Showing posts with label FE UI. Show all posts
Showing posts with label FE UI. Show all posts

Saturday, March 31, 2012

Simulasi alokasi dana subsidi untuk sektor pendidikan

Simulasi alokasi dana subsidi untuk sektor pendidikan


Pemerintah merencanakan kenaikan harga BBM bersubsidi per 1 April 2012. Rencananya pemerintah akan mencabut subsidi sebesar 33% atau sekitar Rp 1.500/liter. saat ini harga BBM bersubsidi untuk premium dipatok diharga Rp 4.500/liter. Jika pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 1.500/liter, maka harga premium akan menjadi Rp.6000/liter. Hal itu akan memicu kenaikan inflasi sebesar 2,15%, penurunan daya beli 2,10%, kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 0,98%, dan penghematan subsidi BBM nasional sebesar Rp 31,58 triliun. Dari total penghematan subsidi rencananya 40%-nya, akan digunakan sebagai BLSM(Bantuan Langsung Sementara Masyarakat)/transfer payment sebagai cara untuk meredam shock yang menimpa 20% masyarakat ekonomi terbawah saat harga BBM melonjak naik. Masyarakat miskin tersebut diharapkan dapat mempertahankan daya belinya sembari menunggu dampak dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah. sisanya untuk memacu perekonomian Indonesia dengan melakukan belanja modal pada sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, Kajian kali ini hanya akan membatasi pada pemanfaatan di sektor pendidikan.

Sektor pendidikan adalah satu dari sekian banyak sektor yang perannya sangat vital dalam suatu Negara. Dari sifat waktunya, sektor ini memiliki dua peran, yaitu untuk short term dan untuk long term. Short term-nya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat menyesuaikan dengan keadaan zaman. Sedangkan untuk long term-nya adalah untuk menyiapkan generasi-generasi muda masyarakat yang diharapkan dapat melanjutkan estafet perjuangan bangsa dari generasi-generasi sekarang.

Mengenai kenaikan BBM, peran pendidikan untuk jangka waktu pendek(short term) sangatlah dibutuhkan. Terutama untuk mengedukasi masyarakat dalam pemanfaatan BLSM bagi masyarakat ekonomi terbawah. Karena jika kita melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya dalam pembagian BLT(Bantuan Langsung Tunai), masyarakat cenderung memposisikan BLT sebagai tunjangan per bulan mereka. Artinya dana dari pemerintah digunakan untuk konsumsi mereka dalam jangka pendek. Hal itu tentu tidak sesuai dengan harapan agar dana itu dapat digunakan untuk modal usaha masyarakat. Oleh karena itulah peran pendidikan diperlukan. Bentuknya bisa berupa pengedukasian masyarakat tentang potensi-potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai mata pencahariaan tetap. Sehingga diharapkan bantuan dari pemerintah benar-benar bersifat sementara. Dan masyarakat pun tidak bersifat ketergantungan dengan bantuan itu.


SIM4C

PDB

0.21%

RT

0.32%

Tenaga Kerja

0.31%

IHK

0.08%

Kemiskinan

-0.03%

Mengenai kemungkinan adanya pengalokasian dana penghematan subsidi untuk sektor pendidikan, salah satu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rus’an Nasruddin telah membuat suatu simulasi. Berikut simulasinya:

· Peningkatan harga premium sebesar 10% dan dana penghematan subsidi dialokasikan untuk peningkatan sektor pendidikan dan kesehatan (SIM4C).

Model SIM4C memperlihatkan tentang simulasi jika 60% dana penghematan subsidi dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Adanya sektor kesehatan disini berdasarkan logika agar pendidikan yang ada dapat optimal, maka masyarakat harus dalam keadaan sehat. Oleh karena itu sektor pendidikan dan kesehatan perlu untuk disatukan dalam simulasi ini.

Berdasarkan simulasi kita dapat melihat bahwa akan terjadi pertumbuhan PDB(Produk Domestik Bruto) sebesar 0.21%. selain itu juga ada peningkatan IHK(Indeks Harga Konsumen) sebesar 0.08% dan mengurangi kemiskinan sebesar 0.03%

Hasil simulasi untuk SIM4C merupakan hasil yang terbaik jika dibandingkan dengan simulasi lainnya:


SIM 4A

SIM 4B

SIM4C

SIM4D

SIM5E

PDB

0.04%

0.08%

0.21%

0.14%

0.13%

RT

0.03%

-0.12%

0.32%

0.40%

0.16%

Tenaga Kerja

-0.01%

-0.19%

0.31%

0.17%

0.17%

IHK

0.00%

-0.03%

0.08%

0.08%

-0.05%

Kemiskinan

-0.01%

0.00%

-0.03%

-0.003%

-0.02%

· Peningkatan harga premium sebesar 10% dan dana penghematan subsidi dialokasikan untuk pengeluaran pemerintah secara proporsional (SIM4A).

· Peningkatan harga premium sebesar 10% dan dana penghematan subsidi dialokasikan untuk pengembangan sektor infrastruktur melalui peningkatan kapital (SIM4B).

· Peningkatan harga premium sebesar 10% dan dana penghematan subsidi dialokasikan untuk peningkatan sektor pendidikan dan kesehatan (SIM4C).

· Peningkatan harga premium sebesar 10% dan dana penghematan subsidi dialokasikan untuk transfer langsung ke rumah tangga (SIM4D).

· Peningkatan harga premium sebesar 10% dan dana penghematan subsidi dialokasikan untuk subsidi sektor transportasi darat (SIM4E).

Hasil simulasi ini dapat membuktikan betapa signifikannya pengaruh pendidikan terhadap perkembangan ekonomi nasional. Hal itu diperlihatkan dengan meningkatnya PDB dan IHK. Namun tentu hal ini dapat terlaksana jika 40% dari dana penghematan subsidi benar-benar dialokasikan dengan baik dengan pengawasan yang ketat.

Oleh karena itu diharapkan jika pada saatnya harga BBM harus naik, pemerintah dapat mengalokasikan dana penghematan subsidi dengan baik dan benar. Baik dari perencanann maupun pengeksekusiannya. Sehingga diharapkan kejadian-kejadian ricuh pada saat pembagian BLT kemarin tidak terulang. Selain itu semoga masyarakat juga dapat lebih diedukasi lagi dalam pemanfaatan BLSM. Agar apa yang direncanakan dapat dicapai dengan maksimal.

Sumber:

Kajian Subsidi BBM Rus’an Nasruddin

Kajian subsidi BBM BEM FEUI 2011

Departemen Kajian Strategis BEM FEUI

Wednesday, April 13, 2011

Kebijakan Subsidi BBM : Kontradiksi Antara Kebijakan Populis dan Efektif

Polemik pengambilan kebijakan mengenai subsidi BBM merupakan isu yang sangat penting saat ini. Kebijakan ini dinilai sangat penting karena mempengaruhi banyak hal. Salah satunya adalah mekanisme penganggaran subsidi BBM pada APBN. Pengambilan kebijakan pembatasan subsidi BBM ini didasarkan pada naiknya harga minyak mentah global sebagai akibat dari krisis politik di daerah timur tengah. Hingga saat ini, harga minyak mentah jenis light sweet dan brent terus merangkak mendekati angka 100 US$/ per barrel. Jika tidak dibatasi, maka anggaran belanja pemerintah berpotensi semakin defisit. Hal ini dikarenakan tingginya harga minyak mentah yang berlaku secara global dan pola konsumsi masyarakat pada BBM bersubsidi yang semakin bertambah. Anggaran BBM bersubsidi saat ini dibatasi sejumlah 38,5 juta kiloliter per tahunnya, hal ini mengacu pada pernyataan Menteri ESDM, Darwin Zahedy Saleh ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/03/2011) . Jumlah kuota subsidi tersebut bisa saja tidak dibatasi, namun excess dari kebijakan tersebut berpotensi menambah kuota subsidi BBM hingga mencapai 42,5 juta kiloliter, jumlah ini setara dengan Rp 7 trilliun. Realisasi dari kebijakan penetapan kuota subsidi BBM hingga saat ini semakin menjauhi ekspektasi 38,5 juta KL (Kiloliter) per tahun ini. Pada kenyataannya, jumlah konsumsi solar dan premium yang disubsidi terus saja merangkak naik dari kuota yang disubsidi oleh pemerintah. Selain itu kebijakan pembatasan subsidi BBM dapat menyebabkan naiknya tingkat inflasi hingga mnecapai 6,4%-6,5% tahun ini. Meleset 1,4% dari proyeksi pemerintah sebesar 5% yoy.

Kebijakan subsidi BBM terdiri dari subsidi tiga jenis bahan bakar yang dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu premium, minyak tanah, dan solar. Ketiganya diasumsikan merupakan jenis BBM yang dikonsumsi oleh kalangan menengah kebawah. Premium dipatok dengan harga Rp 4500,-/ liter, minyak tanah dipatok dengan harga Rp 6500,-/ liter, sedangkan solar dipatok dengan harga Rp 4500,-/ liter. Kebijakan tersebut diambil dengan maksud melindungi konsumen kalangan menengah kebawah dan para pelaku industri yang masih memanfaatkan BBM dengan jenis-jenis tersebut. Alih-alih melindungi konsumen, konsumsi BBM bersubsidi justru salah sasaran. Mobil mewah dan kendaraan berpelat merah masih saja mengkonsumsi BBM jenis ini. Akibatnya kuota subsidi BBM semakin bertambah, namun permasalahannya pemerintah tak kunjung mengambil kebijakan dan hanya terus menunggu dan mengawasi pola konsumsi BBM masyarakat.

Kebijakan yang direncanakan pemerintah adalah menghimbau masyarakat kelas menengah atas yang menggunakan mobil mewah dianjurkan untuk mengkonsumsi jenis BBM lain yang tidak disubsidi yaitu Pertamax. Pertamax dipatok dengan harga Rp 7500,-/ liter dan berfluktuasi harganya sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan arus distribusi BBM bersubsidi akan mengalir pada sektor industri dan masyarakat kalangan menengah kebawah yang kurang mampu. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk membuat masyarakat mengkonsumsi pertamax cukup beragam. Opsi yang pertama adalah mengganti nama premium menjadi “bensin miskin”. Tentunya hal ini ditujukan untuk membentuk paradigma konsumsi masyarakat, namun pada kenyataannya penggantian nama ini bukanlah kebijakan yang efektif untuk dilakukan. Karena penggantian nama premium juga akan memakan biaya penggantian nama yang berlaku di seluruh SPBU yang ada di Indonesia, dan tentunya kebijakan ini justru merendahkan konsumen premium. Opsi kedua yang akan diambil oleh pemerintah yaitu pencabutan subsidi pada BBM jenis premium. Dampak dari kebijakan ini mampu menaikkan harga premium hingga hanya berselisih Rp 100-150,-/ liter dari BBM jenis pertamax. Kebijakan ini tentunya bukan kebijakan yang populer secara politik di mata masyarakat dan pemerintah. Karena kebijakan ini berpotensi menuai protes dari masyarakat dan menambah tingkat inflasi hingga 1,4% per tahun. Namun, kebijakan ini efektif karena mampu mengurangi potensi membengkaknya anggaran pemerintah sebesar 7 trilliun rupiah dan mampu merealisasikan target pembatasan BBM bersubsidi hingga 38,5 juta KL per tahun.

Pemerintah, melalui Ditjen Migas menyatakan bahwa sudah tidak mempunyai cara lain untuk menghemat penggunaan BBM. Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dinilai merupakan satu-satunya cara penghematan energi di Indonesia. Pembatasan tersebut dilaksanakan dengan menaikkan harga premium dan solar menjadi Rp 7350-7400,-/liter sehingga masyarakat mulai beralih ke pertamax dan meninggalkan premium. Badan Pusat Statistik juga menyampaikan bahwa pengambilan kebijakan tersebut tepat jika dilaksanakan pada bulan Maret-April, mengingat momentum level inflasi Indonesia masih rendah. Selain itu, negara tetangga yang sudah mengambil kebijakan menaikkan harga BBM mendesak pemerintah Indonesia melakukan hal yang serupa karena kebijakan tersebut mampu menunjukkan tingkat respon pemerintah terhadap kondisi global.
Memang pada dasarnya kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi seperti solar dan premium akan memberatkan beberapa kalangan masyarakat. Namun, kebijakan ini merupakan kebijakan paling rasional yang harus diambil. Mengingat harga minyak dunia yang terus meroket dan adanya potensi membengkaknya APBN. Pemerintah hendaknya mengambil langkah cepat dalam mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan cara segera mengambil kebijakan yang tepat sasaran dan efisien. Kebijakan tersebut satu-satunya adalah pencabutan subsidi BBM jenis premium dan solar. Kebijakan populis seperti penggantian nama dan sekedar menunggu sebetulnya sangat tidak tepat dilakukan oleh pemerintah, karena sifatnya yang tidak menyelesaikan masalah. Terlepas dari polemik kedua kebijakan tersebut, Indonesia seharusnya masih punya banyak pilihan. Yaitu dengan merevisi MoU kontraktor ladang-ladang minyak di Indonesia. Sehingga Indonesia mendapat keuntungan produksi minyak mentah lebih banyak daripada kesepakatan yang sebelumnya telah dilakukan. Hal ini harus disadari oleh semua masyarakat, karena mengingat potensi Indonesia sebagai produsen minyak mentah, sangat konyol apabila nanti kenyataannya justru Indonesia yang mengalami kelangkaan minyak dan berbagai masalah mengenai BBM.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEUI 2011

Friday, March 12, 2010

Sistem Demokrasi Berbiaya Mahal

Jika tahun 2008 adalah ajang pencarian sosok gubernur ‘favorit’, tahun 2009 menjadi ajang demokrasi nasional di mana seluruh rakyat Indonesia (yang telah memenuhi syarat) menentukan pemimpinnya di balik bilik suara, maka tahun 2010 ini juga tak kalah panas oleh hawa politik. Hanya saja lingkupnya lebih kecil, yaitu tingkat Dati II ( Daerah Tingkat II ) atau tingkat kabupaten/ kota. Setidaknya ada 244 daerah di seluruh pelosok negeri yang merayakan proses demokrasi secara langsung ini.
Pemilihan Kepala Daerah ( selanjutnya disebut Pilkada ) secara langsung merupakan ekses dari dibukanya keran demokrasi selebar-lebarnya sejak era Reformasi. Masyarakat masing-masing daerah kini dapat menentukan pilihannya sendiri dengan menggunakan hak suara yang mereka miliki. Tentunya mereka harus mengenal visi-misi dan bagaimana sosok calon-calon pemimpin daerah mereka, sebelum benar-benar mencontreng. Inilah salah satu kelebihan dari pilkada secara langsung. Rakyat dapat benar-benar menilai dan memahami calon pemimpinnya. Selain itu, rakyat juga dapat mengetahui program-program yang menyokong kemajuan daerahnya yang dijanjikan oleh calon-calon kepala daerah, dengan begitu masyarakat dapat dengan mudah mongontrol perkembangan raihan-raihan yang telah dikerjakan pemimpinnya. Masyarakat juga dapat mengambil pelajaran dari proses politik yang ada di daerah mereka masing-masing. Hal seperti ini yang sulit ditemui dalam pilkada tertutup yang ditentukan dalam forum DPRD.
Banyak masalah yang terjadi pada penerapan pilkada langsung ini. Dari sisi pemilih misalnya, banyak masyarakat yang tidak masuk DPT, pemutakhiran data pemilih amat buruk, banyak pemilih ganda, pemilih fiktif, dll. Dari sisi lainnya juga terlihat banyak masalah, di antaranya curi start kampanye, money politic, black campaigne, aksi-aksi kekerasan, transparansi keuangan bermasalah, dan terutama yang diindikasikan terjadi di Kota Depok oleh ICW adalah praktik korupsi yang dilakukan KPU. Hal ini membuat kita perlu mempertanyakan proses demokratisasi yang tercipta dari pemilu langsung seperti ini. Perlu dianalisis kembali apakah benefit yang dihasilkan sistem ini sudah lebih besar dari cost yang dikeluarkannya. Karena jika tidak, yang didapat negeri ini hanyalah kerugian, sehingga perlu penataan dan perbaikan untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas dari sistem ini agar menghasilkan output yang optimal.
Pilkada langsung tentu memakan jauh lebih besar biaya dibandingkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Kota Depok pada tahun 2005 menghabiskan anggaran sebesar Rp 14 milyar untuk pemilihan langsung, sedangkan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, hanya menghabiskan anggaran kurang lebih sebesar Rp. 1 milyar (Pemkot Depok, 2005). Untuk pilkada langsung tahun ini KPU kota Depok mendapat dana Rp 33 milyar dari pemerintah kota depok. Sungguh angka fantastis. Penulis setuju dengan pelaksanaan pemilu secara langsung, tapi menurut penulis angka sebesar itu terlalu besar untuk skala pemilu. Masih banyak sektor-sektor penting lain yang lebih membutuhkan dana itu. Sehingga dibutuhkan suatu metode yang lebih efisien namun tidak mengebiri proses demokratisasi untuk sistem pilkada langsung.
Salah satu solusi yang baik untuk efisiensi anggaran pilkada –seperti yang telah dilakukan beberapa daerah- adalah dengan penggabungan pilkada yang dapat menghemat anggaran hingga 65% pada salah satu daerah di Indonesia.contonya di Sumatra Barat, dengan penggabungan pemilihan gubernur dengan 13 pemilihan bupati/wali kota bisa menghemat 65% dari 196 miliar yang dibutuhkan menjadi Rp59 miliar. "Anggaran bisa dihemat hingga 65% untuk biaya honor, distribusi logistik, dan sosialisasi. Sebenarnya pada 2005, kami juga sudah melakukan penggabungan pemilihan gubernur dengan 11 pemilihan bupati/wali kota yang waktu itu dari Rp101 miliar dihemat menjadi Rp23 miliar," kata Ketua KPU Sumbar Marzul Veri. (media indonesia 19/12/2009). Hal yang sama juga perna dilakukan di daerah-daerah lain seperti Kalimantan Tengah yang menggabungkan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/walikota sehingga bisa menghemat anggaran sampai 24 miliar rupiah.
Selain itu, sistem e-voting, terbukti telah menjadi metode pemilihan langsung yang sangat efisien. Di Indonesia, metode ini digunakan pada pemilihan kepala dusun di kabupaten Jembrana beberapa waktu yang lalu. Terbukti e-voting dapat menekan biaya karena tidak memerlukan kertas dan tinta, waktu yang digunakan saat pemilihan hingga penghitungan juga relatif lebih singkat. Anggaran dapat dihemat lebih dari 60 persen. Pemakaian kartu penduduk berbasis chip pun tidak memungkinkan seseorang menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali.
Hal ini membuat penulis merekomendasikan e-voting menjadi metode pemilihan kepala daerah secara langsung. Meskipun secara teknis bukan mencontreng atau mencoblos, tapi yang paling penting secara substansi masyarakat tetap melakukan pemilihan wakilnya secara langsung. Memang belum semua daerah di Indonesia bisa menerapkan sistem ini, tapi kota-kota yang sistem jaringan informasinya sudah baik tentu bisa menerapkannya, termasuk kota Depok. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana mensosialisasikan dan mengajarkan metode ini pada masyarakat. Selebihnya penulis yakin metode ini akan memberikan dampak yang sangat positif bagi penerapan pilkada dan pemilu langsung di Indonesia, terutama dari sisi efisiensinya.
Namun dari semua itu yang terpenting adalah bagaimana nantinya solusi ini bisa diaplikasikan ke semua daerah yang melaksanakan pilkada. Dengan kata lain akan ada efisiensi biaya yang merata di setiap daerah di Indonesia. Hal itu akan menguntungkan daerah tersebut, dan anggaran yang dihemat bisa di salurkan untuk kepentingan yang lain. Karena yang terpenting dalam pemilihan kepala daerah adalah terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan kemeriahan yang berlebihan dalam pelaksanaan pemilihan yang nantinya hanya akan selesai dalam satu kali contrengan.

Departemen Kajian Strategis
BEM FE UI 2010

Thursday, February 11, 2010

Lecutan Perbaikan, Berbenah di Tengah Perlombaan ACFTA

Isu ASEAN-China Free Trade Agreement merupakan isu nan panas akhir-akhir ini. Mulai dari pembicaraan selalu-lalang saja sampai diskursus yang berbau politis, mencoba mencongkel isu ini untuk diangkat ke permukaan. Pemberlakuannya yang dimulai sejak 1 Januari 2010 lalu, yang pada saat itu masih berada dalam masa 100 hari kepemimpinan Presiden SBY-Boediono menjadi satu aspek wacana yang cukup hangat untuk dipolitisir. Beberapa oposan oportunis terhadap pemerintahan incumbent ini mencoba mengkait-kaitkan kegagalan pemerintahan dalam menentukan sikap terhadap isu ACFTA dengan kepentingan mereka sendiri demi kekuasaan pragmatis demi mengharapkan adanya revolusi yang terakselerasi secara signifikan.
Beberapa ahli dan pengamat mulai intensif ambil bagian sejak akhir bulan Desember tahun lalu. Mengingat isu ini yang sungguh strategis karena dianggap mampu mengancam industri lokal yang tak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri.
Sekilas membedah negara China, merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang saat ini berjumlah 1,3 milyar, tentu dapat dibayangkan betapa banyaknya SDM yang dapat digunakan untuk membuat berputarnya roda perekonomian yang ada disana. Negara yang berhaluan komunis ini memang memilki pemerintahan yang cukup cerdik dalam mengelola sumber daya alamnya. Di saat Indonesia dengan bangganya menjual batu bara ke luar negeri, China yang sebenarnya juga memiliki kekayaan alam mineral batu bara malah memilih untuk membeli batu bara Indonesia untuk digunakan sebagai bahan bakar yang murah bagi industri China. Penghematan harta kekayaan yang mereka punya sekarang akan digunakan untuk investasi masa mendatang. Jadi dapat dibayangkan ketika China baru akan mulai untuk mengeksplorasi batu bara mereka, kita sedang kesulitan mencari batu bara karena sebelumnya telah habis diobral. Malah mungkin suatu saat Indonesia yang kaya raya ini akan membeli batu bara ke China karena persediaan batu bara kita yang sedang menipis.
Selama ini pemberitaan media yang berkembang di masyarakat membuat positioning bahwa seakan-akan China adalah aktor utama dalam drama ACFTA ini. Bahwa pelaku perjanjian bebas ini hanyalah Indonesia dan China. Padahal kita hampir lupa bahwa perjanjian ini ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN plus China; meskipun pemberlakuan nol tariff sesuai dengan The Agreement on Trade in Goods (TIG) of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China (keterangan tarif dalam tabel di bawah) yang ditandatangani pada 29 November 2004 di Vientiane-Laos oleh para pejabat tinggi setingkat menteri bidang ekonomi dan perdagangan, membagi para pesertanya dalam dua term: term pertama dengan para anggota ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Filiphina) dan China yang berlaku sejak 2010, dan term kedua dengan para anggota negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) pada 2015.
Sejarah perjanjian ini bermula sejak dilaksanakannya ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 6 November 2001 lalu yang mencetuskan mengenai Kerangka Kerjasama Ekonomi (Framework on Economic Co-operation). Follow up dari bentuk komitmen ini menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara anggota ASEAN-China di Phnom Penh, 4 November 2002. Pertemuan ini menghasilkan bentuk kerjasama untuk membangun ASEAN-China Free Trade Area dalam 10 tahun ke depannya, dimana diharapkan adanya hubungan kerjasama ekonomi yang lebih dekat diantara negara anggota pada abad 21. Dalam perjanjian tersebut jelas disebutkan bahwa persetujuan tersebut bertujuan untuk meminimalisir rintangan dan memperdalam kerjasama ekonomi diantara tiap-tiap anggota, menurunkan biaya, meningkatkan volume perdagangan dan investasi intra-regional serta efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Selama kurang lebih satu tahun berikutnya, perjanjian yang ada dirasa perlu di amandemen untuk menjelaskan implementasi dari ketetapan yang ada. Maka pada 6 Oktober 2003 ditandatangani Protocol To Amend The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People’s Republic Of China di Bali, Indonesia. Pada amandemen perjanjian ini ditetapkan mengenai kondisi dan waktu percepatan tariff reduction serta eliminasi produk-produk yang sebelumnya diatur dalam Early Harvest Programme dari Kerangka Kerjasama yang ada melalui penyesuaian-penyesuaian bilateral ataupun plurilateral yang ditambahkan ke dalam Kerangka Kerjasama.
Selanjutnya pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos, ditandatangani pula Agreement On Trade In Goods Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People’s Republic Of China. Dalam TIG Agreement ini, dijelaskan mengenai aturan pengurangan dan penyisihan tarif yang telah ditentukan bagi ASEAN 6 dan China, seperti yang disebutkan di atas, dimana tahap akhir pengurangan tarif dapat diselesaikan pada 2010. Sementara negara CLMV akan diselesaikan pada 2015. Perjanjian ini juga menetapkan liberalisasi berikutnya dari beberapa produk yang sensitif dari tiap negara serta menghilangkan rintangan non-tarif.


