Tuesday, April 12, 2011

Licinnya Geliat Bahan Bakar Minyak

Membahas bahan bakar minyak merupakan suatu hal “rutin” dan tentunya tidak akan ada habisnya. Sumber energi yang satu ini posisinya benar-benar strategis untuk memperkuat atau sebaliknya menghancurkan nasionalisme. Mana yang dipilih, Pemerintah selaku regulator dan Masyarakat selaku customer lah yang menentukan.

Akhir 2010 lalu, peramalan dari petinggi negara maupun pakar keenergian menyatakan bahwa di awal 2011 akan terjadi kenaikan harga BBM (bukan BlackBerry Messenger, melainkan bahan bakar minyak) baik subsidi maupun non-subsidi. Prediksi tersebut muncul karena harga minyak dunia di akhir 2010 sudah mencapai 93,46 dolar AS dan terus menerus bergerak naik setiap harinya.

Memasuki tahun 2011, harga bahan bakar minyak di Indonesia terus merangkak naik seiring dengan pergerakan harga minyak dunia yang juga mengalami kenaikan yang kini berada pada kisaran di atas 100 dolar AS. Apalagi dengan terjadinya krisis politik dan kemanusiaan di beberapa negara penghasil utama minyak dunia di Timur Tengah yang kini justru makin meluas ke negara lain, bukan tidak mungkin jika di pertengahan tahun 2011 nanti minyak dunia menembus angka 145 dolar AS.

Kembali pada persoalan BBM di Indonesia, kenaikan signifikan tersebut menyebabkan harga BBM non subsidi meningkat pesat hingga di atas Rp 8.500 per liternya yang mengakibatkan masyarakat sebagai konsumen pada akhirnya lebih banyak mengkonsumsi BBM bersubsidi.

Pada Maret 2011 lalu berdasarkan data BPMIGAS, penggunaan bensin premium mencapai 2,07 juta kiloliter (KL), atau naik 2,68% dibanding Februari 2011. Sementara konsumsi total BBM bersubsidi sampai Maret 2011 mencapai sekitar 9,26 juta KL, dari total kuota konsumsi BBM subsidi di 2011 yang jumlahnya 36,8 juta KL. Pada momen inilah kita dapat melihat kecermatan Pemerintah, karena jika harga minyak mencapai US$ 100 per barel, pemerintah bisa menombok subsidi untuk Premium hingga Rp 15 triliun.

Namun begitu, untuk sementara ini Pemerintah mengaku sedikit terselamatkan oleh penguatan rupiah terhadap dolar Amerika. Nilai tukar rupiah terpantau menguat dan parkir di level Rp 8.692 per USD. Namun sayangnya, masyarakat membutuhkan kepastian secepatnya terkait kondisi ini. Dan tentunya Pemerintah seharusnya tidak mau menombok hingga Rp 15 triliun.


Melihat kenyataan tersebut, muncullah beberapa wacana kebijakan, di antaranya menaikkan harga BBM atau pengalihan masyarakat kepada penggunaan Pertamax atau yang kerap diperhalus dengan pembatasan BBM bersubsidi.

Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM sama-sama akan berdampak terhadap inflasi.

Terkait pembatasaan konsumsi BBM bersubsidi, jika masyarakat biasanya membeli premium Rp 4.500 kemudian harus beralih ke Pertamax yang Rp 8.500 per liter, itu juga kenaikan yang justru lebih besar. Saat ini sekitar 50% BBM bersubsidi dikonsumsi oleh sepeda motor, padahal direncanakan sepeda motor bukan termasuk yang akan dibatasi konsumsinya. Sementara untuk angkutan umum perkotaan (angkot) hanya akan dijatah sekitar 40 liter per hari. Jumlah itu sangat minim sehingga akan mendorong awak angkot enggan bekerja. Jumlah yang dihemat relatif tidak sebanding dengan dampak buruk akibat kebijakan ini.

Sedangkan untuk wacana yang lain, misalkan Pemerintah memberi kenaikan Rp1.000 per liter, ini dapat menyebabkan subsidi turun sehingga ada penghematan sekitar Rp20 triliun. Kenaikan Rp1.000 per liter bagi sepeda motor relatif kecil dibandingkan dengan kenaikan harga beras yang terjadi akhir-akhir ini.

Fenomena berkelanjutan seperti ini sesungguhnya dapat diatasi dengan penentuan kanijakan yang jelas serta maintenance daripada kebijakan tersebut. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini sesungguhnya dapat menjadi pilihan terakhir dengan cara melakukan realokasi subsidi, belanja barang, dan modal, serta diintegrasikan dengan peningkatan penerimaan negara dari winfall profit akibat adanya kenaikan harga minyak internasional. Pemerintah pasti berpikir menaikkan harga BBM dilakukan untuk menyelamatkan anggaran negara. Penyelamatan anggaran menjadi krusial karena kemampuan belanja modal pemerintah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan menjadi harapan satu- satunya di tengah kelesuan perekonomian yang sedang melanda. Tetapi, kembali lagi seluruhnya harus disikapi dengan cermat.

Selain terkait realokasi anggaran, ada 1 hal kecil yang sesungguhnya dapat membantu meringankan beban Pemerintah. Turunnya produksi dan tidak tercapainya target lifting minyak dan gas (migas) Indonesia tahun 2011 tentunya telah memukul APBN 2011 dengan sangat telak. Target produksi minyak sebesar 970.000 barrel/hari, patut diduga hanya mencapai sekitar 860.000 barrel/hari. Hal ini tentunya harus segera diselesaikan Pemerintah bersama BPMIGAS selaku penanggungjawab hulu dan hilir migas sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Memang nampaknya ada suatu keresahan pada Pemerintah jika harus menaikkan harga BBM subsidi jika dikaitkan dengan pencitraan maupun hal sejenisnya. Namun setiap keputusan pasti ada resikonya. Dan jika tidak membuat keputusan atau menunda-nunda saja justru ongkosnya lebih mahal, apalagi denugan harga minyak dunia yang semakin meningkat.

Kementerian Jaringan Lembaga
Badan Eksekutif Mahasiswa
Keluarga Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran

No comments: