Saturday, August 7, 2010

Dilematika Kenaikan Tarif Dasar Listrik

Listrik merupakan kebutuhan vital sebuah bangsa sebagai penunjang perekonomian. Menurut teori ekonomi kelistrikan, pasokan energi listrik merupakan hal yang signifikan dalam pemacuan aktivitas ekonomi. Indonesia sebagai sebuah negara berkembang senantiasa mengembangkan sumber daya energi listrik dari tahun ke tahun. Bentuk pengembangan ini antara lain ialah penambahan kapasitas kelistrikan, peningkatan efektivitas penghasilan listrik, serta perluasan wilayah pelayanan kelistrikan ke seluruh pelosok Indonesia (sekitar 30-35% Wilayah permukiman di Indonesia belum teraliri listrik).

PLN dibawah kementerian ESDM merupakan operator yang berperan utama melayani masalah kelistrikan di Indonesia. Sebagai badan usaha yang berbentuk Persero, PLN melaksanakan tugasnya sebagai penyedia layanan kelistrikan dengan regulasi yang ditetapkan oleh kementrian ESDM. Diketuai oleh Dahlan Iskan, PLN saat ini menyediakan listrik sebesar total hingga 83,3 TWh. Subsidi pemerintah selalu dialirkan tiap tahun sebesar 50-60 trilyun karena PLN yang selalu mengalami kerugian pada setiap produksinya.

Keputusan menteri ESDM nomor 07 tahun 2010 yang lalu memutuskan bahwa akan terjadi kenaikan TDL per tanggal 1 juli yang akan meningkatkan tarif dasar pada kapasitas diatas 900 VA untuk setiap golongan tarif dengan kisaran kenaikan antara 6%-20%. Diharapkan dengan kenaikan ini, pemerintah dapat menekan subsidi sebesar 20 trilyun sehingga dapat mengalihkannya pada sektor lain. Demikian adalah kebijakan menteri ESDM, terlepas dari pernyataan ketua PLN Dahlan Iskan yang menganggap masalah harga listrik tidak akan berpengaruh pada kinerja PLN keseluruhan.

Keputusan menaikkan tarif dasar listrik ini tidak terlepas dari kecenderungan ketergantungan PLN akan sumber bahan bakar diesel. Menurut data, biaya pokok penyediaan PLN sebesar 64.9% dari 165 trilyun adalah biaya bahan bakar diesel dalam produksi listrik. Bahan bakar diesel merupakan preferensi utama pemerintah untuk pembangkit tenaga listrik dikarenakan fleksibilitasnya dalam pengadaan listrik di dalam negeri. Dibandingkan batu bara, gas, dan lainnya, Pembangkit listrik tenaga diesel memiliki sunk cost (biaya pengadaan) yang paling rendah, namun memiliki SFC (Specific Fuel Consumption) yang paling buruk diantara lainnya. Jadi bisa dipastikan, langkah pemerintah dalam memakai bahan bakar solar sebagai sumber utama listrik dikarenakan ini merupakan langkah paling dimungkinkan untuk pemenuhan target listrik dengan cepat, walaupun harus mengorbankan biaya operasional yang sangat tinggi.

Sebenarnya terdapat alternatif pemerintah untuk mengurangi biaya produksi dengan cara mengganti dengan mengganti bahan bakar minyak dengan gas / batu bara yang tingkat SFC nya lebih tinggi. Namun nyatanya kedua bahan bakar alternatif ini tidak mudah didapatkan oleh PLN dikarenakan alokasi ekspor yang sangat tinggi dan mahalnya biaya bahan baku tersebut dalam negeri. Menurut Dahlan Iskan, keputusan pembuatan PLTU khususnya yang berkonsentrasi pada energi batu bara pun dirasa tidak dimungkinkan. Karena ternyata harga batu bara di dalam negeri sangatlah tinggi sedangkan banyak pula stok yang diekspor ke luar negeri. Sementara dalam konteks pengadaan gas, terdapat pula masalah yang sama pada keputusan pemerintah yang lebih mengedepankan ekspor gas ke negara tetangga dibandingkan memanfaatkannya di dalam negeri.

Peningkatan harga meskipun tidak berdampak langsung pada rakyat miskin (karena kenaikan hanya terbatas pada kapasitas diatas 900VA), tetapi sektor industri yang memakai listrik dalam kapasitas diatasnya tetap akan terimbas dengan pembebanan harga pada konsumen. Kenaikan harga industri berdampak pada harga-harga barang yang lain yang menggunakan faktor input dari sektor industri, sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Secara statistik maka masyarakat yang berada dekat di atas garis kemiskinan dapat turun kesejahteraannya dan bergeser pada status miskin.

Dengan paparan diatas, maka dinilai kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dirasa tidak menyentuh akar permasalahan dari permasalahan kelistrikan di Indonesia. Malah dengan adanya kenaikan harga listrik, akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat kecil. Untuk itu diperlukan renegosiasi ulang masalah energi bahan baku listrik nasional seperti gas dan batu bara untuk mengefektifkan produksi. Diversifikasi bahan baku pun perlu dilakukan demi penekanan biaya kelistrikan sehingga dapat membantu perekonomian masyarakat. Dalam skala mikro, kampanye penghematan listrik dapat dilakukan untuk menekan biaya listrik yang berlebih dengan signifikan.


Kajian Strategis
BEM FEB
Universitas Gadjah Mada

No comments: