Wednesday, December 16, 2009

CENTURY : BUKAN LAGI SEKEDAR MASALAH EKONOMI

Skandal pengucuran dana bailout bank century yang sempat meredup dari pemberitaan kini mulai ramai diperbincngkan kembali. Masyarkat kembali bertanya-tanya kenapa untuk bank sekelas century yang notabene hanya bank kecil dogelontorkan dna yang tidak sedikit untuk menyelamatkannya yaitu sekitar 6,7 trilyun rupiah. Hal ini seakan menjadi kontra social di kala banyak bencana dan msih tingginya angka kemiskinan pemerintah justru mengucurkan dana yang besar untuk hal-hal yang ternyata peruntukannya juga kurang jelas. Berbagai spekulasi mulai muncul mengenai hal ini mulai Dari aliran kucuran dana yang sekarang sudah mulai ramai diperbincangkan sampai pada RI 1.
Bahkan msalah ini sudah merambah kea rah politik praktis yang dijadikan momentum.

Dilihat dari mekanisme penggelontoran dana bail out ini secara ekonomi maupun hukum memang tidak ada pelanggran yang dilakukan. Mulai dari menteri keuangan, deputi gubernur BI sampai para ekonom pun ada yang berpendapat bahwa memang dana ini diperlukan untuk menyelamatkan century pada khususnya dan stabilitas perbankan pada umumnya. Dalam Forum Studi dan Diskusi Ekonomi Yang diadakan oleh Himpunan mhasiswa Ilmu Ekonomi UGM, A. Tony Prasetyantono ( Chief Economist BNI ) mengatakan bahwa penilaian tentang sebuah bank apakah mempunyai dampak sistemik atau tidak tergantung pada keadaan perekonomian pada masa itu. Beliau menganalogikan bahwa orang yang berkendara dengan “ngebut” (kencang)itu sangat relative penilaiannya kepada keadaan dimana ia sedang berkendara, begitu pula dengan ksus bank century, walaupun dilihat baik dari kewajiban terhadap bank lain maupun jumlah assetnya juga share terhadap kreditny masih tergolong kecil tetapi kalah kliring bank century terbukti menimbulakn rush yang tentu dapat mengancam stabilitas system moneter. Jadi bank century memang perlu untuk diselamatkan. Beliau juga mengatakan bahwa di dalam asset century yang senilai 14 trilyun tersebut ada nasabah yang mempunyai dana tabungan sebesar 2 trilyun. Secara hukum kejaksaan agung mengatakan bahwa tidak ada pelanggran hukum dalam hal ini.

Politisasi kasus ini yang belakangan ternyata melibatkan juga orang nomor satu dan dua di negeri ini juga menteri keuangan agaknya hanya sebuah manuver dari lawan politik mereka. Secara politis presiden wapres dan menkeu memang punya tanggung jawab terhadap hal ini tetapi, jika dilihat dari mekanismenya akan tidak nyambung. Ada dugaan bahwa penyalahgunaan wewenang bukan terletak pada menteri keuangan atau gubernur BI tetapi pada para pejabat-pejabat eselon baik 1,2,maupun 3 sampai 4 di depertemen keuangan dan BI ada sinyalir bahwa merekalah yang menyetir hingga akhirnya dana ini keluar. Mungkin merekalah yang punya kepentingan.

Pengalaman BLBI di 97/98 yang merugikan Negara sekitar 600 trilyun memeng menjadi momok besar saat hal yang sama terulang pada century. JIka dilihat dari sisi perbankan agaknya pbank-bank yang ada di Indonesia belum terbiasa dengan mekanisme penyelamatan semacam ini sehingga akhirnya dana yang harus dikeluarkanpun juga membengkak. Manajemen dari bank apalagi bank-bank kecil masih belum siap unutk mengelola bantuan ini. Sehingga perbaikan manajemen menjadi hal yang mutalk diperlukan. Diluar kontroversi baik seara politis maupun ekonomis dari kasus ini agaknya bangsa kita memang harus lebih banyak belajar untuk mengelola uang Negara. Masih banyak kebocoran-kebocoran ekonomi yang terjadi, dan injeksinya pun tidak dimanfaatkan dengan baik karena kurangnya SDM manajemen yang baik. Sehingga injeksinya pun menjdi berlebihan karena kebocoran belum dapat tertutup.

Haris Darmawan
Departermen Kajian Strategis
BEM FEB UGM

No comments: