Thursday, March 12, 2009

Tinjauan Kritis Mengenai Paket Stimulus Fiskal terkait dengan UU PPH No. 36 Tahun 2008

Era perdagangan bebas saat ini, menuntut perusahaan-perusahaan untuk bersaing satu sama lain secara global. Persaingan yang sangat ketat tersebut menyebabkan perusahaan untuk terus-menerus melakukan perubahan-perubahan, baik dari segi keuangan maupun dari segi non-keuangan. Dari segi keuangan, perusahaan melakukan earnings management, yang bertujuan untuk meningkatkan laba perusahaan. Adapun dari segi non-keuangan, perusahaan biasa menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk menarik simpati dari pelanggannya. Namun, mengingat adanya krisis global yang melanda perekonomian seluruh dunia pada beberapa tahun ini, membuat banyak perusahaan mengalami gulung tikar. Hal tersebut ditandai dengan anjloknya harga saham perusahaan Lehmann Brothers dan Meyrill Lynch, yang notabene adalah perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri sebagai negara adikuasa dengan sistem perekonomian yang liberal, menjadi kewalahan dengan adanya krisis ekonomi ini. Pada akhirnya, banyak perusahaan yang semula milik swasta, harus diprivatisasi oleh pemerintah dengan tujuan agar perekonomian Negara tersebut tidak semakin terpuruk.

Indonesia yang merupakan salah satu rekan dagang Amerika Serikat (AS), secara mau tidak mau juga ikut terkena imbas dari krisis ekonomi yang sedang melanda AS. Ekspor Indonesia ke negara tersebut terancam mengalami penurunan secara drastis. Penurunan ekspor ini disebabkan karena menurunnya daya beli masyarakat AS, sehingga permintaan pasar AS akan barang-barang Indonesia, seperti meubelair dan komoditi sandang, juga mengalami penurunan. Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga kestabilan perekonomian negara pun harus memutar otak agar perekonomian kita tidak ambruk seperti halnya negara AS. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya adalah penurunan tarif pajak penghasilan, baik untuk perseorangan maupun perusahaan.

Dalam artikel ini, penulis ingin membahas PPh badan. Pada UU PPh yang baru, disebutkan bahwa tarif PPh badan adalah 28%. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 17 ayat (1) huruf b. Penerapan tarif 28% ini hanya berlaku sampai dengan bulan Desember 2009, karena pada awal tahun 2010 tarif tersebut akan berubah lagi menjadi 25%. Diharapkan dengan adanya penurunan tarif PPh badan tersebut, pengusaha dapat mengurangi beban pajaknya, sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Selain itu, pemerintah berharap agar tarif PPh yang baru ini dapat menjadi stimulus perekonomian yang telah mengalami kelesuan sejak adanya krisis ekonomi global.

Penurunan tarif PPh badan yang baru tersebut merupakan langkah yang cukup bagus dan inovatif yang dilakukan oleh pemerintah. Karena di tengah perekonomian yang perkembangannya mengalami stagnasi ini, pemerintah mampu memberikan solusi yang “sedikit” melegakan bagi pengusaha-pengusaha Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa fasilitas pembebasan PPh 21 dimaksudkan untuk membuat perusahaan berbasis ekspor dan labor intensif atau menyerap tenaga kerja banyak agar bisa bertahan dari terpaan krisis ekonomi global. Penurunan ekspor, baik nilai maupun volume, akan menyebabkan struktur biaya menjadi sangat berat dibandingkan dengan pendapatan perusahaan. PPh 21 diharapkan dapat mengurangi beban dari perusahaan. Kriterianya adalah untuk perusahaan yang memiliki orientasi ekspor dan labor intensif. Pada intinya pemberian intensif pajak juga bertujuan untuk mendukung iklim investasi di Indonesia.

Tetapi tarif PPh badan di Negara kita masih relative tinggi, apabila kita menilik dari tetangga terdekat kita, yaitu Malaysia dan Singapura, di mana masing-masing tarif PPh badan di kedua negeri tersebut adalah 20% dan 18%, walaupun pada awal tahun 2010 nanti akan berubah lagi menjadi 25%. Hal tersebut tentunya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk terus memberikan kebijakan yang lebih dapat menstimulus perekonomian.

Penerapan stimulus fiskal yang diimplementasikan dalam penurunan tariff PPh juga mempunyai dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Dana yang dibutuhkan untuk stimulus fiskal yang disediakan dalam APBN 2009 sedikit membebani belanja Negara, karena mengurangi pendapatan Negara atas pajak. Total dana stimulus fiskal yang disediakan dalam APBN 2009 sebesar Rp71,3 triliun (1,4% PDB). Stimulus fiscal sebesar itu antara lain akan digunakan untuk penghematan pembayaran pajak (tax saving) berupa tarif PPh Badan+Orang Pribadi+PTKP sebesar Rp43 triliun (0,8% PDB). Kemudian untuk subsidi pajak-BM/DTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) kepada dunia usaha berupa PPN barang impor EP Migas Pabum, Minyak Goreng, Bahan Bakar Nabati sebesar Rp3,5 triliun (0,07% PDB), Bea Masuk Bahan Baku sebesar Rp2,5 triliun (0,05% PDB), PPh Karyawan sebesar Rp6,5 triliun (0,12% PDB), dan PPh Panas Bumi sebesar RpO,8 triliun (0,02% PDB). Selanjutnya akan digunakan subsidi + belanja negara kepada dunia usaha/lapangan kerja berupa penurunan harga Solar (Subsidi Solar) sebesar Rp2,8 triliun (0,05% PDB), diskon beban puncak Listrik Industri sebesar Rpl,4 triliun (0,03% PDB), tambahan belanja infrastruktur sebesar RplO,2 triliun (0,2% PDB) dan perluasan PNPM sebesar Rp0,6 triliun (0,01% PDB).

Dapat dikatakan pegaruh krisis global, serta langkah-langkah mengatasi imbas krisis dengan kebijakan stimulus fiskal berdampak pada postur APBN 2009. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 diperkirakan lebih rendah 1% di bawah asumsi, dan prognosa indikator ekonomi makro lainnya mengalami deviasi lebih dari 10%. Misalnya pertumbuhan ekonomi tahun 2009 turun 1,3%, dari 6,0% menjadi 4,7%, Nilai Tukar deviasi 17%, dari RpG.400 menjadi Rpll.000 per USD, dan harga Minyak Indonesia (ICP) deviasi 43,7%, dari USD80/barel menjadi USD45/barel.

Stimulus fiskal sebesar Rp 50 triliun yang didapat dari sisa anggaran tahun 2008 sebesar 38 trilun dan cadangan anggaran tahun 2009 sebesar 12 triliun harus diprioritaskan untuk industri manufaktur yang bersifat padat karya; proyek infrastruktur, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di samping itu, stimulus fiskal juga harus dibarengi dengan langkah konkret meningkatkan daya beli masyarakat lewat sejumlah kebijakan, seperti penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate), serta stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Dalam mengurangi dampak resesi global selain stimulus fiskal bagi perusahaan yang dalam hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya UU No. 36 tahun 2008 mengenai PPh, pengaturan impor barang juga harus dilakukan. Pemerintah hendaknya mengurangi impor barang yang bersifat konsumtif agar masyarakat terdorong untuk membeli produk dalam negeri. Sebaliknya impor terhadap barang modal dan bahan-bahan baku ada baiknya dipermudah regulasinya untuk merangsang produksi dalam negeri dan mengurangi PHK.

Kesimpulannya stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah harus mampu menggerakkan sektor riil agar tidak terbuang dengan sia-sia. Pergerakkan sektor riil dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Selain menggerakkan sektor riil ada baiknya stimulus fiskal dapat direalisasikan untuk intensif proyek pembangunan infrastruktur yang juga akan menambah lapangan kerja yang cukup besar. Kebijakan lain yang perlu diperhatikan kembali oleh pemerintah adalah meningkatkan propaganda untuk memakai produk dalam negeri serta mencari pangsa pasar baru untuk ekspor Indonesia, selain Amerika Serikat.

Malang, 8 Maret 2008

Disusun oleh :

Annuraf Syeviramuna dan Anina Sukmajati

(Departemen Sosial dan Politik BEM FE UB 2009)

No comments: