Thursday, October 1, 2009

Ada Apa Sebenarnya dengan Century?

Heboh Century
Beberapa bulan yang lalu, berita di media cetak maupun elektronik dibanjiri dengan kasus Bank Century. Isu politis dan konspirasi yang ikut mewarnai kasus tersebut menjadi sasaran empuk publikasi media. Namun jarang yang membahas mengenai kasus tersebut dari sudut pandang ekonomi. Sebenarnya apa yang terjadi pada kasus Bank Century hingga akhirnya turun bailout sebesar Rp6,76 triliun? Apa yang menjadi latar belakang munculnya kasus Bank Century ini? Bagaimana prosesnya hingga bailout yang pada awalnya hanyaRp632 milyar membengkak menjadi Rp6,76 triliun? Sudah sesuai prosedurkah penurunan dana bailout ini? Apakah ada moral hazard yang terjadi pada Bank Century?

Potensi kerugian
Sebelumnya ada beberapa hal yang harus diluruskan mengenai dana Rp6,76 triliun ini. Banyak orang yang mengatakan bahwa ini adalah kerugian Negara. Perlu diperjelas bahwa dana Rp6,76 triliun ini adalah bukan dana APBN namun adalah dana dari LPS, lalu dari manakah dana LPS ini? LPS adalah Lembaga Penjamin Simpanan yang didirikan oleh negara, Aset LPS per 2007 tercatat sebesar Rp 10,29 triliun, modal Rp 8,6 triliun. Pengumpulan premi sejak berdiri mencapai Rp 13,9 triliun dan kekayaan LPS per 31 Juli 2009 sebesar Rp18 triliun. Secara mudahnya LPS adalah lembaga asuransi bank-bank yang ada di Indonesia, dimana setiap bank wajib menyetor sejumlah premi asuransi kepada LPS(peraturan diatur oleh BI) dan LPS akan memberikan bantuan dana kepada bank yang mengalami masalah sesuai peraturan yang berlaku(Perpu PJSK,LPS,dsb).
Menurut kasus yang terjadi, ternyata jenis bantuan ini dibedakan menjadi dua, yaitu dana bailout dan dana penjaminan simpanan. Dana bailout adalah dana yang digunakan untuk kembali menyehatkan bank tersebut dengan cara salah satunya yaitu mengembalikan rasio kecukupan modal(CAR) ke titik aman dengan jalan memberikan suntikan dana segar berupa pembelian saham bank tersebut. CAR dipakai sebagai tolak ukur kemampuan bank dalam menyediakan uang cash kepada nasabah yang ingin menarik uangnya dimana erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank. Sedangkan dana penjaminan simpanan adalah dana nasabah yang dijamin oleh LPS ketika bank tersebut mengalami kolaps yaitu sebesar 100jt/nasabah(tahun 2008,kini dijamin sebesar 2milyar/nasabah).

Setelah mendapat dana bantuan tersebut, berdasarkan UU LPS, LPS akan menjual (divestasi) seluruh saham Bank Century paling lama tiga tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing-masing satu tahun. Seluruh hasil penjualan saham bank nantinya akan menjadi hak LPS, mengingat ekuitas Bank Century pada saat diserahkan kepada LPS (21 November 2008) negatif Rp6,778 triliun. Dengan ekuitas yang sekarang mencapai Rp 500 miliar, saat dijual tiga tahun lagi diperkirakan hanya menjadi Rp 1,5 triliun-Rp 2 triliun (berdasarkan Dradjad H Wibowo). Menurut perkiraaan tersebut LPS akan berpotensi menanggung kerugian sebesar Rp4,7triliun lebih.
Dalam kasus ini kerugian memang tidak dialami oleh negara secara langsung(dalam hal ini APBN) karena potensi kerugian hanya dialami oleh LPS. Namun mengingat LPS adalah lembaga yang didirikan oleh negara dan sebagian besar uangnya adalah merupakan premi dari tiap bank yang tentu saja bank menghimpun dananya dari nasabah yang notabene masyarakat. Hal ini secara indirect berpotensi merugikan masyarakat dan negara.



Latar belakang terjadinya kasus Bank Century
Pada awalnya kasus ini terjadi hanya karena kesalahan teknis manajemen Bank Century, yaitu akibat kalah kliring. Kalah kliring adalah semacam keterlambatan atau kegagalan dalam menyetorkan dana tepat waktu. Hal ini sebenarnya biasa terjadi pada bank terutama ketika tuntutan akan likuiditas atau cash dari nasabah sangat besar atau ketika terjadi kesalahan teknis atau network perbankan. Kalah kliring ini akan menyebabkan nasabah akan kesulitan mencairkan uangnya pada waktu tersebut. Pada kasus Bank Century ini menjadi masalah karena hal ini terjadi pada timing yang tidak tepat dan terekspos ke publik. Timing tidak tepat karena hal ini terjadi ketika keadaan perekonomian dunia terguncang akibat runtuhnya raksasa finansial dunia Lehman Brothers beberapa waktu sebelumnya. Kalah kliring yang menimbulkan antrian panjang nasabah yang kesulitan mencairkan uangnya ini juga terblow-up ke publik hingga menimbulkan negative signalment bahwa kondisi bahwa kondisi Bank Century sedang tidak sehat dan diasosiasikan sebagai rangkaian krisis global yang akhirnya berpengaruh ke perbankan Indonesia. Perlu diketahui bahwa seharusnya kalah kliring hanya diketahui oleh BI dan bank yang bersangkutan. Dari sinilah akhirnya muncul rush atau penarikan dana besar-besaran oleh nasabah hingga menyebabkan CAR(Capital Adequacy Ratio) Bank Century turun drastis hingga minus 3,52%. Perlu diketahui bahwa standar aman CAR dari BI adalah 8% sehingga kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Sebenarnya ketika terjadi kesulitan likuiditias suatu bank memiliki tahapan tertentu dalam mengatasinya yaitu yang pertama ialah bank tersebut dapat menjual aset-aset lancarnya, jika masih belum cukup bank tersebut dapat meminjam uang ke bank lain, baru bila hal ini tidak bisa atau tidak memadai maka bank dapat meminta bantuan ke LPS. Hal dapat mengisyaratkan bahwa bila Bank Century akhirnya perlu meminta bantuan ke LPS artinya bank lain juga tidak dapat mememenuhi permintaan tersebut yang mengindikasikan bahwa bank lain juga dalam kondisi CAR yang tidak terlalu baik. Sebenarnya ini juga bisa terjadi karena bank-bank tersebut sedang menjalankan motif berjaga-jaga mengingat kondisi krisis global yang tidak menentu, namun indikasi pertama tadi jelas akan memperburuk keadaan karena akan berdampak menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan di Indonesia

Perlukah di-bailout?
Banyak pihak yang menilai bahwa sebenarnya Bank Century tidak pantas mendapat bailout. Beberapa alasan tersebut didasari oleh fakta bahwa Bank Century adalah bank menengah kebawah yang tidak akan menimbulkan resiko sistemik bila terjadi kebangkrutan. Pada waktu itu, total aset bank tersebut adalah sekitar Rp 15 triliun, tak lebih dari 0,75 persen dari total aset perbankan. Jumlah nasabah yang 65 ribu orang itu hanya sekitar 0,1 persen dari total nasabah perbankan dan hanya memilki sekitar 65 cabang. Yang kedua adalah karena kewajiban antar banknya hanya sekitar Rp750 milyar sehingga bila bank ini bangkrut tidak akan terlalu mempengaruhi bank lain secara langsung. Alasan ketiga adalah karena pada dasarnya bank ini bukanlah bank yang sehat(akan dibahas setelah ini).
Beberapa pakar menyebutkan bahwa Bank Century di-bailout karena terkait masalah politis namun kita tidak akan membahas mengenai hal itu. Persoalan yang lebih jelas adalah resiko sistemik yang terkandung dalam kasus Bank Century ini. Resiko sistemik adalah resiko terjadinya multiplier-effect dari ditutupnya sebuah bank terhadap hancurnya bank-bank lain. Darmin Nasution mengatakan, Bank Century diselamatkan karena jika dibiarkan mati, dikhawatirkan menyebabkan 23 bank lainnya juga bermasalah akibat di-rush nasabahnya. Ke-23 bank tersebut merupakan bank-bank yang selevel dan memiliki hubungan bisnis dengan Bank Century. Di tengah krisis keuangan, kebangkrutan sebuah bank bisa merembet cepat ke bank lain yang selevel. Hal ini bisa kita analisis bahwa akan timbul sistemik risk secara direct dan indirect. Resiko secara langsung terjadi karena Bank Century memiliki hubungan bisnis dengan bank lain sehingga bila bank ini bankrut tentu akan mempengaruhi bank lain dan berpotensi terjadi kebangkrutan berantaui Resiko secara tidak langsung terjadi karena bila suatu bank bangkrut maka akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Hilangnya kepercayaan ini akan beresiko menimbulkan rush terhadap banyak bank yang walaupun tidak memiliki hubungan langsung dengan Century akan ikut terkena dampaknya karena memiliki level bank yang hampir sama. Hal ini juga diperparah karena cadangan uang LPS hanya sekitar Rp18 triliun sedangkan kewajiban penjaminan pada masa itu sekitar 500-600 triliun rupiah sehingga tentu saja kepercayaan nasabah akan penjaminan LPS akan dipertanyakan. Masih belum cukup parah, kondisi perekonomian dunia yang sedang terguncang oleh krisis dan banyaknya uang yang ter-repatriasi kembali ke Amerika Serikat akan cukup menjadikan jajaran pengambil kebijakan ekonomi Indonesia merinding ketakutan bila ternyata resiko sistemik ini benar-benar terjadi.
Dari dua analisis data diatas dapat kita ambil bahwa keputusan bailout Century berada pada posisi diantara fakta yang kurang mendukung adanya bailout dan resiko sistemik yang sangat besar jika tidak adanya bailout. Namun sampai pada titik ini, kami mendukung adanya bailout karena,
Pertama, alasan sistemik diatas, pada kondisi biasa mungkin memang hanya bank dengan criteria 10 terbesar saja yang dapat menimbulkan resiko sistemik, namun pada kondisi ekonomi global seperti saat itu pendapat ini perlu dikaji ulang.
Kedua, walaupun memiliki size yang menengah kebawah, kasus Bank Century ini mendapat porsi yang sangat besar dalam pemberitaan media. Perlu diingat bahwa pengaruh media di Indonesia sangatlah besar dalam menentukan suatu pilihan keputusan masyarakat umum.
Ketiga, tipikal masyarakat Indonesia adalah tipe masyarakat yang latah terhadap suatu fenomena. Rush terhadap satu bank akan memicu rush-rush di bank lain. Selain itu rata-rata masyarakat Indonesia masih cukup awam mengenai permasalahan keuangan seperti ini. Walaupun kami yakin bahwa nasabah yang memiliki pengetahuan memadai tidak akan melakukan rush namun nasabah lain belum tentu demikian.

Menurut kami, bailout untuk Century adalah harga mati dikarenakan alasan di atas namun perkara lain bila kita melihat fakta dan data berikut:

Bank yang tidak sehat
Banyak pihak yang mengatakan bahwa musibah ini terjadi karena pada awalnya bank Century merupakan bank yang tidak sehat. Beberapa indikasi ketidaksehatan bank Century dapat kita lihat pada sejarah laporan keuangan bank tersebut.
Pada tahun 2003 dan 2004, bank century menduduki posisi NPL(Non Performing Loan) terburuk yaitu 19,77%(2003) dan 13,37%(2004) ,meskipun pada tahun-tahun berikutnya NPL Century membaik. Pada tahun 2004, Bank Century membukukan tingkat CAR terendah diantara bank-bank lain yaitu 9,44.Pada tahun 2005, CAR century justru menurun hingga 8,08%, pada tahun 2006 mengalami peningkatan hingga 11,38% namun tetap merupakan CAR terendah diantara bank-bank lain. Pada tahun 2005,2006,dan 2007, Bank Century juga membukukan tingkat LDR(Loan to Deposit Ratio) terendah yaitu masing-masing hanya 23,84%,21,35%, dan 36,39% (sumber: laporan keuangan perbankan 2003-2007).
Memang ratio-ratio di atas masih dalam batas wajar karena menurut standar NPL (Non Performing Loan) di bawah 5%, LDR (Loan to Deposit Ratio) berkisar 77%, dan CAR (Capital Adequacy Ratio) di atas 8%, Bank Century tidak membukukan indikator yang cukup berbahaya pada tahun 2003-2007, namun perlu ditekankan bahwa secara rata-rata kinerja Bank Century yang tercermin pada laporan keuangannya merupakan salah satu yang terburuk diantara bank-bank lain di Indonesia.

Indikator lain tercermin dalam kebijakan investasi Bank Century yang dapat kita lihat dari cuplikan artikel berikut :
“Sejak 2005 Bank Century ini sangat aktif berinvestasi di surat berharga (efek). Pada 2007, portofolio efek melebihi penyaluran kredit dengan rasio antara keduanya sekitar 140% (Rp4,4 triliun berbanding dengan Rp3,1 triliun, per September 2007).Pada September 2008, angka itu menurun menjadi 75%. Tidak heran kemudian Century membukukan LDR kurang dari 50%, sementara rata-rata LDR bank umum telah mencapai sekitar 70%. Lebih dari 90% dari total efek dicatat sebagai dimiliki hingga jatuh tempo, sehingga sangat rentan mendatangkan risiko likuiditas bagi bank. Belakangan diketahui, banyak di antaranya tidak terbayar (default) pada saat jatuh tempo, sehingga menim-bulkan kerugian besar; CAR Century menjadi negatif.”

Namun apakah masalah Bank Century hanya ini?


Masalah sebenarnya
Ternyata masalah sesungguhnya dari Bank Century baru muncul ketika dana bailout mulai bergulir dan kejanggalan dalam neracanya mulai terungkap.
Perlu diketahui bahwa pada awalnya LPS hanya diminta menyuntikkan Rp 632 milyar agar CAR Century yang negatif 3,52% menjadi positif. Kemudian dana itu berkembang dan aliran dana berikutnya dapat kita lihat pada table berikut :
No. Tanggal Jumlah(triliun Rp) Keterangan
1 23 Nov 2008 2,776 BI: untuk CAR 8 persen dibutuhkan
Rp2,655 triliun
Peraturan LPS: LPS dapat menambah modal
sehingga CAR 10 persen, yaitu Rp2,776
triliun
2 5 Des 2008 2,201 Untuk menutup kebutuhan likuiditas
sampai dengan 31 Desember 2008
3 3 Feb 2009 1,155 Untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan
hasil assessment BI atas perhitungan
direksi Bank Century
4 21 Juli 2009 0,630 Untuk menutup kebutuhan CAR berdasarkan
hasil assessment BI atas hasil audit
Kantor Akuntan Publik
Total 6,762
Sumber: LPS
*sebagai tambahan infomasi, terkait bahwa prosedur penurunan dana ini tidak sesuai sebenarnya tidak sepenuhnya benar. Penurunan dana pada tangga 23 Nov hingga 5 Des 2008 masih memiliki dasar hukum namun pada penurunan dana berikutnya yaitu sekitar Rp1,7 triliun-lah yang janggal karena kedua penurunan dana ini tidak memiliki dasar hukum mengingat setelah Desember 2008 Perppu PJSK ternyata ditolak DPR.

