Wednesday, November 7, 2012
Arah Pembangunan Energi Nasional
Sampai Kapan Kita Harus Bertahan?
Saturday, June 9, 2012
Petral, Perusahaan Strategis di Bawah Naungan Asing
Friday, April 6, 2012
Kenaikan BBM Bersubsidi Ditunda, Perbaikan Sektor Pendidikan Ikut Tertunda?
Education is a better safeguard of liberty than a standing army - Edward Everett
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi per 1 April 2012 kandas sudah paska keputusan pada Sidang Paripurna di DPR 31 Maret 2012 yang lalu. Meskipun tak sedikit yang menganggap bahwa kenaikan BBM bersubsidi ini dinilai wajar dan harus dilakukan tetapi ternyata kepentingan politis lebih unggul di atas kepentingan ekonomi rakyat sekalipun. Bisa jadi kenaikan BBM bukanlah solusi terbaik di antara opsi-opsi lain yang berpeluang diambil, namun tetap saja drama di ruang kehormatan itu seakan hanyalah pencitraan semata yang dilakukan para elit politik menuju pesta demokrasi 2014. Sebenarnya, alasan pemerintah sendiri mengurangi subsdi BBM ialah karena peruntukkannya yang tidak tepat sasaran dan kenyataan harga minyak dunia yang terus meroket. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan APBN dari defisit anggarannya yang bisa melampaui lebih dari tiga persen dan berarti melanggar konstitusi.
Dampak yang ditimbulkan pasca kenaikan BBM nantinya tentunya akan cukup serius. Mengingat kondisi perekonomian beberapa bulan ke depan tidak bisa diprediksi secara mendetil. Melihat fakta harga minyak dunia yang terus melambung, pemerintah bisa menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sesuai pasal 7 ayat 6a jika selisih antara realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dengan asumsi sebesar 15 persen pada enam bulan terakhir. Sekarang ini, rata-rata realisasi ICP dalam enam bulan terakhir masih sekitar 11 persen. Berikut penuturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang ada, cobalah kita telaah dampak kenaikan BBM bersubsidi nantinya terhadap sektor pendidikan. Pemerintah telah menyepakati beberapa paket kompensasi paska kenaikan sebesar Rp 25,6 triliun. Perinciannya, bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 17,08 triliun, bantuan pembangunan infrastruktur pedesaan Rp 7,88 triliun, dan tambahan anggaran program Keluarga Harapan Rp 591,5 miliar. Dengan penundaan kenaikan BBM bersubsidi, program kompensasi sejumlah Rp 25,6 triliun belum bisa dicairkan dan akan direalokasikan pemerintah untuk menyubsidi BBM. Lantas bagaimana nasib perbaikan pendidikan di Indonesia yang masih terkatung-katung? Apakah harus menunggu naiknya BBM bersubsidi baru kemudian mendapat tambahan “cipratan” anggaran? Jutaan anak-anak masih menggantungkan nasibnya pada negara alias tidak memiliki jaminan cukup biaya menempuh pendidikan. Ibaratnya, sudah terbebani dengan biaya hidup, masa depan juga harus digadaikan. Padahal, di pundak merekalah harapan bangsa ini tumbuh nantinya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memutuskan menunda penambahan jumlah penerima dana Subsidi Siswa Miskin (SSM) akibat penundaan dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh. Tahun ini, Kemendikbud berencana menambah jumlah penerima subsidi siswa miskin dari 6 juta siswa menjadi 14 juta siswa. Jumlah itu dengan 12 persen jumlah siswa miskin di Indonesia. Ada penambahan jumlah penerima yang ditunda tetapi bukan dibatalkan. Penundaan itu bergantung pada kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menurut sumber yang sama, kenaikan besarannya, untuk siswa sekolah dasar, pemerintah menaikkan dari Rp 360 ribu menjadi Rp 450 ribu per siswa per tahun. Untuk siswa sekolah menengah pertama, dari Rp 550 ribu menjadi Rp 750 ribu. Untuk siswa sekolah menengah atas, dari Rp 780 ribu menjadi Rp 1 juta. Dan untuk mahasiswa, dari Rp 12 juta menjadi Rp 13,67 juta. Selain itu, kompensasi dari subsidi BBM seharusnya juga diprioritaskan untuk infrastruktur pendidikan, yaitu pembangunan sekolah dan fasilitas sekolah serta beasiswa pendidikan tinggi bagi anak yang berprestasi.
Angka-angka di atas memang terlihat manis di kertas dan sangat mungkin berbeda dengan fakta di lapangan nantinya. Kenaikan BBM bersubsidi barang pasti juga akan meningkatkan biaya pendidikan terutama pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Masyarakat ekonomi rendah akan sulit untuk melanjutkan pendidikan karena terbatasnya pendapatan sementara harga-harga terus merangkak naik. Fasilitas sekolah yang tidak memadai serta bangunan sekolah yang rusak juga masih sangat banyak. Belum lagi proporsi jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah penduduk di beberapa daerah. Kebijakan pemerintah dengan memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebenarnya sudah tepat, sayangnya para pelaksana di tingkat yang lebih rendah masih saja bertindak tidak pantas dengan menyelewengkannya. Belum lagi adanya pungutan liar yang bersebrangan dengan Peraturan Menteri No. 60/2011 terkait dengan larangan melakukan pungutan di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) negeri untuk biaya operasional dan investasi.
Subsidi yang luar biasa besar itu ketika digunakan untuk sektor pendidikan tentunya akan sangat bermanfaat bagi rakyat. Dana penghematan tersebut bahkan mampu membuat program pendidikan gratis yang tidak hanya sembilan tahun tetapi dua belas tahun seperti amanat undang-undang. Kontradiktif, pernyataan optimisme ini sebaliknya dapat menjadi bumerang jika melihat ternyata masih banyak kepentingan-kepentingan gelap di balik kebijakan pengurangan subsidi BBM. Ditambah lagi, sektor pendidikan adalah lahan sejuk bagi para koruptor di negeri ini, bahkan di tingkat terbawah sekalipun. Untuk itu, perlu dipersiapkan berbagai langkah dan strategi agar dampak kenaikan harga BBM di sekor pendidikan dapat diminimalisasi.
Apabila nantinya program-program tersebut benar-benar bisa terlaksana, harapannya dukungan datang dari kita pula sebagai masyarakat. Tanggung jawab terhadap pendidikan sesungguhnya milik kita bersama meskipun kekuasaan ada di tangan pemerintah. Perbaikan sektor pendidikan bukan lagi hal yang bisa ditunda-tunda sebab harus dilakukan sekarang juga. Negeri ini merindukan generasi emas yang akan memimpin perjalanan bangsa yang penuh tantangan. Berawal dari pendidikan sebagai pelabuhan anak-anak Indonesia sebelum nantinya lepas ke lautan samudera. Jika masih ada yang meragukan pentingnya pendidikan dan bahkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongan, sesungguhnya merekalah yang sebenarnya membutuhkan ”pendidikan”.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB 2012
Saturday, March 3, 2012
Buruh Paruh Waktu = Buruh Setengah Hidup ?
All labour is directed towards producing some effect - Alfred Marshall
Sebenarnya sistem buruh kontrak sendiri mempunyai legalitas hukum, seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Bab IX pasal 58 dan 59, dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mengatur legalitas perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja secara kontrak, tetapi hanya untuk pekerjaan tertentu yang sifatnya sementara bukan pekerjaan rutin. Fakta di lapangan membuktikan banyak penyimpangan legalitas hukum terjadi. Perusahaan-perusahaan memanfaatkan UU Ketenagakerjaan untuk mengontrak buruh secara periodik alih-alih mengangkat mereka sebagai buruh tetap, padahal pekerjaan yang mereka lakukan bersifat tetap. Selain buruh kontrak, perusahaan juga mempekerjakan buruh-buruh sejenis, seperti buruh borongan, outsourcing, magang, harian, paruh waktu, dan buruh rumahan.
Fenomena yang telah disebutkan di atas merupakan akibat dari menjamurnya konsep Labour Market Flexibility (LMF). Menurut Akatiga (2010), di tiap negara, fleksibilisasi mengambil bentuk yang berbeda-beda, namun dimensi utamanya dapat ditelusuri dari beberapa hal, di antaranya; perlindungan kesempatan kerja yang minim; ketentuan upah yang fleksibel; pengaturan proses produksi dan penggunaan tenaga kerja yang disesuaikan dengan tingkat produktivitas dan efisiensi perusahaan; dan pelenturan di sisi permintaan dari pekerja dalam keleluasaan waktu kerja dan mobilitas antarpekerjaan.
Kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan IMF dan Bank Dunia mensyaratkan pengadopsian konsep LMF dalam kebijakan buruh sebagai salah satu syarat pencairan hutang. Ketika krisis ekonomi 1997/1998 terjadi, keadaan menekan tingkat investasi, perusahaan-perusahaan gulung tikar, dan pengangguran melesat. Upaya mendukung iklim investasi adalah dengan menerapkan sistem ketenagakerjaan yang fleksibel. Sistem bekerja tetap dianggap Bank Dunia mempersempit kesempatan kerja dan tidak ramah investor. Konsep LMF juga terintegrasi dalam skema pembangunan nasional, seperti tercantum dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 Bab 23 tentang Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Paket ke-4 mengenai Ketenagakerjaan dalam Kebijakan Menciptakan Iklim Hubungan Industrial yang Mendukung Perluasan Lapangan Kerja, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Prioritas ke-7 Program Sinkronisasi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Iklim Usaha (Akatiga, 2010).
Menurut Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, di dalam situs resminya, konsep dan kebijakan upah minimum itu merupakan upah terendah yang diperuntukkan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Upah minimum hanyalah sekedar jaring pengaman sosial yang ditetapkan dengan mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas makro, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling tidak mampu (marginal). Nilai KHL, merupakan salah satu faktor pertimbangan dalam penetapan UMP. Nilai KHL diperoleh melalui survei yang dilakukan unsur tripartit dalam dewan pengupahan sehingga nilai besarannya merupakan hasil bersama antara pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Melihat perumusan konsep di atas, sebenarnya permasalahan buruh nasional, terutama buruh paruh waktu dapat diselesaikan. Solusinya adalah dengan mengedepankan faktor win-win solution, yaitu perusahaan tidak boleh mengontrak buruh paruh waktu untuk melakukan pekerjaan yang bersifat tetap dan standar upah buruh paruh waktu menerapkan standar produktivitas progresif. Buruh akan diberi fasilitas jaminan sosial dan kesehatan, serta diupah sesuai dengan produktifitas mereka. Jadi jika buruh menginginkan upah lebih tinggi, maka output pekerjaan mereka harus ditingkatkan alih-alih memakai standar jam kerja sebagai patokan pemberian upah. Sehingga hal ini bisa menjadi insentif bagi para buruh untuk produktif yang berkorelasi positif dengan keuntungan perusahaan dengan meningkatnya produktivitas mereka.
---salah satu potret realita kesejahteraan buruh di Indonesia---
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Saturday, February 18, 2012
Bagaimana Wajah Birokrasi Kita?
Eugene McCarthy
“Bureaucracy is the art of making the possible impossible.”
Javier Pascual Salcedo
Manusia di dunia ini hidup dalam sebuah sistem. Terbentuknya sistem yang seharusnya memudahkan itu biasanya dijalankan oleh pegawai pemerintah di suatu negara dan amat bergantung pada hirarki atau jenjang jabatan. Itulah yang disebut dengan birokrasi. Salah satu definisi harafiahnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Dari pengertiannya saja birokrasi dapat dikategorikan cukup rumit. Coba perhatikan ungkapan di atas, birokrasi adalah seni membuat sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin, dengan kata lain penuh permainan, kotor, dan tidak beradab. Benarkah seperti itu?
Di Indonesia sendiri, permasalahan birokrasi masih menjadi kendala utama bagi masyarakat dalam mendapatkan kemudahan berusaha, pembuatan identitas, hingga pengurusan perizinan. Semua hal tersebut memerlukan sebuah proses panjang yang bisa dikatakan kurang efisien. Buruknya citra birokrasi Indonesia tercermin dalam rendahnya pelayanan publik dewasa ini. Berbagai program dan langkah telah dilakukan pemerintah, perlahan memang ada kemajuan namun belum signifikan. Bahkan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara ditambahkan fungsinya menjadi, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi semata untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih.
Sebenarnya, secara kebermanfaatan, birokrasi adalah upaya terbaik dalam mensistematiskan, mempermudah, mempercepat, mendukung, mengefektifkan, dan mengefisienkan pencapaian tujuan-tujuan pemerintahan. Salah satunya dengan memudahkan masyarakat dan pihak yang berkepentingan untuk memperoleh layanan dan perlindungan. Indikator inilah yang nantinya dapat menjelaskan apakah birokrasi menjadi penyebab inefisiensi pemerintah, utamanya pemerintah daerah. Banyak variabel yang diperlukan untuk menjabarkannya. Menurut Survey Doing Business yang dilakukan International Finance Corporation pada 2011, Indonesia menempati peringkat ke-155 dari 183 negara untuk memulai sebuah usaha dan peringkat ke-131 dari 183 negara dalam kemudahan pembayaran pajak. Peringkat ini jauh dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura dan Malaysia yang telah bertengger di peringkat dua puluh besar. Selain itu, baru-baru ini World Economic Forum (WEF) mempublikasikan laporan tahunan mengenai daya saing global, yaitu The Global Competitiveness Report 2011-2012, yang menempatkan Indonesia pada peringkat 4 dari 6 negara di Asia Tenggara yang masuk dalam perhitungan survey. Salah satu kelompok indikatornya adalah kelompok penopang efisiensi, dengan elemen institusi sebagai salah satu di dalamnya.
Jika kita ingin memberikan contoh dimana letak buruknya birokrasi Indonesia, coba tengok proses pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) di daerah masing-masing. Biaya pembuatan yang seharusnya terjangkau menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dari seharusnya akibat ulah oknum maupun keinginan pengaju untuk menjalani proses yang lebih cepat. Sebenarnya, ada beberapa faktor yang membuat hal ini terjadi, diantaranya: “paksaan” dari petugas untuk mempersingkat proses melalui uang “pelicin” sehingga terjadilah suap. Inilah lemahnya birokrasi, membutuhkan proses yang panjang dan menjadi celah timbulnya KKN; masyarakat sendiri tak ingin bertele-tele dalam proses sehingga rela mengeluarkan biaya lebih untuk menempuh jalur pintas. Kesempatan ini digunakan dengan memposisikan diri sebagai penyuap yang otomatis turut menyuburkan korupsi; dan terakhir lemahnya pengawasan meskipun regulasi yang ada mungkin telah cukup jelas dan rinci. Disitulah letak “kecolongan” kembali birokrasi melalui SDM nya yang masih berkualitas bawah.
Marilah kita kembalikan lagi apa sebetulnya fungsi dari birokrasi. Mengefisienkan sebuah sistem pemerintahan. Terlihat dari indeks persepsi korupsi oleh Transparency International tahun 2011, Indonesia menempati peringkat ke-100 bersama sebelas negara lain dengan nilai 3,0 (skala 0 paling korupsi – 10 paling bersih) yang tergolong masih cukup parah. Dari penilaian ini, korupsi tercipta salah satunya dari proses birokrasi yang sulit dan disengajakan panjang untuk menambah pundi-pundi mereka yang tidak bertanggung jawab. Efisiensi pemerintah daerah perlu ditelaah lebih lanjut, melalui bagaimana penyaluran APBD nya, bagaimana pengelolaan keuangannya, dan lain sebagainya. Birokrasi hanya merupakan salah satu penentu yang diibaratkan kunci dari segala pintu.
Masalah ini tentunya dapat diselesaikan dengan berbagai langkah konkret dan konsisten. Misalnya, pembentukan layanan pengaduan yang lebih efektif, pengefektifan “meja” dalam sebuah alur pengajuan suatu permohonan, hingga tindakan sangat tegas kepada petugas yang berani melakukan tindakan melawan hukum atau di luar undang-undang. Transparansi publik dan akuntabilitas juga merupakan syarat mutlak yang dapat meningkatkan peranan kontrol sosial masyarakat demi menuju terciptanya sistem birokrasi ideal. Negeri ini memang membutuhkan sebuah gebrakan kuat yang tidak bisa lagi memaklumi sana-sini. Perlu dukungan riil dari berbagai pihak terutama masyarakat yang bersentuhan langsung dengan dunia birokrasi. Dengan tekad, usaha, dan keyakinan yang bulat niscaya perwujudan sebuah negara yang lebih baik dan bersih akan tercipta. Birokrasi bukan masalah waktu ataupun materi tapi perihal kemauan untuk melayani dengan hati.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Wednesday, May 11, 2011
PEMBANGUNAN GEDUNG BARU DPR : SEBUAH IRONI DI TENGAH KRISIS
Latar belakang pembangunan gedung DPR itu ada di Rencana Strategis DPR 2009-2014 pada halaman 55 pada point Indikator Kerja. Hal ini mengacu pada penambahan jumlah anggota DPR, sesuai dengan Undang-Undang Pemilu no 10 tahun 2008. Jumlah anggota DPR yang semakin banyak ini menyebabkan kebutuhan akan jumlah karyawan, staf ahli, atau cleaning service yang semakin banyak, sehingga gedung DPR kini terlihat ‘crowded’. Bentuk bangunan gedung DPR yang miring juga merupakan salah satu alasan mengapa pembangunan Gedung DPR tahap II. Masalahnya sekarang adalah apakah jumlah dana yang direncanakan itu tepat sasaran dan tepat guna? Apakah adanya gedung DPR yang baru dapat meningkatkan kinerja anggota parlemen secara maksimal? Sedangkan anggota parlemen masih mendapat citra buruk di mata masyarakat karena belum memaksimalkan kesejahteraan rakyat.
Prosedur pengajuan pembangunan gedung DPR ini dilaksanakan oleh Komisi I DPR, yakni Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), yang kemudian dibahas di rapat paripurna. Jika disetujui di rapat paripurna, maka dana ini bisa disetujui. Anggaran dana yang dibutuhkan untuk membangun gedung DPR adalah Rp 1,162 T. Anggaran ini bersumber dari APBN dan sah secara konstitusi. Anggaran ini belum termasuk anggaran untuk pengelolaan IT, pemeliharaan gedung, penyediaan peralatan, dan lain sebagainya. Untuk keseluruhan diprediksi mencapai Rp 1,168 T. Dana ini diestimasikan bisa membangun 12.000 gedung sekolah di Indonesia. Akan tetapi, mengapa dana untuk pembangunan yang mengundang kontroversi itu disetujui sangat cepat, sedangkan untuk dana pendidikan dan lain-lain terkesan agak lambat?
Penuhnya gedung DPR secara langsung dipengaruhi oleh keleluasaan masuk siapa pun yang tidak berhubungan dengan parlemen ke dalam gedung. Salah seorang mantan anggota DPR mengatakan bahwa banyaknya anggota DPR yang telat antara lain disebabkan penuhnya lift oleh broker asuransi, tukang kredit, dan lain-lain yang tidak berhubungan dengan parlemen yang memenuhi gedung. Penuhnya gedung sehingga menyebabkan cleaning service harus membersihkan gedung setiap saat. Keleluasaan ini antara lain karena sistem penjagaan yang kurang ketat.
Terkait dalam pembangunan, anggota DPR saat ini dipastikan belum tentu menikmati gedung baru yang mereka rencanakan saat ini. Oleh karena itu, mengapa mereka bersikukuh dalam pembangunan? Dikhawatirkan adanya insentif dalam proses pembangunan yang masuk ke kantong-kantong yang tidak bertanggung jawab jika pembangunan ini diteruskan. Ketua DPR Marzuki Alie secara langsung menyatakan bahwa ia tidak setuju secara pribadi, namun kalau dari kelembagaan, pembangunan ini penting, karena dananya sudah tersedia, dan khawatir diselewengkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan sejak 2005-2008 dihasilkan produk legislasi yang dihasilkan DPR 41 persennya undang-undang tentang otonomi daerah yang menyiratkan adanya pembagian kekuasaan di tingkat regional antar elite politik.
Pembangunan gedung DPR ini menimbulkan rasa ketidakpercayaan ‘distrust’ dari masyarakat. Lagi-lagi anggota DPR dianggap masyarakat tidak memikirkan kesejahteraan rakyat, mereka hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan pribadi. Bahkan dengan kondisi gedung yang sekarang, kinerja anggota DPR masih belum mendapat nilai bagus di mata masyarakat. Alangkah baiknya, pembangunan DPR itu hanya pembangunan fasilitas seperlunya, sehingga tidak menghabiskan dana rakyat yang terlalu banyak, dan diperlukan peningkatan kinerja DPR dalam tugasnya sebagai wakil rakyat yang mewakili aspirasi dan suara rakyat.
Polkastrad BEM FEM IPB
Wednesday, April 20, 2011
Dilema Opsi Kebijakan Pemerintah Terhadap BBM
Tim pengkaji yang terdiri dari peneliti yang dibentuk oleh pemerintah sudah telah mengajukan tiga opsi terkait dengan kebijkan pemerintah atas BBM.
Opsi yang pertama adalah dengan menaikan harga premium menjadi Rp. 500. Dengan menaikan harga BBM pemerintah bisa menghemat anggaran negara. Namun hal ini dalam jangka pendek akan menyebabkan inflasi termasuk dalam meningkatnya harga komoditi pertanian yang berimbas pada meningkatnya harga pangan. Selain itu kebijakan ini dapat memicu protes dari rakyat sehingga kebijakan cenderung tidak menjadi pilihan utama dikalangan pemerintah.
Opsi kedua adalah perpindahan konsumsi dari premium ke pertamax bagi kendaraan pribadi. Secara rasional orang akan lebih memilih lebih menggunakan premium, mengingat harga pertamax dua kali dari harga premium. Mekanisme dalam kebijakan ini akan sangat sulit karena diperlukan suatu mekanisme atau sistem dalam mendukung kebijakan ini. Selain itu masyarakat belum terbiasa untuk mengkonsumsi pertamax yang tanpa subsidi.
Sedangkan opsi ketiga, adalah melakukan penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali. Penjatahan ini tidak hanya berlaku untuk angkutan umum tapi juga untuk kendaraan bermotor. Arah dari kebijakan lebih mengarah kepada pengefektifan pemberian subsidi bbm. Selama ini subsidi 70% subsidi BBM dinikmati oleh keluarga menengah keatas (40% rumah tangga terkaya), sementara rakyat yang kurang mampu hanya menikmati subsidi secara tidak langsung dengan cara menggunakan transportasi umum. Namun untuk menjalankan kebijakan ini tentunya diperlukan suatu mekanisme dan pembangunan infrastruktur untuk memastikan penjatahan dengan sistem kendali. Selain menambah biaya lagi kebijakan ini harus mempunyai kejelasan dalam menjalankan dan membagi penjatahan.
Ketiga bijakan yang menjadi opsi untuk masalah BBM dalam menjalankannya lebih baik untuk disosialisasikan secara baik terlebih dahulu kepada masyarakat agar masyarakat lebih memahami maksud dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Opsi pertama lebih merupakan yang paling mudah dijalankan dalam jangka pendek dengan merubah harga BBM itu sendiri. Sementara itu untuk opsi kedua dan ketiga lebih mengarah kepada efektifitas penggunaan subsidi BBM. Pada opsi kedua pengefektifan arah subsidi BBM dilakukan dengan cara memindahkan konsumen menengah keatas dari menggunakan premium menjadi pertamax. Pada opsi ketiga dilakukan aturan yang lebih rigid dengan menggunakan sistem kendali agar subsidi yang tersalurkan lebih tepat sasaran. Namun dalam menentukan arahan kebijakan pemerintah seharusnya lebih melihat jangka panjang dan melihat potensi kearfian lokal yang ada. Seperti pengembangan energy alternatif dari sumber daya alam fosil selain minyak atau memanfaatkan energy alternatif dengan memanfaatkan komoditi pertanian yang melimpah di Indonesia. Namun dalam kenyataanya kebijakan seperti ini baru bisa dinikmati dalam waktu jangka panjang.
Pada akhirnya dalam menentukan kebijakannya pemerintah haruslah melibatkan rakyat dan arah kebijakannya pun harus lebih komperhensif. Alokasi subsidi pun harus lebih diefktifkan lagi untuk kesejahteraan rakyat menengah kebawah.
Departemen Polkastrad
BEM FEM IPB