Sebenarnya disadari atau tidak, fenomena merambahnya barang China di Indonesia sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit secara cukup signifikan di pihak Indonesia. Hanya saja pemberitaan serta asumsi beberapa pihak yang resisten terhadap isu liberalisasi memanfaatkan moment ini. Wacana yang diangkat seolah-olah bahwa 1 Januari sebagai batas awal pemberlakuan ACFTA merupakan gerbang neraka bagi industri Indonesia. Malah sebenarnya jika kita perhatikan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Hatta Radjasa, pengurangan tarif import sudah dimulai sejak tahun 1992. Maka sungguh naif rasanya apabila kita mengalienasikan bahwa selama ini kita aman-aman saja karena belum adanya import barang, khususnya China, yang masuk ke Indonesia.


Beberapa pelaku industri menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan agar keluar dari perjanjian yang menurut mereka tidak adil ini. Sedangkan beberapa yang lain merendahkan tensinya dengan mendesak untuk merenegoisasi perjanjian tersebut pada beberapa post tarif strategis yang dianggap belum siap untuk terjun dalam persaingan bebas di pasar global ini. Para pejabat anggota legislatif ternyata memiliki respon yang sama terhadap kebijakan perdagangan ini. Beberapa fraksi di DPR turut mendesak Menteri Perdagangan untuk meninjau ulang keikutsertaan Indonesia dalam kancah regional perdagangan bebas ini. Namun sampai tulisan ini dibuat, belum ada kabar yang menuliskan tentang tanggapan positif akan desakan itu.
Kebijakan tarif tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini. Banyak hal yang seharusnya mampu kita lakukan sebagai solusinya. Sebagai tindakan preventif Pemerintah sebaiknya terus memperkuat industri yang memilki kekuatan dan competitive advantage lebih besar untuk berjuang di pasar bebas. Namun semuanya belumlah terlambat. Waktu yang kita punya sebelum benar-benar semua parties ikut dalam perlombaan ini di 2015 marilah dimanfaatkan untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada. Keluar dari ACFTA bukanlah alternatif yang tepat karena hanya akan membuat negara kita akan terus lari dari masalah. Tak ada lecutan bagi industri lokal untuk memperbaiki kualitas barang sendiri agar mampu bersaing dengan produk luar negeri. Perbaikan serta penyerapan anggaran infrastruktur dan suprastruktur di segala bidang yang menunjang peningkatan kualitas perdagangan nasional tentu menjadi kewajiban yang tidak bsa ditawar-tawar lagi. Dan hal paling riil yang bisa kita lakukan adalah terus sokong produsi dalam negeri dengan meningkatkan konsumsi terhadap produk asli nasional dan mengurangi jatah produk luar negeri.
Peluit perlombaan sudah ditiup, genderang perang telah dibunyikan. Namun garis finish masih jauh. Keputusan ada di tangan kita, tetap tertinggal atau berani melecut diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan.

Dept Kajian Strategis
BEM FEUI 2010

Sunday, August 9, 2009

Pendidikan untuk Kelautan Indonesia yang lebih Baik

Indonesia yang Kaya
Indonesia telah dikenal dunia sebagai Negara Kepulauan, “Archipelagic State” yang memiliki potensi sumber daya alam dan kekayaan laut yang sangat beragam. Bahkan banyak Cendekiawan Internasional menyebut kawasan perairan laut Indonesia tropis berdaya dukung alam yang tinggi dengan kemampuan “Mega biodiversity”. Latar belakang geografis dan astronomis yang kita miliki tentu memberi kebanggaan tersendiri sebagai anak bangsa.

Data menunjukkan, dari Sabang sampai Merauke, lautan Indonesia memiliki luas sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Di samping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional,UNCLOS 1982), yang kesemuanya itu mengandung potensi yang bernilai ekonomis sangat tinggi.

Potensi lestari total ikan laut di Indonesia menunjukkan angka 7,5 % (6,4 juta ton/ tahun) dari potensi dunia. 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lain yang bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun. Nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Hampir 70 % produksi minyak dan gas bumi Indonesia bersal dari kawasan pesisir dan laut (Mulyadi, 2005).

Perairan Indonesia dikenal pula dengan sumber plasma nutfah perairan terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 1,3persen dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki labih dari 37 persen dari seluruh jenis ikan di dunia. Selain ikan konsumsi, laut di Nusantara pun menyimpan potensi besar ikan hias. Para pakar mencatat Indonesia memiliki lebih dari 1000 jenis ikan hias laut dan 240 jenis ikan hias tawar. Menurut perhitungan PKSPL-IPB (l998), bahwa nilai ekonomi dari sumberdaya perikanan (tangkap, budidaya, dan industri bioteknologi perairan) saja dapat menghasilkan sekitar USS 82 milyar/tahun.
Potensi laut lain yang belum tergarap dengan serius adalah keanekaragaman biologi yang sangat besar. Invertebrate laut, algae, dan bakteri laut ternyata mengandung zat biokimia yang berpotensi untuk kebutuhan medis, dan dijadikan obat obatan. Misalnya, neoroxitin dari kerang laut. Zat biokimia tersebut dapat dijadikan pembunuh rasa sakit. Zat tersebut terbukti lebih ampuh 10 ribu kali dari morfin dan tanpa efek samping.

Dalam catatan terakhir, 10.160 buah pulau telah disurvei dan diverifikasi. Potensi Kelautan Indonesia yang besar telah memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 2,6 miliar (2008). Jumlah tersebut lebih baik dari tahun 2007 yang hanya US $ 2,3 miliar saja. Potensi kelauatan dan perikanan Indonesia mencapai 70 persen dari wilayah NKRI secara keseluruhan.
Letak geografis yang strategis membuat keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Keunggulan letak Indonesia yang strategis mengakibatkan begitu besar arus frekuensi pelayaran yang melewati wilayah Indonesia. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75% barang2 yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45% (1300 triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang meliputi Selat Malaka sebagai jalur dengan frekuensi pelayaran tertinggi di dunia, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut Indonesia lainnya (Mulyadi S, 2005).

Bagai gayung bersambut, Hawaii adalah sebuah negara yang sukses dalam bidang perikanan, namun tetap ingin merintis kerjasama dengan Indonesia dalam hal pengelolaannya. Perkawinan teknologi bidang perikanan antara Hawaii dan Indonesia diharapkan mampu memberikan hasil yang lebih baik, sekaligus menggarap potensi kelautan Indonesia secara maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Berawal dari Perjuangan
Demi mencapai kedaulatan atas semua kekayaan diatas, bukanlah barang sekali jadi yang diberikan oleh siapapun sebagai barang hibah nan gratis namun menempuh perjalanan dan perjuangan yang tidak sedikit. Pada 13 Desember 1957 Perdana Menteri Ir Djuanda mendeklarasikan seluruh perairan antarpulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antarpulau, bukan pemisah. Keputusan ini mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri (2) bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3) penentuan batas lautan teritorial seperti yang termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl. 1939 No. 442 artikel 1 ayat 1 tidak lagi sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian terpisah dengan teritorial. Deklarasi dengan prinsip Negara Nusantara (Archipelagic State) ini meskipun mendapat tantangan dari beberapa negara besar namun melalui perjuangan yang panjang dan ulet, melewati dua rezim pemerintah dan tiga rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, akhirnya Indonesia mendapat pengakuan internasional di PBB. Pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) yang mengakui prinsip-prinsip negara kepulauan Nusantara (archipelagic principles), sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.

Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya diterima dan ditetapkan di dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982) bahwa Indonesia adalah negara Kepulauan Nusantara. Deklarasi Djuanda yang berisikan konsepsi Negara Nusantara yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km sama dengan ¾ dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Salah satu keputusan terpenting bagi Indonesia pada konferensi ini adalah pengakuan terhadap bentuk negara Kepulauan dengan pengaturan hak dan kewajibannya. Keputusan tersebut secara resmi diterima untuk ditandatangani 117 negara dalam sidang terakhir Konferensi Hukum Laut (HUKLA) III PBB di Montego Bay Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Kesepakatan Konvensi HUKLA 1982 memberikan penambahan luas wilayah perairan Indonesia secara signifikan. Bertolak dari deklarasi Djuanda 1957 dan UUD 1945 Bab IX A pasal 26, maka luas wilayah laut kita menjadi 5,8 juta km2.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 warisan pemerintah kolonial, luas perairan Indonesia diperkirakan sekitar 100.000 km2. Berdasarkan penetapan Konvensi HUKLA 1982, wilayah laut yang dapat dikelola Indonesia berkembang menjadi 5,8 juta km2 yang terdiri atas 3,1 juta km2 perairan nasional Indonesia (Laut Wilayah atau Laut Teritorial dan perairan kepulauan) dan 2,7 juta km2 perairan laut ZEE. Luas perairan dimungkinkan dapat berkembang lagi, apabila Indonesia pada batas waktu hingga 2009 dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut.

Pemerintah, pada tahun 2001 kemudian menetapkan hari Deklarasi Djuanda sebagai Hari Nusantara (Keppres 126 tahun 2001). Sebelum Deklarasi Djuanda, Republik Indonesia dengan wilayah negara mencakup peninggalan Hindia Belanda, belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Maka pada waktu itu, perairan antarpulau adalah wilayah internasional. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut.
Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Dengan UNCLOS, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional seluas 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya. Jadilah Indonesia mewujudkan diri sebagai satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai Tanah Air.

Perhatian lebih konkrit tampak pada terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 10 November 1999 dibawah kepemimpinan KH. Abdurahman Wahid.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah mencanangkan Gerbang Mina Bahari, di Teluk Tomini, 11 Oktober 2003 lalu. Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan, ini diharapkan mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa untuk mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara cerdas, optimal dan lestari bagi kemajuan, kemakmuran dan kemandirian bangsa Indonesia. Apabila Gerbang Mina Bahari ini dapat diimplementasikan, maka pada tahun 2006 produksi perikanan akan mencapai 9,5 juta ton. Total nilai ekspor perikanan menjadi sebesar US$ 7. Devisa pariwisata bahari akan meningkat. Jasa perhubungan laut yang selama ini menghamburkan devisa US$ l0 milyar per tahun menjadi penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri. Serta tambahan lapangan kerja yang dapat tercipta diperkirakan sekitar 3 juta orang.
Dukungan terhadap perkembangan geliat kelautan dan perikanan di Indonesia juga ditunjukkan oleh dunia perbankan. Sejak Maret 2003, Bank Mandiri telah menyediakan kredit khusus untuk usaha perikanan sebesar Rp 3 trilyun untuk jangka waktu sampai Maret 2004. Bank Bukopin telah dan akan membangun kredit simpan-pinjam khusus untuk usaha perikanan, bernama Swamitra Mina di l60 kabupaten/kota pesisir. PT. PNM telah menandatangani kerjasama dengan 30 Bupati/Walikota di KBI dan KTI untuk mendirikan BPR Pesisir dan Nelayan.

Demi membantu pemerintah dalam hal pemberian rekomendasi untuk kepentingan kebujakan kelautan, pemerintah membentuk Dekin. Dekin (Dewan Kelautan Indonesia) yang dibentuk 21 September 2007 sebagai pengganti Dewan Maritim Indonesia (DMI) diharapkan akan mendorong supaya potensi yang ada di laut dapat menjadi penopang ekonomi nasional. Juga supaya Indonesia tidak terjepit, mengingat percaturan strategi politik global permainannya sudah di laut. Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Dewan Kelautan Indonesia mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan.
Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi:
a. pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden;
b. konsultasi dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan penyelesaian masalah di bidang kelautan;
c. pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi, dan pembangunan kelautan;
d. hal-hal lain atas permintaan Presiden.



Laut Indonesia Kini
Pengantar yang diulas diatas, tentunya menggambarkan kepada kita begitu besar potensi serta fasiltas yang kita punyai sebagai bangsa maritim. Namun saatnya untuk jujur, bahwa disadari atau tidak, kita belum kaya secara riil dari nilai kelautan. Sebagai pemilik, kita belum bisa mengoptimalkan seluruh sumber daya kelautan yang ada. Malah banyak “aset laut” kita yang malah dinikmati orang lain secara semena-semena. Fakta membuktikan bahwa kita terlalu sering “mendapat kunjungan” dari pihak asing.
Potensi kelautan Indonesia yang dijarah ternyata nilainya luar biasa. Kajian khusus pencurian ikan di wilayah Indonesia memang belum dilakukan. Tetapi kajian khusus pencurian ika di laut Arafuru pernah dilakukan. Hasil yang didapat sungguh mengejutkan, bahwa 1,2 juta ton ikan di laut Arafuru dijarah. Jika 1 kg ikan dihargakan US$ 1 per kg berarti nilainya lebih dari US$ 1,2 miliar pertahun.

Memang, pencurian ikan di wilayah Indonesia yang dilakukan nelayan asing masih belum dapat ditangkal. Nelayan Vietnam, Thailand, China, Myanmar, dan Malaysia kerap secara diam – diam dan terus terang masuk laut Indonesia. Tak heran setiap tahun ratusan kepal nelayan asing tertangkap.

Yang mengejutkan justru kajian ahli dari Thailand, Anucha Charoenpo (2003). Hasil kajiannya mengungkapkan bahwa setiap tahunnya lebih dari 3000 kapal trawl Thailand masuk secara illegal keperairan Indonesia. Khususnya perairan yang dimasuki adalah Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafuru. Para Nelayan Negeri Gajah Putih merampok ikan dari Indonesia nilainya mencapai US$ 1,2 miliar hingga US$ 2,4 miliar setahun.

Banyak potensi kita yang belum dikelola karena tidak ada perhatian dari para pengambil kebijakan, sebab kurang peduli terhadap laut. Wisata bahari kita sebagai daerah tropis banyak yang belum dikembangkan sebagai sumber ekonomi. Dengan total panjang garis pantai yang luar biasa, mengapa wisata bahari yang kita miliki masih cenderung stagnant dalam hal pengembangannya. Tidak ada perubahan yang benar-benar signifikan terhadap hal ini.

Laut kita yang sebenarnya indah ini, ternyata bagi sebagian orang merupakan ladang luas untuk pembuangan limbah dan sampah. Paradigma yang muncul yaitu laut sebagai tempat pembuangan sampah, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan berbagai jenis limbah. perairan Indonesia juga menjadi ladang subur bagi pembuangan limbah beracun industri tambang, minyak, dan gas. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir setiap tahun tumpahan minyak mentah (tarball).
Masalah ini ternyata belum selesai sampai disini. Berkat peningkatan rata-rata suhu bumi, membawa pengaruh perubahan iklim yang tidak bisa diremehkan. Data menyebutkan bahwa di tahun 2008, nelayan Indonesia hanya melaut sekitar 180 hari. Sebagian besar akibat dampak perubahan iklim, seperti gelombang tinggi, dan pencemaran di laut. Situasi ini membuktikan, semakin parah perubahan iklim yang terjadi, maka nelayan kita akan semakin sulit.

Secara bertahap, hutan bakau di Pulau Sulawesi dan Jawa telah dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari sekitar 4,2 juta ha tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9 juta ha dalam 3 tahun terakhir. Hutan mangrove di kawasan pantai utara Jawa Tengah sebagian besar atau 96,95 persen telah mengalami kerusakan, baik kerusakan sedang maupun berat. Berdasarkan tingkat kerusakan, kawasan mangrove yang rusak sedang seluas 31.237 hektare, rusak berat 61.194 hektare, sementara yang masih baik hanya 2.902 hektare, padahal, secara ekologi mangrove dapat menahan gelombang pasang dan secara kimia mangrove dapat menetralisir dan menyaring polutan-polutan berbahaya. penyebab kerusakan hutan mangrove antara lain adanya alih fungsi lahan untuk tambak intensif, permukiman, industri, pengembangan wisata, dan penebangan liar.
Kebutuhan yang semakin meningkat akan energi, makanan, produk-produk kelautan dan isu pencemaran laut, kerusakan daerah pesisir, berkurangnya biodiversity laut, fenomena El Nino dan kenaikan muka laut menuntut pengembangan ilmu kelautan yang bersifat holostik, interdisiplin dan keharusan melakukan kerjasama internasional.

Kerja berikutnya
Paradigma yang mesti dibangun di benak bangsa ini mestilah di rubah. Kebanggaan sebagai bangsa maritim harus benar-benar terinternalisasi dalam jiwa bangsa. Padahal pada kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya insentif di bidang kelautan dan perikanan (Sumber : Jakarta, Kompas, 8 juli 2003)
Sehingga dengan adanya perubahan mind-set yang ada, diharapkan ada perubahan perilaku tiap orang, apapun statusnya, menjadi lebih aware dan mencintai laut itu sendiri.
Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan unsur-unsur pembelajaran mengenai kelautan Indonesia dalam kurikulum di sekolah-sekolah sejak dini. Materi Pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa saat ini belum baik, sehingga anak Indonesia sendiri belum menyadari sejak dini pentingnya pelestarian dan pengembangan sumber daya kelautan. Kita hanya dikenalkan pada peta Indonesia yang luas, tanpa benar-benar dikenalkan pada luar biasanya potensi kelautan yang kita punya. Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah memusatkan perhatian kepada pendidikan dalam membangun perekonomiannya, dengan memandang sumber daya manusia sebagai objek investasi bangsa. Namun disadari pula bahwa pendidikan tidak dapat berperan tunggal dalam pembangunan tanpa adanya dukungan complementary inputs atau faktor - faktor komplementari lainnya (Henry M. Levin dan Carolyn Kelly, Economics of Education Review, 1994). Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, keadaan terkini menunjukkan bahwa Indonesia tidak berada dalam posisi menjadikan pendidikan sebagai sentral solusi perubahan status sumber daya laut dan terumbu karang, ataupun menjadikan pendidikan sebagai salah satu faktor komplementari dari upaya penyelamatan terumbu karang di Indonesia, bersejajar dengan upaya penegakan hukum, pengembangan riset ilmiah, dan aspek input komplementari lainnya.
Rencana Strategis Nasional (Renstra) departemen - departemen teknis yang berkaitan langsung dalam pendidikan kelautan, diantara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Perikanan dan Kelautan belum secara eksplisit dan jelas mendukung pendidikan kelautan sebagai investasi sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut termasuk terumbu karang di Indonesia. Padahal disadari betul potensi kelautan Indonesia yang sedemikian kaya, dengan luas terumbu karang sebesar 85.707 km2 yang merupakan 14% dari luas terumbu karang dunia(Tomascik dkk, 1997), namun dengan kondisi 37, 56% buruk dan hanya 6,69% dalam kondisi sangat baik (Suharsono, 2003)

SDM kelautan mengalami ironi dengan kurangnya perhatian bagi pendidikan di kawasan pesisir dan masih sangat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang berinteraksi langsung dengan sumber daya perikanan dan terumbu karang.

Belum ada kurikulum formal kelautan (SD hingga SMA) integratif di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan/atau sekolah, hanya pihak - pihak tertentu saja yang memulai inisiatif sporadis (LSM, sekolah berwawasan laut dan lingkungan, sekolah di wilayah pesisir, Kabupaten tertentu seperti Balikpapan). Belum banyak dikembangkan alternatif pendidikan kelautan bagi generasi muda putus sekolah. Yang sering terjadi adalah pemusatan SDM dalam satu bidang saja, sehingga meninggalkan aspek lain yang sebenarnya jugalah sangat penting.

Pendidikan yang diajarkan sekarang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan \menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.

Selain itu, belum adanya alokasi yang cukup bermakna dari Departemen Pendidikan, Lingkungan Hidup maupun Kelautan dan Perikanan yang mendukung pendidikan kelautan. Itulah yang kadang disebut sebagai tidak terintegrasinya kebijakan pendidikan kelautan di Indonesia.
Kebijakan pendidikan nasional belum dibuat dengan mengacu grand strategi yang tertuang dalam rencana strategi (renstra) nasional. Tidak heran kalau kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pusat dan daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri, sehingga belum bisa memunculkan sinergi (Sumber: GBHN 1999 - 2004).

Masalah pendidikan berdampak pada kurangnya supply staff ahli yang bisa benar-benar berkerja secara professional dalam mengembangkan potensi kelautan. Dr .Ir. Agustedi. MS, direktur Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberadaya Perairan, Pesisir dan, Kelautan Universitas Bung Hatta, mengatakan, Indonesia membutuhkan lebih 200 ribu orang lebih tenaga kerja ahli bidang eksplorasi dan pengolahan hasil laut. Permintaan akan kebutuhan tenaga kerja ahli kelautan tersebut, belum mampu dipenuhi oleh Perguruan Tinggi (PT), di Indonesia saat ini baru ada sekitar 12 Perguruan Tinggi baik swasta maupun PTN yang mempunyai program studi atau Fakultas Perikanan dan Kelautan yang menggelar pendidikan perikanan dan kelautan. Lulusan tenaga ahli kelautan atau sarjana dibidang kelautan dan perikanan dari 12 universitas itu baru sekitar seribu orang lebih pertahun dan itu pun tidak semuanya menerjuni bidang yang cukup menjanjikan ini. Kebanyakan lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan itu lebih berharap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga cukup banyak yang menggeluti profesi lain walaupun tidak sesuai dengan dasar ilmu keahliannya. Lulusan Perguruan Tinggi memang mengharapkan pekerjaan yang layak sesuai tingkat pendidikan dan bidang keahlian, tetapi cukup terbatas yang bisa bekerja dengan memanfaatkan keahlian menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Banyaknya lulusan PT Perikanan dan Kelautan yang lebih memilih profesi lain dari pada mengolah sumbar daya kelautan. Hal itu, berkaitan dengan pola pikir yang keliru tentang bidang kajian ilmu yang ditekuninya.Sebagai ilustrasi potensi kelautan cukup menjanjikan, salah satunya terlihat dari hasil kajian para ahli terumbu karang dunia, terumbu karang seluas 1 Km persegi mampu menghasilkan ikan sekitar 40 sampai 60 ton ikan atau setara dengan 120 ribu dolar Amerika Serikat. Potensi itu, belum termasuk kemungkinan pemasukan pariwisata bahari yang mencapai 50 sampai 80 ribu dolar AS dan kegiatan penelitian. Andaikan, tenaga ahli lulusan perguruan tinggi mampu mengelola terumbu karang dan lahan laut yang mencapai 2/3 dari luas Indonesia itu, tentu akan cukup berarti bagi kemakmuran bangsa.

Sebagai bangsa maritim, selaiknya jugalah nelayan mendapat perhatian yang lebih di mata pemerintah. Para nelayan yang meskipun core-job-nya adalah pencarian hasil laut, yang seharusnya dengan potensi laut seperti ini menjadi kaya, namun yang terjadi di lapangan malah sebaliknya. Nelayan Indonesia kini identik dengan kemiskinan. Tinggal di rumah-rumah kayu yang kecil di pinggir pantai, dengan penghasilan per harinya yang kadang tidak seberapa. Sungguh hal yang memiriskan hati memang.

Saatnya berani untuk mengakui, potensi laut yang sungguh luar biasa yang diberikan Tuhan kepada kita ternyata terlalu besar dan terlalu banyak bagi bangsa ini, bahkan saking banyaknya, negara dengan penduduk kurang lebih 230 juta jiwa ini, tidak mampu untuk benar-benar memanfaatkan sembari merawat laut kita yang sungguh indah ini.

Pemerintah sebagai satu-satunya subjek pengemban amanah dari kedaulatan bangsa ini, sudah saatnya menjadikan isu ini menjadi hal yang tidak lagi diremehkan. Pembangunan saatnya diarahkan dari Land-based Development menjadi Marine-based Development. Konferensi maupun perjanjian internasional terbukti tidak bisa dijadikan jaminan adanya kemajuan yang signifikan terhadap pengembangan kebijakan kelautan Indonesia. Dan yang harus dilakukan adalah memperbaiki kebijakan dalam hal pendidikan di bidang kelautan.

Sebagai Negara yang besar, ternyata kita tidak disibukkan dengan usaha-usaha eksplorasi positif terhadap laut kita, namun malah kita hanya berpusing untuk mengusir kapal-kapal ilegal yang mengambil ikan-ikan kita secara semena-mena. Bahkan sampai sekarang, urusan ambang batas laut masih menjadi polemik dengan negara tetangga. Jika Pemerintah memang serius mengurusi seluruh kedaulatan bangsa ini, dimanapun letaknya, maka tentu hal ini tidak akan terjadi karena setiap penduduk Negara yang sungguh-sungguh mencintai bangsanya sendiri ini akan merasakan betapa besarnya anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.

Perkembangan kelautan Indonesia memang sudah saatnya menjadi perhatian kita bersama dengan tidak hanya berbangga. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang kufur dengan tidak mensyukuri segala nikmat ini. Bila bangsa ini ingin benar-benar besar, maka siapapun kita, saatnya sayangi laut kita seperti menyayangi laut milik sendiri; tidak untuk apa-apa, tapi demi menyongsong totalitas kedaulatan kelautan bangsa Indonesia.

Departemen Kajian Strategis BEM FEUI 2009