelah hasil indentifikasi saya menunjukkan ada suatu masalah dan ketimpangan yang bisa kita simpulkan dari sajian data pemerintah daerah tersebut. Terlalu besarnya porsi pengeluaran pemerintah untuk keperluan menggaji pegawainya, yang merupakan salah satu bagian dari permasalahan negara ini yaitu inefisiensi birokrasi.
Ada tiga masalah yang menjadi faktor penghambat keleluasaan berkembangnya usaha di suatu daerah yaitu 1) Korupsi, 2) Inefisiensi Birokrasi, 3) Infrastruktur yang kurang memadai. Tiga hal ini harus bisa dijadikan warning bagi pemerintah daerah, karena selama tiga masalah ini belum diselesaikan, pengembangan usaha di daerah tersebut akan terhambat dan tentu ini bukan indikator yang baik untuk kemajuan daerah tersebut.
Inefisiensi birokrasi, sulit mencerna istilah ini secara definisi karena arti dari inefisiensi birokrasi adalah penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintahan daerah yang kurang efisien. Cukup abstrak apabila kita menelaah secara istilah saja, banyak peristiwa yang terjadi di sekitar kita cukup menerangkan apa itu inefisiensi birokrasi, seperti pengurusan KTP di kantor kecamatan yang membutuhkan waktu lama, kemudian pengurusan izin bangunan/tanah yang kita beli dengan istilah ‘lebih tinggi bayarnya, lebih cepat selesainya’, dll. Secara makro, kita dapat lihat bagaimana susunan anggaran pemerintah daerah, yang tidak ‘pro rakyat’, cenderung menjadikan kepentingan pejabat birokrasi dan stafnya sebagai porsi pembelanjaan utama. Hal ini yang menyebabkan bagaimana otonomi daerah yang diharapkan mengantarkan kesejahteraan lebih dekat dan terasa oleh rakyat justru menjadi keleluasaan pemerintah daerah mengatur kepentingan mereka sendiri, tanpa memberikan pelayanan terpadu kepada masyarakat. Lihat juga bagaimana prosedural masih menjadi masalah bagi pengembangan usaha dan iklim bisnis di daerah sehingga terlihat sekali bagaimana ketidakefisienan terjadi, pejabat birokrasi dibayar tinggi, kesejahteraan selalu ditingkatkan tanpa ada feedback berupa peningkatan kinerja yang signifikan.
Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana kita bisa mengatasi masalah inefisiensi birokrasi? Satu hal, tumbuhkanlah semangat ”Government as enterpreneur” di Indonesia. Artinya adalah tanamkan sikap bahwa birokrasi bersifat melayani, bukan dilayani. Ada dua efek yang bisa ditumbulkan dari prinsip baru ini, yang pertama adalah bagaimana pemerintah daerah dapat membuat kebijakan pengaturan anggaran belanja pegawai secara taktis, dalam arti buat sistem insentif bagi pegawai pemerintah yang produktif dan mampu menunjukkan kinerja baik dalam kegiatannya melayani masyarakat. Sistem penilaian ini bisa dilakukan pemerintah maupun digulirkan kepada masyarakat itu sendiri, sehingga hanya pegawai, atau instansi yang menunjukkan kinerja pelayanan baik kepada masyarakat yang mendapatkan tambahan tunjangan. Sesuai dengan prinsip ekonomi “people respond to incentives”, kebijakan ini dapat mewujudkan iklim kompetisi sehat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Kedua adalah bagaimana sistem pemberian insentif tadi ini juga mewujudkan efisiensi anggaran, selektivitas pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai lebih tinggi sehingga tidak semua pegawai diberikan pendapatan sama tingginya, tetapi hanya dengan indikator kinerja yang baik saja yang diberikan insentif berupa tunjangan tambahan. Hasil efisiensi anggaran tadi itulah yang bisa diarahkan untuk pembangunan fasilitas atau infrastruktur untuk masyarakat, serta menggerakkkan roda perekonomian riil demi kemajuan daerah. Selain itu, terdapat banyak multiplier effect lain yang dapat dihasilkan dari prinsip tadi, yaitu iklim usaha yang kondusif karena pelayanan terpadu, kesejahteraan masyarakat meningkat, dll. Prinsip like an enterpreneur yang selalu ingin berkompetisi, memberikan yang terbaik, serta taktis dalam melahirkan inovasi handal ini yang diharapkan dari penyelenggaraan birokrasi, tidak hanya di daerah, tetapi juga di pusat. Apabila ini terwujud, maka kesejahteraan masyarakat pun bukan sekedar embel-embel janji seorang birokrat ketika terpilih, tetapi sebuah hasil nyata berkat peran pemerintah yang prima untuk melayani masyarakat.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM