Friday, March 2, 2012

KESEJAHTERAAN BURUH DAN ORANG KAYA BARU DI INDONESIA

Negara kepulauan Indonesia memiliki beraneka ragam aktivitas, dan kesibukan penduduk masing-masing didalamnya memberikan sebuah pesona yang menggambarkan keunikan dari setiap daerah. Penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 237 juta jiwa dengan berbagai ragam struktur sosial yang ada baik dari golongan atas, menengah, maupun ke bawah telah memberikan dinamika kehidupan sosial bagi Indonesia. Banyak kebutuhan yang diinginkan membuat permintaan akan konsumsi sangat tinggi, baik dari sektor riil maupun moneter. Sudah pasti masyarakat harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tersebut baik dengan cara meminta atau dengan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Lantas dengan minimnya pekerjaan layak yang ada di Indonesia mengakibatkan banyaknya masyarakat yang merasa tidak sesuai dengan pekerjaan yang diinginkan bahkan untung-untungan bisa menjadi buruh di suatu perusahaan. Sarjana yang saat ini menjadi standar akademik suatu perusahaan membuat masyarakat miskin semakin berteriak karena biaya yang mahal. Buruh yang definisinya adalah mereka yang bekerja pada majikan dan menerima upah menjadi alternatif paling bontot yang diinginkan oleh tenaga pencari kerja supaya mendapatkan rejeki.

Isu tentang perburuhan saat ini merupakan salah satu isu yang sering cepat dilupakan. Buruh yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional hanya dipandang sebelah mata, terlihat dari kehidupan kaum buruh yang tak kunjung membaik. Desakan dari serikat pekerja maupun perundingan antara pengusaha, pemerintah dan buruh selalu berujung kegagalan. Kontribusi buruh yang sangat besar ternyata tidak mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Dari tahun ke tahun muncul permasalahan buruh terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah yang juga tidak memihak pada buruh.

Upah seharusnya mencakup semuanya tetapi kenyataannya upah hanya merupakan gaji pokok tanpa memperhitungkan tunjangan, itupun masih jauh dari kebutuhan riil pekerja. Di Indonesia sendiri, kesejahteraan buruh sendiri hanya sebatas upah minimum yang diberikan saja. Upah minimum menjadi patokan pemilik modal untuk memberikan balas jasa kepada pekerjanya. Penetapan upah minimum merupakan ciri menonjol intervensi negara pada pasar tenaga kerja dibanyak negara sedang berkembang (Squire, 1982).

Berbanding terbalik dengan kelas bawah, bahwa kelas menengah atas pun tidak kalah meriahnya. Faktanya penduduk kelas menengah di Indonesia terus mengalami pertumbuhan pesat. Bahkan, dalam satu dekade dari 1999 hingga 2009, kelompok ini telah melonjak dua kali lipat dari 45 juta jiwa menjadi 93 juta jiwa. Menurut Drajad (2011) ada tiga faktor penyebab orang kaya baru berkembang pesat di Indonesia. Pertama yaitu tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang semakin membaik. Belakangan ini, semakin banyak penduduk yang mengenyam akses pendidikan sejak diberlakukannya wajib belajar dulu. Kedua adalah reformasi ekonomi dan politik telah menciptakan banyak orang kaya baru terutama dari perkebunan, pertambangan khususnya batu bara dan sebagian kehutanan. Kalau sebelumnya akses terhadap kekayaan sumber alam hanya dikuasai kelompok terbatas, sekarang lebih meluas ke kaum elit-elit politik, daerah, dan organisasi masyarakat. Ketiga, imbas dari booming sektor keuangan, teknologi informasi dan industri kreatif menciptakan orang kaya baru dari kelompok muda.

Namun faktanya, pertumbuhan kelas menengah tersebut masih disertai dengan ketimpangan yang cukup besar, terutama dengan buruh, petani dan nelayan. Jumlah penduduk miskin masih menjadi perhatian yaitu sekitar 31 juta jiwa. Mengacu hasil survey Badan Pusat Statistik pada tahun 1999 dan 2009, kelompok menengah meningkat hampir tiga kali lipat, dari 7,5 juta menjadi 22 juta jiwa. Kelompok menengah atas bahkan naik lima kali lipat dari 0,4 juta menjadi 2,23 juta jiwa. Sedangkan kelompok yang berkecukupan naik 0,1 juta menjadi 0,37 juta jiwa. Pertumbuhan kelas menengah ini seiring dengan pendapatan per kapita Indonesia yang meningkat menjadi US$3000 per tahun pada 2010. Menurut Credit Suisse (2010), di Indonesia jumlah pemilik kekayaan bersih di atas Rp 9 miliar diperkirakan mencapai 60 ribu orang dewasa. Sebagian besar, lebih dari 80 persen kekayaan orang Indonesia tersebut diinvestasikan dalam instrumen non finansial, seperti properti baik bangunan dan tanah. Bukan hanya untuk kelompok miliarder, secara keseluruhan, tercatat rata-rata kekayaan orang Indonesia meningkat lima kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Jumlah kelompok ini dipastikan bakal terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tergolong cukup tinggi di Asia. Kelompok ini dikenal sebagai kalangan yang gemar konsumsi.

Realita ketimpangan antara buruh dengan orang kaya baru di Indonesia inilah yang kemudian memunculkan marginalitas buruh, karena ada pergeseran kepentingan yang menempatkan buruh pada posisi yang serba sulit dan selalu harus dikorbankan. Perjuangan dan negosiasi untuk memperjuangkan kesejahteraan justru dilawan oleh pengusaha dan negara dengan kebijakan dan aturan yang semakin menenggelamkan harapan buruh. Pemecahan masalah kesejahteraan buruh bisa dilakukan dengan salah satunya adalah dengan memupuk kesadaran kelas dalam serikat-serikat buruh untuk memperjuangkan kesejahteraan buruh. Peran negara menjadi penting untuk menjembatani dan melindungi kepentingan kaum buruh. Pengusaha maupun perusahaan harus menempatkan buruh bukan sebagai faktor produksi melainkan partner.

www.bps.go.id

www.detik.com

www.scribd.com

www.vivanews.com

Menteri Luar Negeri

BEM Fakultas Ekonomi

Universitas Sebelas Maret

No comments: