Wednesday, April 13, 2011

Kebijakan Subsidi BBM : Kontradiksi Antara Kebijakan Populis dan Efektif

Polemik pengambilan kebijakan mengenai subsidi BBM merupakan isu yang sangat penting saat ini. Kebijakan ini dinilai sangat penting karena mempengaruhi banyak hal. Salah satunya adalah mekanisme penganggaran subsidi BBM pada APBN. Pengambilan kebijakan pembatasan subsidi BBM ini didasarkan pada naiknya harga minyak mentah global sebagai akibat dari krisis politik di daerah timur tengah. Hingga saat ini, harga minyak mentah jenis light sweet dan brent terus merangkak mendekati angka 100 US$/ per barrel. Jika tidak dibatasi, maka anggaran belanja pemerintah berpotensi semakin defisit. Hal ini dikarenakan tingginya harga minyak mentah yang berlaku secara global dan pola konsumsi masyarakat pada BBM bersubsidi yang semakin bertambah. Anggaran BBM bersubsidi saat ini dibatasi sejumlah 38,5 juta kiloliter per tahunnya, hal ini mengacu pada pernyataan Menteri ESDM, Darwin Zahedy Saleh ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (21/03/2011) . Jumlah kuota subsidi tersebut bisa saja tidak dibatasi, namun excess dari kebijakan tersebut berpotensi menambah kuota subsidi BBM hingga mencapai 42,5 juta kiloliter, jumlah ini setara dengan Rp 7 trilliun. Realisasi dari kebijakan penetapan kuota subsidi BBM hingga saat ini semakin menjauhi ekspektasi 38,5 juta KL (Kiloliter) per tahun ini. Pada kenyataannya, jumlah konsumsi solar dan premium yang disubsidi terus saja merangkak naik dari kuota yang disubsidi oleh pemerintah. Selain itu kebijakan pembatasan subsidi BBM dapat menyebabkan naiknya tingkat inflasi hingga mnecapai 6,4%-6,5% tahun ini. Meleset 1,4% dari proyeksi pemerintah sebesar 5% yoy.

Kebijakan subsidi BBM terdiri dari subsidi tiga jenis bahan bakar yang dikonsumsi oleh masyarakat, yaitu premium, minyak tanah, dan solar. Ketiganya diasumsikan merupakan jenis BBM yang dikonsumsi oleh kalangan menengah kebawah. Premium dipatok dengan harga Rp 4500,-/ liter, minyak tanah dipatok dengan harga Rp 6500,-/ liter, sedangkan solar dipatok dengan harga Rp 4500,-/ liter. Kebijakan tersebut diambil dengan maksud melindungi konsumen kalangan menengah kebawah dan para pelaku industri yang masih memanfaatkan BBM dengan jenis-jenis tersebut. Alih-alih melindungi konsumen, konsumsi BBM bersubsidi justru salah sasaran. Mobil mewah dan kendaraan berpelat merah masih saja mengkonsumsi BBM jenis ini. Akibatnya kuota subsidi BBM semakin bertambah, namun permasalahannya pemerintah tak kunjung mengambil kebijakan dan hanya terus menunggu dan mengawasi pola konsumsi BBM masyarakat.

Kebijakan yang direncanakan pemerintah adalah menghimbau masyarakat kelas menengah atas yang menggunakan mobil mewah dianjurkan untuk mengkonsumsi jenis BBM lain yang tidak disubsidi yaitu Pertamax. Pertamax dipatok dengan harga Rp 7500,-/ liter dan berfluktuasi harganya sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan arus distribusi BBM bersubsidi akan mengalir pada sektor industri dan masyarakat kalangan menengah kebawah yang kurang mampu. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk membuat masyarakat mengkonsumsi pertamax cukup beragam. Opsi yang pertama adalah mengganti nama premium menjadi “bensin miskin”. Tentunya hal ini ditujukan untuk membentuk paradigma konsumsi masyarakat, namun pada kenyataannya penggantian nama ini bukanlah kebijakan yang efektif untuk dilakukan. Karena penggantian nama premium juga akan memakan biaya penggantian nama yang berlaku di seluruh SPBU yang ada di Indonesia, dan tentunya kebijakan ini justru merendahkan konsumen premium. Opsi kedua yang akan diambil oleh pemerintah yaitu pencabutan subsidi pada BBM jenis premium. Dampak dari kebijakan ini mampu menaikkan harga premium hingga hanya berselisih Rp 100-150,-/ liter dari BBM jenis pertamax. Kebijakan ini tentunya bukan kebijakan yang populer secara politik di mata masyarakat dan pemerintah. Karena kebijakan ini berpotensi menuai protes dari masyarakat dan menambah tingkat inflasi hingga 1,4% per tahun. Namun, kebijakan ini efektif karena mampu mengurangi potensi membengkaknya anggaran pemerintah sebesar 7 trilliun rupiah dan mampu merealisasikan target pembatasan BBM bersubsidi hingga 38,5 juta KL per tahun.

Pemerintah, melalui Ditjen Migas menyatakan bahwa sudah tidak mempunyai cara lain untuk menghemat penggunaan BBM. Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dinilai merupakan satu-satunya cara penghematan energi di Indonesia. Pembatasan tersebut dilaksanakan dengan menaikkan harga premium dan solar menjadi Rp 7350-7400,-/liter sehingga masyarakat mulai beralih ke pertamax dan meninggalkan premium. Badan Pusat Statistik juga menyampaikan bahwa pengambilan kebijakan tersebut tepat jika dilaksanakan pada bulan Maret-April, mengingat momentum level inflasi Indonesia masih rendah. Selain itu, negara tetangga yang sudah mengambil kebijakan menaikkan harga BBM mendesak pemerintah Indonesia melakukan hal yang serupa karena kebijakan tersebut mampu menunjukkan tingkat respon pemerintah terhadap kondisi global.
Memang pada dasarnya kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi seperti solar dan premium akan memberatkan beberapa kalangan masyarakat. Namun, kebijakan ini merupakan kebijakan paling rasional yang harus diambil. Mengingat harga minyak dunia yang terus meroket dan adanya potensi membengkaknya APBN. Pemerintah hendaknya mengambil langkah cepat dalam mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan cara segera mengambil kebijakan yang tepat sasaran dan efisien. Kebijakan tersebut satu-satunya adalah pencabutan subsidi BBM jenis premium dan solar. Kebijakan populis seperti penggantian nama dan sekedar menunggu sebetulnya sangat tidak tepat dilakukan oleh pemerintah, karena sifatnya yang tidak menyelesaikan masalah. Terlepas dari polemik kedua kebijakan tersebut, Indonesia seharusnya masih punya banyak pilihan. Yaitu dengan merevisi MoU kontraktor ladang-ladang minyak di Indonesia. Sehingga Indonesia mendapat keuntungan produksi minyak mentah lebih banyak daripada kesepakatan yang sebelumnya telah dilakukan. Hal ini harus disadari oleh semua masyarakat, karena mengingat potensi Indonesia sebagai produsen minyak mentah, sangat konyol apabila nanti kenyataannya justru Indonesia yang mengalami kelangkaan minyak dan berbagai masalah mengenai BBM.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEUI 2011

No comments: