Thursday, November 8, 2012

Mencla-Menclenya Pemerintah dibalik Revisi Permen ESDM



Pada 6 Februari 2012, menteri ESDM Jero Wacik menetapkan peraturan Menteri no 7 tahun 2012  yang berisi tentang larangan ekspor produk-produk tambang jenis tertentu dalam kondisi mentah.
Pasal 3 ayat 1
Peningkatan  nilai  tambah  komoditas  tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2  dapat berupa:
a.    Pengolahan  dan/  atau  pemurnian  untuk  Jenis komoditas tambang mineral logam tertentu;
b.    Pengolahan  untuk  jenis  komoditas  tambang  mineral bukan logam tertentu; dan
c.    Pengolahan  untuk  jenis  komoditas  tambang  batuan tertentu. 
Pasal 3 ayat 4
Jenis  komoditas  tambang  mineral  logam  tertentu sebagaimana dimaksud  pada ayat  (1)  huruf a  antara  lain bijih:
       a.  tembaga;
       b.  emas;
       c.  perak;
       d.  timah;
       e.  timbal dan seng;
       f.  kromium;
       g.  molibdenum;
       h.  platinum group metal;
       i.  bauksit;
       j.  bijih besi;
       k.  pasir besi;
       l.  nikel danl  atau kobalt;
       m.  mangan; dan
       n.  antimon.
à Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa sebelum diekspor ke 14 barang tambang diatas harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu.
Pasal4 ayat 1
Setiap  jenis  komoditas  tambang  mineral  logam  tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3  ayat (4)  wajib diolah dan/  atau  dimurnikan  sesuai  dengan batasan  minimum pengolahan  dan/  atau  pemurnian  sebagaimana  tercantum dalam Lampiran  I  yang  merupakan  bagian  tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
à Batasan minimum pengolahan yang dimaksud dalam ayat ini adalah 99,85% untuk mineral timah
Apabila perusahaan pertambangan melanggar pasal pasal diatas, maka akan dikenai sanksi, seperti yang terdapat pada pasal 16 ayat 4
Pasal 16 ayat 4 
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),  dan ayat (3)  berupa:
a.       Peringatan tertulis;
b.      Penghentian  sementara kegiatan  pengolahan dan/  atau pemurnian  atau kegiatan  pengangkutan  dan penjualan; dan/atau
c.       Pencabutan  IUP  Operasi  Produksi,  IUPK  Operasi Produksi,  IUP  Operasi  Produksi  khusus  untuk pengolahan  dan/  atau  pemurnian,  atau  IUP  Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

Namun, 3 bulan kemudian, yaitu pada 16 Mei 2012, Jero Wacik merevisi Permen tersebut dengan menetapkan Peraturan Menteri no 11 tahun 2012. Isi permen ini yaitu memperbolehkan perusahaan pertambangan untuk mengekspor bahan tambang mentah dengan syarat telah mendapat rekomendasi dari menteri.
       Isi revisi
      Diantara  Pasal  21  dan  Pasal  22  disisipkan  1  (satu)  Pasal yakni Pasal 21A, yang berbunyi sebagai    berikut:
       Pasal 21A
      Pemegang  IUP  Operasi  Produksi  dan  IPR  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 21  dapat  menjual      bijih  (raw material  atau  ore)  mineral  ke  luar negeri  apabila telah mendapatkan  rekomendasi  dari  Menteri  c.q.  Direktur Jenderal.
         Dengan adanya revisi ini, pemerintah terkesan setengah setengah dalam melarang ekspor barang tambang mentah. Menurut pemerintah, alasan revisi tersebut adalah agar para perusahaan pertambangan tidak mengalami kebangkrutan (karena dilarang ekspor barang tambang mentah). Karena apabila perusahaan tambang bangkrut, maka akan terjadi PHK besar besaran.
         Untuk menghindari hal tersebut, Pemerintah seharusnya berfikir matang sebelum membuat seuatu peraturan. Mempertimbangkan dampak yang akan terjadi dari peraturan tersebut bagi rakyat banyak. Pembuatan peraturan hendaknya bukan didasarkan pada kepentingan golongan golongan tertentu saja. Melainkan juga harus didasarkan pada kepentingan rakyat. Sehingga tidak ada pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan.


Oleh
Belinda Della
Kastrat BEM FE UNS

Investor Asing sebagai Solusi Realistis ?




          Polemik migas tak henti-hentinya “mewarnai” kehidupan bangsa Indonesia sepanjang tahun 2012 ini. Dimulai dari gemparnya masyarakat Indonesia terkait isu kenaikan BBM serta kontrak kerjasama migas yang didominasi asing dan merugikan masyarakat di lingkungan penghasil migas. Ujung pangkal permasalahan ini adalah tingginya permintaan akan minyak sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia serta semakin mudahnya sistem perkreditan kendaraan di Indonesia. Di sisi lain, kapasitas produksi minyak Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan minyak dalam negeri sehingga kebijakan impor diberlakukan oleh pemerintah.

         Solusi lain adalah menaikkan kapasitas produksi minyak Indonesia melalui industri yang bergerak di sektor perminyakan. Hal ini tidak gampang dilakukan oleh industri dalam negeri mengingat industri minyak merupakan industri yang padat modal. Berdasarkann alasan tersebut,  Indonesia menjadi ladang empuk bagi investor asing melakukan aksinya. Pemerintah melalui UU Migas seolah membebaskan bagi siapa saja tindak “pencurian” migas tersebut. Seperti yang dikatakan Dr. Kurtubi dalam kesempatannya membedah UU Migas di Gedung DPR RI, dia memberi contoh yaitu pasal 12 UU Migas No 22/2001 yang menyatakan bahwa kuasa pertambangan boleh diserahkan ke pihak asing. Namun pasal 12 ini sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

        Walaupun pasal tersebut telah dicabut, masih ada cara lain untuk melegalkan para investor asing “menggaruk’’ ladang tambang dan minyak kita, yaitu dengan membentuk suatu badan yang bukan merupakan perusahaan pengelola minyak yaitu BP Migas. BP Migas secara gamblang menyatakan dukungannya terhadap investor asing karena dinilai menyelamatkan produksi minyak Indonesia. Pernyataanya dalam kuliah umum (18/10/12) di Auditorium UNS menerangkan bahwa mereka tidak anti nasionalis, tetapi berpikir realistis. Realistis karena industri minyak merupakan industri yang membutuhkan dana besar sedangkan pemerintah dirasa tidak mampu menanggung biaya tersebut.
           Investor asing seolah merupakan solusi realistis yang dijadikan alasan untuk mendapatkan modal tanpa peduli apakah kerjasama yang dilakukan menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama masyarakat di lingkungan penghasil migas atau tidak. Pasal lain yang dinilai bermasalah menurut D. Kurtubi adalah UU Migas No. 22/2001 yang menjelaskan bahwa kontraktor asing boleh memperpanjang kontrak 20 tahun berikutnya. UU ini semakin menguntungkan asing karena dikuatkan oleh Pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004 dimana pengajuan perpanjangan itu boleh diajukan 10 tahun sebelum sebuah kontrak kerjasama selesai.

         Indonesia memiliki potensi kekayaan migas hanya saja belum bisa memakmurkan bangsa ini karena regulasi yang justru memungkinkan “perampokan” secara legal.Indonesia perlu berbenah. Baik dari segi regulasi, pelaksanana/ pengelola produksi migas maupun pengguna (masyarakat). Regulasi harus dibuat sebagaimana mestinya, pengelola juga tidak hanya berpikir relalistis tetapi juga berpikir nasionalis karena bagaimanapun juga Indonesia perlu mandiri; berpijak di kaki sendiri; serta bagi masyarakat hendaknya mampu menghemat penggunanaan minyak, terlebih lagi yang bersubsidi karena sejatinya juga akan berpengaruh pada tidak sehatnya APBN. Kerjasama semua pihak mutlak diperlukan.
HIDUP MAHASISWA!


Oleh
Dewi Adhayanti
Kastrat BEM FE UNS

Wednesday, November 7, 2012

Arah Pembangunan Energi Nasional



Oleh: Resti Yanuar Akhir (Staf Departemen Kajian Strategis BEM FEM IPB)

Energi merupakan sumber utama dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Membahas energi tak akan pernah habis untuk dikupas tuntas dan dikaji lebih mendalam.  Menurut  Merzan A. Iskandar, Kepala BPPT mengungkapkan kebutuhan energi tahun 2030 diperkirakan mencapai tiga kali lipat dari kebutuhan tahun 2010 yaitu hampir mencapai 3000 juta SBM per tahun. Hal ini menandakan bahwa  pada tahun 2030, kebutuhan energi sesuai skenario MP3EI diperkirakan akan mencapai 1,5 kali kebutuhan energi. Begitupun sumber energi fosil masih mendominasi pasokan energi tahun 2030 yaitu sekitar 82%.  Energi di Indonesia tidak lepas dari polemik  minyak bumi, gas, dan BBM. Pembangunan infrastruktur  di Indonesia  mengikutsertakan para pelaku pembangunan dalam menyukseskan ketahanan energi yang kian hari semakin terbatas kuantitasnya dan biaya yang mahal untuk bahan bakar minyak (BBM) sebagai sumber energi utama. Permintaan konsumsi BBM terus meningkat,sementara kemampuan produksi minyak bumi nasional cenderung menurun dan  minyak dunia cenderung mengalami fluktuasi kenaikan harga. Pembangunan infrastruktur dalam menyediakan kebutuhan energi  juga diperlukan untuk mendukung ketahanan energi di masa depan seperti penambahan kapasitas pembangkit listrik, kapasitas kilang minyak, kilang LNG, terminal LNG dan pelabuhan batubara.
Konsumsi energi di Indonesia masih tergantung pada persediaan sumber energi BBM. Diramalkan bahwa anggaran dana jebol karena dipaksa menyubsidi BBM rakyat yang setiap tahun meningkat. Pemerintah Indonesia sendiri menyadari akan adanya ancaman besar terhadap persediaan energi nasional yang masih terfokus pada minyak bumi. Sementara pemanfaatan sumber energi baru yang relatif murah dan berpotensi besar seperti panas bumi, panas surya, bahan bakar nabati belum dilaksanakan secara optimal. Langkah pemerintah dalam meluncurkan blueprint Pengelolaan Energi Nasional yang ditargetkan tahun 2005-2025 juga masih diperbincangkan. Target konsumsi BBM tahun 2025 turun menjadi 26,2 persen. Energi lain sebesar 73,9 persen berasal dari energi alternatif. Perinciannya yaitu gas bumi 30,6 persen, batu bara 32,7 persen, PLTA 2,4 persen, panas bumi 3,8 persen, dan biofuel, tenaga  surya, serta tenaga angin 4,4 persen (Republika, edisi 7 November 2012). 
Tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini adalah bagaimana menciptakan keseimbangan rantai pasokan energi dengan akses masyarakat terhadap energi. Dalam bidang agribisnis dikenal dengan nama Supply Chain Management atau rantai pasokan. Melihat kondisi sumber daya alam dan geografis wilayah Indonesia maka pengembangan energi terbarukan berbasis potensi lokal harus perlu ditingkatkan dan dioptimalkan persediaannya. Energi alternatif, contoh bahan bakar nabati dari produk singkong tidak hanya fokus dalam bidang pangan namun bagaimana singkong tersebut dioptimalkan prosesnya untuk dikembangkan menjadi energi biofuel sehingga hasil produksi singkong untuk energi dapat bermanfaat bagi masyarakat dan menciptakan kegiatan ekonomi lokal. Oleh karena itu masalah energi ini sangat krusial perlu peran penting pemerintah pusat, pemerintah daerah,dan BUMN saling menyinergikan untuk pembangunan energi terbarukan yang berkelanjutan.
Pada tahun 2008 Indonesia memproduksi minyak bumi sebanyak 357 juta barel, mengekspor minyak mentah 146 juta barel, mengimpor minyak mentah 93 juta barel dan bahan bakar minyak (BBM) 153 juta barel serta mengkonsumsi BBM sebanyak 457 juta barel (sumber: ESDM 2009). Terdapat defisit sebesar 100 juta barel per tahun. Padahal terbukti cadangan minyak Indonesia hanya 3,7 milliar barel atau 0,3 persen cadangan terbukti dunia. Rendahnya cadangan terbukti minyak salah satunya disebabkan karena sistem fiskal (tidak fleksibel) dan iklim investasi yang tidak menarik. Semakin mahalnya harga BBM mengharuskan Indonesia untuk mengembangkan sumber energi lain. Adapun solusi yang bisa diharapkan untuk memaksimalkan persediaan energi yaitu implementasi penghematan BBM baik digunakan untuk kendaraan, peralatan. Kemudian mengoptimalkan sumber daya energi potensi lokal, sistem keberpihakan politik energi bagi kepentingan dalam negeri seperti dari 900 ribu barel per hari minyak hanya 20 persen dikuasai oleh Pertamina. Oleh karena itu bila masa kontrak habis harus segera diputuskan dan diserahkan kepada Pertamina. Perilaku konsumen yang hanya terpatok pada satu sumber seperti BBM juga perlu dikurangi, di Indonesia sendiri lebih banyak memiliki sumber energi lain seperti batu bara, gas, panas bumi, bahan bakar nabati dan sebagainya. Keterlibatan Pemerintah daerah secara aktif dalam pembangunan energi terutama kebutuhan listrik masyarakat juga akan menciptakan hubungan harmonis antara pemerintah daerah dengan masyarakat.

Sampai Kapan Kita Harus Bertahan?


Oleh: Lundu Manurung (Staf Departemen Kajian Strategis BEM FEM IPB)

Bila dilihat dari perkembangan dari tahun ke tahun jumlah anggaran yang dipakai untuk subsidi energi meningkat tajam. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk subsidi untuk dalam RAPBN 2013 direncanakan Rp316,1 T, meningkat 18% dari belanja subsidi dalam APBNP 2012 sebesar Rp268,1 T (termasuk cadangan risiko energi Rp23 T pada belanja lain-lain), atau naik lebih dari 2 kali lipat dibanding realisasi tahun 2007 (Rp150,2 T). Jumlah anggaran subsidi pada RAPBN 2013  dialokasikan untuk subsidi BBM dan Gas Rp193,8 T; subsidi listrik Rp80,9 T; dan subsidi non-energi Rp41,4 T. Di dalam RAPBN 2013 adanya subsidi untuk gas padahal pada APBN 2012 tidak dimasukkan yang menambah beban anggaran negara . Ini sungguh sangat miris dan bertolak belakang dengan program yang telah dibuat oleh pemerintah. Dapat dikatakan pemerintah gagal menekan atau mengurangi jumlah subsidi energi khususnya di bidang migas dimana terjadi peningkatan yang signifikan setiap tahunnya tetapi tidak diikuti dengan alternatif atau solusi yang tepat dan efisien. Padahal untuk menjaga APBN yang sehat dan meningkatkan dana pembangunan, maka perlu pengurangan subsidi energi.
Sebenarnya jumlah anggaran untuk subsidi dapat dialihkan guna meningkatkan dana pembangunan dan sektor-sektor riil yang menyentuh langsung ke masyarakat. Contohnya, penambahan dana guna menggulangi dan mengurangi kemisikinan, layanan kesehatan murah untuk masyarakat, dan meningkatkan ketahanan pangan. Bila melihat Malaysia, 5% anggaran pembangunan sektor sosial pemerintah adalah untuk kesehatan masyarakat dimana untuk memperbaiki rumah sakit yang ada, membangun dan melengkapi rumah sakit baru, pertambahan klinik umum, perbaikan pelatihan dan perluasan pelayanan jarak jauh, dan biaya kesehatan murah bagi masyarakat. Program seperti ini lebih berdampak riil kepada masyarakat daripada membiayai subsidi energi migas yang hanya terbuang percuma tanpa adanya nilai tambah ouput nasional. Subsidi energi juga dapat dialihkan ke sektor pertanian dimana jumlah tenaga kerja diserap dan tingkat kemisikinan juga sangat tinggi melanda sektor pertanian. Oleh sebab itu pemerintah dapat mengalihkan dana untuk membentuk karakter petani yang mandiri dan solutif dengan mendorong kemajuan UMKM yang bekerjasama dengan petani  dan pembangunan desa mandiri sehingga meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia.
Ada beberapa hal yang dilakukan guna mengurangi dan mengalihkan subsidi energi khususnya BBM. Dari 3 tahun yang lalu sudah mulai dilakukan yaitu menaikkan harga BBM. Hal ini akan memberikan dampak negatif dan dampak positif. Dampak negatif dari kenaikan ini terjadi pada jangka pendek yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi yang nantinya turut menaikkan harga barang baku dan umum sehingga daya beli masyarakat menurun dan tingkat pengangguran bertambah. Akan tetapi menurut Gever (1991), meningkatnya harga BBM akan mengurangi beban pemerintah sehingga pemerintah dapat dengan bebas membuat kebijakan fiscal untuk mengejar target distribusi manfaat yang tepat sasaran sehingga menggairakan perekonomian demi terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu akan mendorong investasi penggunaan serta produksi yang efisien.

MASIHKAH KITA HANYA BERDIAM DIRI MELIHAT KONDISI PEREKONOMIAN KITA?