Beberapa kemungkinan mengapa penurunannya bertingkat-tingkat seperti diatas adalah pertama karena LPS tidak dapat menurunkan dana secara langsung, yang kedua karena kemungkinan ada Subsequent Events (Peristiwa atau transaksi yang terjadi setelah tanggal neraca tetapi sebelum diterbitkannya Laporan Audit, mempunyai akibat yang material terhadap laporan keuangan, sehingga memerlukan penyesuaian atau pengungkapan dalam laporan tersebut) yang menyebabkan kebutuhan dana bertambah, dan yang ketiga yaitu terungkapnya kejanggalan-kejanggalan dalam neraca Bank Century akibat adanya moral hazard sehingga terjadi ketidak-balance nya neraca secara signifikan yang berakibat membengkaknya kebutuhan dana.
Kemungkinan ketiga inilah yang perlu mendapat sorotan. Sebenarnya apakah yang terjadi di Bank Century? Banyak informasi yang beredar mengenai hal ini, namun masih sulit untuk membuktikan keakuratanya. Century dianggap menggelapkan uang nasabahnya kedalam bentuk danareksa PT.Antaboga Delta Sekuritas. Uang ini pun tidak jelas alokasinya dan akhir-akhir ini terungkap bahwa uang ini dibawa lari. Terungkapnya kasus ini sangat berpengaruh terhadap perubahan neraca Century karena nominal uang tersebut mencapai angka Rp 2,6triliun.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya bailout untuk Century memang diperlukan namun dibalik itu ternyata banyak fakta bahwa kinerja dan tata kelola Century yang sangat buruk. Sebuah ironi memang, ketika kita terpaksa menolong orang jahat agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi orang banyak. Namun yang lebih penting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa ini. UU PJSK yang mampu melindungi perbankan harus diimbangi dengan pengawasan dan tindakan tegas bagi pelanggar peraturan BI.

Oleh : Thontowi Ahmad Suhada
Kepala Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM

1 comment:

Beautiful Living said...

Diluar masalah sistemik atau bukan sistemik. Kl mmg perhitungan untuk mem-bail out bank gagal itu lebih menguntungkan drpd melikuidasinya, mengapa satu bank dibailout sedangkan bank lain dilikuidasi.


Lagipula sebenarnya BC tidak berdampak sistemik sama sekali, karena sudah ada jaminan hingga 2m itu, jadi misalnya BC ditutup-pun saat itu, tidak akan terjadi rush di bank-bank lain, yang merugikan Indonesia. Nasabah bank-bank BUMN akan tenang-tenang saja, karena ditanggung oleh negara sepenuhnya. Dan disamping itu ada byk cara, selain bailout hingga 6,7t lebih, untuk menegah dampak sistemik, al. dgn penjelasan kpd nasabah seluas-luasnya, pengambilan policy pendukung yg tepat, dan lain sebagainya yg biayanya jauuh lebih murah dr bailout. Alasan memutuskan sbg sistemik kan hanya krn psikologi pasar, padahal kepanikan sikologi pasar itu mmg sengaja diciptakan, dan ada banyak cara untuk mengatasi mengendalikan psikologi pasar, selain bailout bank bobrok.


Dan yg lebih penting, sebenarnya BC tidak akan jd bank gagal pada saat kritis, kalau policy moneter yg diambil BI & Depkeu tidak salah langkah waktu itu. JAdi BC tidak perlu ditutup maupun dibailout hingga saat masa krisis (kalau mmg ada dan berdampak cukup berarti bagi perekonoimian Indonesia saat itu) berlalu.

Lagipula dg dianutnya liberalisasi maka wajar saja kalau kondisi perekonomian Indonesia lantas bergejolak, ini bukannya lantas dgn mudahnya lantas disebut krisis. Meski krisi global terjadi, namun dampaknya bagi perekonomian Indonesia tidak selalu besar dampaknya, hanya bergoncang sedikit,bergejolak biasa dan wajar sbg penganut perekonomian liberal global, tepngaruh memang, tapu pengaruhnya itu tidak selalu berdampak besar, hanya berdampak kecil dan sementara saja.

Ini yg plg penting digali oleh Pansus Century, mengapa pd saat krisis global, saat menjelang pemilu, saat bank sentral negara lain berjuang menurunkan suku bunga, mengapa Bi justru menaikkan suku bunga, shg memicu kelangkaan likuiditas, yang memicu kepanikan psikologi pasar dan bank lemah menjadi rontok, bank bobrok yang selama ini dipertahankan lantas saat itu menjadi bank gagal.
Pansus harus cari tahu ini