Sunday, July 17, 2011

Transparansi Keuangan Pendidikan Tinggi Bermasalah

Dibalik euforia penerimaan mahasiswa baru di sejumlah perguruan tinggi negeri, ternyata terdapat polemik keuangan pada sejumlah perguruan tinggi negeri yang menimbulkan tanda tanya besar atas akuntabilitas institusi pendidikan tinggi negeri di Indonesia. Seperti yang dilaporkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat banyak masalah ditemukan dalam hal pengelolaan keuangan perguruan tinggi negeri sepanjang tahun 2010 yang mendorong BPK mengeluarkan disclaimer atau tidak memberikan pendapat atas audit yang dilakukan terhadap perguruan tinggi negeri.
BPK melaporkan bahwa terdapat temuan berupa kas sebesar Rp 763,12 miliar yang antara lain berupa sisa dana bantuan sosial yang tidak tersalurkan sebesar Rp 69,33 miliar yang belum dikembalikan kepada kas negara. Selain itu terdapat pula dana yang merupakan pungutan perguruan tinggi negeri sebesar Rp 25,83 miliar yang tidak dilaporkan ke kas negara dan digunakan langsung tanpa melalui mekanisme APBN seperti yang seharusnya. Terdapat pula dana sebesar Rp 13,4 miliar di dua universitas negeri di daerah Jawa Barat dan Sumatera Barat yang merupakan uang panjar kepada pihak internal dan dana bank yang tidak dilapor. Padahal menurut BPK, tidaklah dikenal sistem dana panjar oleh pihak mereka dan pengelolaan dana tersebut pun tidak jelas.
Kemudian, menurut Rizal Djalil, anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang menangani masalah pendidikan, dari nilai keseluruhan biaya pungutan pendidikan dari masyarakat sebesar Rp 7,9 triliun terdapat sampel kasus yang menunjukan dana tidak dikelola dengan baik. Terdapat pula sejumlah rekening liar di Kementrian Pendidikan Nasional dengan saldo dana tersisa sebesar RP 26,44 miliar yang keberadaannya tidak dilaporkan kepada Kementrian Keuangan sehingga penggunaan dananya tidak diketahui dengan jelas. Bahkan menurut Indonesia Corruption Watch, dari 6 perguruan tinggi yang mereka pinta laporan keuangannya hanya satu universitas negeri yang merespon dengan memberikan laporan keuangan yang cukup detil, sisanya ada yang melaporkan dengan tidak transparan maupun menolak permohonan ICW tersebut.
Sungguh sebuah ironi apabila kita membandingkan jumlah dan deskripsi dana bermasalah tersebut dengan realita biaya pendidikan tinggi yang semakin sulit dijangkau kalangan masyarakat dengan kondisi finansial yang pas-pasan. Dikemukakan oleh BPK bahwa terdapat dana bantuan sosial yang tidak digunakan sebesar Rp 69,33 miliar, sedangkan disisi lain biaya masuk perguruan tinggi dari tahun ke tahun kian meningkat. Dapatkah kita mempertanyakan, apa maksud dari biaya masuk yang tinggi tersebut jika masih tersisa dana bantuan yang lebih itu? Mengapa pihak perguruan tinggi negeri harus bersusah payah untuk membuka jalur ujian mandiri dengan tarif nyeleneh yang memusingkan calon mahasiswa dan membebankan orangtua dengan alasan tidak cukupnya dana pendidikan yang diberikan pemerintah ketika kenyataannya justru terdapat dana bantuan sosial yang bisa dimanfaatkan namun tidak tersalurkan dengan optimal?
Sejumlah perguruan tinggi negeri yang membuka jalur ujian mandiri dengan tarif yang lebih mahal daripada jalur SNMPTN berdalih bahwa dengan demikian maka akan tercapai keadilan dalam pembebanan biaya masuk universitas. Mereka yang kemampuan finansialnya lebih akan dibebankan biaya masuk yang lebih tinggi, sementara mereka yang kemampuan finansialnya biasa-biasa saja akan dibebankan biaya masuk yang sewajarnya. Nyatanya saat ini biaya masuk jalur reguler atau SNMPTN pada sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka pun telah berkisar diatas 50 jutaan.
Hal ini mengindikasikan perguruan tinggi negeri telah bertransformasi dari sebuah institusi formal yang menempa manusia-manusia muda Indonesia untuk mencapai tingkatan intelektual yang lebih tinggi menjadi sebuah ajang komersialisasi sains yang hanya menerima mereka yang berduit dan memarjinalkan mereka dari golongan menengah kebawah, selain bahwa akuntabilitas perguruan tinggi negeri di Indonesia kian diragukan. Tidaklah heran jika ternyata sebuah institut negeri terkemuka mengganti kata sambutan bagi mahasiswa barunya menjadi “Selamat Datang Putra-Putri Terkaya Bangsa” walaupun melalu sebuah insiden yang tidak terencana. Karena memang itulah potret pendidikan yang kini disuguhkan. Pendidikan kini telah menjadi sebuah komoditi yang diperdagangkan dan di dalamnya telah berlaku mekanisme pasar. Mereka yang bersedia membayar lebih, merekalah yang mendapatkannya.


Kajian Ekonomi
BEM KEMA FE Unpad

No comments: